Bamsoet Apresiasi Dukungan Prabowo untuk Perubahan Sistem Demokrasi Langsung di Indonesia

Bogor, Respublica— Anggota DPR RI sekaligus Wakil Ketua Umum Partai Golkar, Bambang Soesatyo (Bamsoet) memberikan apresiasi kepada Presiden Prabowo Subianto atas dukungannya yang terbuka untuk melakukan kajian ulang serta perubahan terhadap sistem demokrasi di Indonesia.

Hal ini merupakan hal yang telah lama disuarakan oleh Partai Golkar sejak Bambang menjabat sebagai Ketua DPR RI hingga Ketua MPR RI. Sistem demokrasi dengan pemilihan langsung yang diterapkan sejak Pemilu dan Pilkada 2009 hingga Pemilu 2024, telah mendorong terjadinya praktik demokrasi yang bersifat transaksional dalam masyarakat.

Fenomena ini tidak hanya menggerogoti idealisme politik, tetapi juga menciptakan lingkungan di mana aspirasi rakyat seringkali ditentukan oleh nilai nominal, sehingga melahirkan politik berbiaya tinggi di semua tingkatan.

Bamsoet menyatakan bahwa selama menjabat sebagai Ketua DPR maupun Ketua MPR, dirinya telah sering mengajak berbagai pihak untuk mengkaji ulang apakah sistem demokrasi langsung di Indonesia lebih banyak memberikan manfaat atau justru membawa mudharat.

“Dan, ternyata Presiden Prabowo sependapat dan menyampaikan dukungannya secara terbuka atas usulan Partai Golkar untuk perlunya perbaikan sistem demokrasi Indonesia,” ujar usai menghadiri Puncak Perayaan HUT Partai Golkar ke-60 Tahun, di Sentul Bogor, Kamis malam (12/12/23) lalu.

Ketua MPR RI ke-15 dan Ketua DPR RI ke-20, yang juga mantan Ketua Komisi III DPR RI ke-7 ini menjelaskan bahwa sejak Pemilu 2009 hingga Pemilu 2024, praktik politik transaksional semakin merajalela. Banyak calon anggota legislatif maupun calon kepala daerah yang tidak segan-segan menawarkan uang tunai kepada pemilih untuk meraih dukungan.

Masyarakat pun tidak lagi ragu untuk meminta imbalan finansial sebagai balasan atas suara yang diberikan. Istilah “nomer piro wani piro” (NPWP) telah menjadi hal yang biasa, mencerminkan kecenderungan pemilih yang lebih mengutamakan keuntungan finansial daripada kualitas dan kapabilitas calon legislatif.

Makna demokrasi pun telah bergeser, dari demokrasi substansial menjadi demokrasi prosedural. Berdasarkan laporan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), terjadi peningkatan signifikan dalam pelanggaran kampanye yang berkaitan dengan politik uang, dengan angka mencapai lebih dari 30 persen di beberapa daerah pemilihan.

Sementara itu, data dari Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada 2023 menunjukkan bahwa sekitar 60% pemilih mengaku faktor keuangan dari calon legislatif lebih mempengaruhi keputusan mereka dibandingkan visi atau misi yang diusung.

Akibat dari politik transaksional ini, Bamsoet menambahkan, banyak calon legislatif maupun calon kepala daerah yang berkualitas, berintegritas, dan memiliki kapabilitas terpaksa tersingkir, karena tidak memiliki ‘isi tas’.

“Kompetisi politik berkembang menjadi pertarungan kekuatan finansial, dimana visi, misi, dan program kerja hanya menjadi sekadar formalitas belaka. Untuk menjadi anggota DPR dibutuhkan uang sebesar Rp 10-50 miliar, sementara untuk menjadi bupati atau wali kota diperlukan modal setidaknya Rp 50-100 miliar,” ujarnya.

Ketua Dewan Penasehat SOKSI dan Wakil Ketua Umum KADIN Indonesia ini menjelaskan bahwa data tersebut menggambarkan bahwa biaya tinggi dalam kampanye telah menjadi suatu keharusan bagi mereka yang ingin terjun ke dunia politik.

Praktik politik transaksional ini berpotensi menciptakan siklus korupsi yang semakin mendalam di lingkungan pemerintahan. Biaya kampanye yang sangat besar sering kali memaksa kepala daerah atau anggota dewan untuk mencari jalan pintas guna mengembalikan modal yang telah mereka keluarkan.

Menurut data dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), indeks korupsi di Indonesia menunjukkan bahwa banyak anggota dewan dan kepala daerah yang terjerat kasus korupsi, yang tidak terlepas dari keterlibatan mereka dalam sistem pemilihan yang transaksional. Sejak 2004 hingga 2023, sebanyak 344 anggota DPR dan DPRD terjerat dalam kasus korupsi.

“Sementara sebanyak 161 bupati/wali kota dan 24 gubernur juga terjerat kasus korupsi. Hal ini menunjukkan bahwa ketika sistem pemilihan hanya bergantung pada besarnya uang yang diberikan kepada pemilih, maka praktik korupsi menjadi lebih besar terjadi di kemudian hari,” pungkas Bamsoet.

Comment