Makassar, Respublica — Dewan Pendidikan Kota Makassar menggelar Focus Group Discussion (FGD) bertema “Mengawal Pelaksanaan Sistem Penerimaan Murid Baru (SPMB) 2025” di Warkop Aspirasi, Jalan A.P. Pettarani, Makassar, Senin (02/06/2025).
Kegiatan ini menghadirkan sejumlah tokoh pendidikan, termasuk anggota DPRD Kota Makassar, kepala sekolah SD/SMP, pengurus PGRI, serta akademisi.
Selain itu, Ketua Komisi D DPRD Kota Makassar, Ari Ashari Ilham, Plt Sekdis Pendidikan Kota Makassar,Yasmain Gasba, dan Akademisi Universitas Negeri Makassar, Syamsul Rijal hadir sebagai Narasumber dalam kegiatan FGD tersebut.
Ketua Dewan Pendidikan Kota Makassar, Rudianto Lallo, membuka diskusi dengan menegaskan bahwa pendidikan adalah hak konstitusional setiap warga negara yang harus dijamin pelaksanaannya oleh negara. Ia menyampaikan pentingnya kesiapan pemerintah dalam menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menegaskan pendidikan dasar—SD dan SMP—harus digratiskan. Meski sudah ada putusan hukum tersebut, pelaksanaan di lapangan masih menyisakan banyak persoalan, terutama terkait biaya pendidikan di sekolah swasta.
“Putusan MK ini adalah tonggak penting. Tapi realitas di lapangan menunjukkan banyak murid masih dibebani biaya, terutama di sekolah swasta. Lalu siapa yang menanggung? Ini harus dijawab secara tegas oleh pemerintah pusat dan daerah,” tegas Rudianto.
Lebih lanjut, Anggota DPR RI Komisi III itu menjelaskan bahwa bahwa salah satu tantangan utama dalam penerapan kebijakan pendidikan gratis adalah keberadaan sekolah swasta yang selama ini bergantung pada pembayaran dari orang tua siswa. Menurutnya, perlu ada skema pembiayaan yang adil agar siswa di sekolah swasta juga bisa menikmati kebijakan ini tanpa mengorbankan kualitas pendidikan.
Selain itu, Rudianto Lallo mengkritisi berbagai praktik tidak sehat yang masih terjadi dalam proses penerimaan murid baru, termasuk jalur tidak resmi yang disebut “jalur solusi” serta permasalahan data siswa yang tidak tercatat di Dapodik (Data Pokok Pendidikan). Ia mengungkapkan kekhawatiran bahwa banyak siswa yang sebenarnya sudah belajar di sekolah selama tiga tahun, namun tidak terdaftar secara administratif, sehingga tidak mendapatkan haknya secara penuh.
“Kalau anak-anak kita sudah belajar tiga tahun dan ternyata tidak terdaftar, siapa yang bertanggung jawab? Ini bisa menjadi bom waktu. Negara harus hadir dan memastikan validitas serta perlindungan hak pendidikan bagi setiap anak,” ujarnya.
Untuk itu, RL berharap kegiatan FGD Ini melahirkan Rumusan rekomendasi yang bisa dijadikan masukan konkret bagi pemerintah kota maupun pemerintah Pusat.
“FGD ini bukan sekedar forum wacana, ini adalah ruang strategis untuk menyampaikan suara masyarakat, para pendidik, dan pemerhati pendidikan. Tugas kita adalah mengawal agar sistem PPDB 2025 benar-benar adil, transparan, dan berpihak kepada anak anak bangsa” harapnya.
Ketua Komisi D DPRD Kota Makassar, Ari Ashari Ilham, yang hadir sebagai narasumber menyatakan bahwa masalah penerimaan murid baru muncul setiap tahun karena keterbatasan fasilitas dan kesenjangan mutu antar sekolah. Ia menyoroti bahwa banyak orang tua tetap memaksakan anaknya masuk ke sekolah-sekolah favorit meskipun lokasinya jauh dari rumah.
“Selama fasilitas dan kualitas pendidikan tidak merata, orang tua akan terus memilih sekolah terbaik, bukan sekolah terdekat. Pemerataan fasilitas harus jadi prioritas pemerintah,” ungkap Ari.
Narasumber kedua Akademisi Universitas Negeri Makassar, Syamsul Rijal, menekankan pentingnya validitas data siswa. Ia membagikan pengalamannya saat tinggal di Jerman, di mana sistem pendidikan sangat bergantung pada data yang akurat dan proses persiapan sekolah dilakukan jauh hari.
“Di sana, sebelum anak masuk sekolah, mereka sudah dinilai kesiapannya. Data mereka terverifikasi dan disalurkan ke sekolah terdekat sesuai potensi dan kebutuhan. Kita perlu belajar dari sistem seperti ini,” kata Syamsul.
Sementara itu, Plt Sekretaris Dinas Pendidikan Kota Makassar, Yasmain Gasba, menjelaskan bahwa sistem zonasi kini mulai diubah menjadi sistem domisili. Ia menilai sistem ini lebih tepat dalam konteks Kota Makassar karena distribusi sekolah dan kepadatan penduduk yang tidak merata.
“Sistem domisili akan membantu kita mengukur daya dukung wilayah terhadap akses pendidikan. Kalau semua orang tua terus memaksakan anaknya ke sekolah tertentu, maka upaya pemerataan sulit dicapai,” jelas Yasmain.
Ia juga mengungkapkan bahwa aplikasi penerimaan siswa baru yang dikembangkan oleh Pemerintah Kota Makassar telah berjalan cukup baik sejak 2024, meskipun masih ada residu data sekitar 1.400 siswa. Yasmain menekankan pentingnya partisipasi masyarakat untuk memahami biaya operasional dan efisiensi jika anak bersekolah di dekat rumah.
“Masyarakat belum banyak yang sadar bahwa menyekolahkan anak jauh dari rumah bukan hanya melelahkan, tapi juga mahal. Kita mendorong agar sekolah-sekolah di sekitar rumah menjadi pilihan utama,” pungkasnya.
Comment