Respublica — Mereka tidak sedang foya-foya. Mereka hanya tidak yakin masih ada esok yang pantas ditunggu. Tampaknya inilah kalimat yang pas menggambarkan generasi “doom spending” itu.
“Buy now, regret later”, kalimat sarkastik ini barangkali menjadi semacam slogan tak tertulis dari fenomena baru tersebut. Istilah ini merujuk pada kebiasaan menghabiskan uang secara impulsif di tengah ketidakpastian ekonomi atau rasa cemas terhadap masa depan. Fenomena ini kini melanda generasi muda, terutama generasi Z dan milenial, yang hidup dalam era penuh tekanan: harga rumah tak terjangkau, pekerjaan tidak pasti, inflasi meningkat, dan krisis iklim yang membayangi.
Berbeda dengan retail therapy yang bersifat sesaat dan berbasis pada keinginan untuk “menghibur diri”, doom spending justru lahir dari rasa putus asa. Logikanya sederhana: jika masa depan terasa suram, mengapa harus menabung untuk sesuatu yang belum tentu datang? Akibatnya, banyak anak muda lebih memilih menghabiskan uang untuk hal-hal yang memberi kesenangan instan—gadget terbaru, kopi kekinian, konser mahal, baju atau sepatu branded atau liburan dadakan—tanpa perhitungan finansial jangka panjang.
Dari sudut pandang ekonomi, doom spending menciptakan jebakan utang dan ketidakstabilan keuangan pribadi. Problemnya, banyak dari perilaku konsumtif ini difasilitasi oleh layanan pay later atau cicilan digital, yang menawarkan ilusi kemudahan namun menyimpan risiko laten: gagal bayar, bunga mencekik, dan buruknya skor kredit. Jika dibiarkan, fenomena ini bukan hanya mengancam ketahanan finansial secara personal, tetapi juga memperparah ketimpangan ekonomi dalam jangka panjang.
Namun, menyalahkan generasi muda secara sepihak rasanya tidak lah adil. Mesti disadari bahwa doom spending adalah gejala, bukan penyebab. Ia tumbuh di tengah kegagalan sistem untuk memberi rasa aman: sistem pendidikan yang tak menjamin pekerjaan layak, harga properti yang melonjak tak terkendali, dan budaya media sosial yang membentuk standar hidup semu. Konsumerisme yang dipadukan dengan kecemasan eksistensial adalah kombinasi yang membentuk generasi konsumtif.
Bagaimana doom spending muncul?
Mereka belanja karena diliputi rasa putus asa. Fenomena ini muncul bukan karena terlalu banyak uang, tetapi justru karena terlalu banyak kecemasan. Alih-alih menabung atau berinvestasi, sebagian generasi muda justru memilih membelanjakan uangnya dengan cara yang cepat dan kadang sembrono—karena menunda kesenangan dianggap tak lagi rasional di tengah dunia yang semakin tidak bersahabat.
Bagaimana bisa percaya pada masa depan, jika membeli rumah seperti mengejar ilusi, lapangan kerja makin fleksibel tapi juga labil, dan harga kebutuhan pokok naik sementara gaji stagnan? Maka mereka memilih menikmati “hari ini” karena “besok” terlalu absurd untuk dipikirkan.
Ironisnya, pemerintah justru larut dalam retorika optimisme digital, ekonomi hijau, bonus demografi, dan jargon-jargon pertumbuhan. Tapi siapa yang akan tumbuh jika warganya makin tak yakin bisa bertahan? Alih-alih memberi harapan, negara justru mendorong warga menjadi konsumen yang patuh. Disuntik promo, dililit cicilan, dan dipaksa percaya bahwa kebahagiaan bisa dicicil 12 bulan tanpa bunga.
Doom spending adalah alarm. Ia menandakan bahwa kepercayaan terhadap masa depan tengah runtuh. Ia juga menunjukkan bahwa instrumen negara gagal memberikan jaminan dasar: rasa aman, rasa adil, dan rasa bahwa hidup ini masih layak direncanakan.
Solusi kebijakan harus dimulai dari pengakuan bahwa doom spending adalah gejala struktural, bukan moral. Artinya, jawabannya bukan ceramah hemat atau kampanye “bijak finansial” yang normatif dan doktriner semata. Yang dibutuhkan adalah kehadiran negara dalam arti yang konkret: akses hunian terjangkau, regulasi ketat pada layanan keuangan digital, jaminan sosial untuk pekerja informal, serta upah yang memungkinkan hidup layak—bukan sekadar bertahan.
Selain itu, kita butuh kebudayaan baru yang menghargai makna di atas gaya. Di tengah gempuran algoritma konsumsi, perlu ruang-ruang sunyi tempat anak muda bisa menimbang ulang: untuk apa sebenarnya hidup ini dijalani? Barangkali bukan untuk mengikuti diskon atau tren viral, tetapi untuk menemukan kembali harapan—sekecil apa pun itu.
Doom spending sesungguhnya adalah cermin dari krisis yang lebih dalam: krisis harapan. Ini bukan sekadar masalah keuangan pribadi, tetapi persoalan sosial yang harus direspon secara kolektif. Jika kita ingin membentuk generasi yang tangguh secara ekonomi, maka membangun kembali harapan adalah langkah awal yang tak boleh dilewatkan.
Comment