‘Assamalewuang’: Menghidupkan Kearifan Lokal sebagai Pilar Etika Sosial dan Politik Masyarakat Mandar

Randiawan, M.Pd Dosen Pendidikan Kewarganegaraan FIS-H UNM

Makassar, RespublicaAssamalewuang menjadi istilah yang tidak asing lagi di telinga masyarakat suku Mandar, Sulawesi Barat. Namun, istilah ini justru kehilangan maknanya sendiri di tengah arus globalisasi yang semakin cepat, sering kali nilai-nilai kearifan lokal terpinggirkan, dianggap usang, dianggap terbelakang atau tidak relevan dengan dinamika sosial dan politik modern saat ini. Padahal, nilai sosial dan politik di Indonesia justru hidup dan berkembang banyak dipengaruhi oleh nilai kearifan lokal.

Hemat penulis, Assamalewuang bukan hanya sekadar warisan budaya. Tetapi, dapat dijadikan sebagai pilar etika dapat membentuk karakter individu sekaligus landasan harmoni sosial. Nilai ini memberikan artipentingnya kejujuran, kehormatan, dan tanggung jawabdalam tata kelola politik dalam pemerintahan dan hubungan sosial antara masyarakat.

Tidak menerapkan nilai Assamalewuang sama saja dengan melepaskan identitas kolektif yang selama ini menjadi nilai etika sosial dan politik kehidupan masyarakat suku Mandar.

Darmansyah (2017) memberikan gambaran bahwa Assamalewuang bermakna kebulatan, kepaduan, keutuhan, dan keseluruhan. Jika ditinjau dalam sudut pandang politik Assamalewuang berarti sebuah nilaiyang lebih mengutamakan musyawarah dan mufakat dalam mengambil keputusan atau Kebijakan.

Menurut hemat penulis tepat jika nilai Assamalewuang ditransformasikan sebagai pilar etika sosial dan politik baik dalam pemerintahan maupun dalam kehidupan masyarakat. Dalam konteks politik, nilai Assamalewuang sejalan dengan prinsip-prinsip demokrasi deliberatif.

Habermas (1984) Teori demokrasi deliberatif menekankan pentingnya dialog, musyawarah, dan partisipasi aktif masyarakat dalam proses pengambilan keputusan politik.

Assamalewuang, secara sederhana dapat dikatakan sebagai konsep musyawarah mufakat, menggambarkan upayamencapai konsensus yang inklusif (terbuka), setiap suara dihargai dan keputusan yang diambil berdasarkan kepentingan sosial (bersama), bukan dominasi mayoritas semata.

Konsep seperti ini menghindariotoritarianisme dan menghindari konflik kepentingan, sehingga menempatkan etika kolektif sebagai dasardalam setiap kebijakan yang dihasilkan. Assamalewuang bukan hanya menjadi pedoman sosial, tetapi juga pilar politik yang mampu memperkuat praktik demokrasi substansial pada masyarakat suku Mandar.

Habermas memiliki pandangan yang cukup relevan dengan nilai kearifan lokal masyarakat suku mandar yang disebutkan diatas, karena menurut Habermas sendiri ruang publik itu sebagai tempat bagi masyarakatuntuk mengekspresikan, menyampaikan pikiran, sertakebebasan dan otonomi bagi mereka.

Partisipasi masyarakat secara terbuka dalam memberikan pertimbangan dalam pengambilan keputusan dalam politik justru akan menunjukkan kestabilan demokrasi. Negara yang dijalankan oleh pemerintah bukan hanya sebagai sarana pelayanan kebebasan individu, tapi dapat melibatkan warga negara dalam mengambil keputusan.

Konsep Assamalewuang membentuk etika dan moralitas politik

Suseno (1988) Politik mesti didasarkan pada etika dan moralitas agar berorientasi pada kebaikan bersama (Bonum Commune). Krisis etika dan moralitas politik saat ini menjadi penyakit kronis dalam kemajuan demokrasi.

Aturan yang tiba-tiba di sahkan, kebijakan yang diambil tidak mencerminkan kepentingan bersama, korupsi dan nepotisme menggerogoti dari dalam. Ditengah problematika semacam ini menurut hemat penulis penting menginternalisasi nilai kearifan lokal dalam praktik politik modern untuk mewujudkan kebaikan bersama.

Politik yang sehat dapat dilihat dari keputusan politikyang demokratis Mengedepankan kepentingan kolektif dari pada kepentingan kelompok. Bukan cenderung transaksional, keputusan diambil berdasarkan kepentingan pragmatis semata.

Partisipasi masyarakat sering kali terpinggirkan oleh dominasi kepentingan politik tertentu. Proses musyawarah mufakat yang ideal sering kali berubah menjadi sekadar formalitas tanpa substansi, karena keputusan tetap saja dikendalikan oleh elit politik tanpa keterlibatan masyarakat yang sebenarnya.

Konsep Assamalewuang ini dapat membentuk etika dan moralitas politik, jika nilai-nilainya dapat di terapkan dalam pengambilan keputusan di daerah. Misalnya, melibatkan segala unsur terkait seperti organisasi-organisasi kemasyarakatan, komunitas, kelompok pemuda, tokoh masyarakat, dan tokoh agama keterlibatan secara langsung oleh masyarakat seperti ini dalam pengambilan keputusan dapat mengurangi adanya resistensi.

Keterbukaan pemerintah dalam melibatkan partisipasi masyarakat secara langsung tentunya dapat menjadi referensi bagi mereka apa yang semestinya dilakukan dalam pengelolaan pemerintahan.

Keterserapan aspirasi ini sangat penting bagi negara yang menganut konsep demokrasi pancasila menjunjung tinggi musyawarah dan kata mufakat. Sebab, kerapkali wakil rakyat dalam lembaga perwakilan tidak membawa kepentingan rakyat sepenuhnya.

Kebiasaan-kebiasaan bermusyawarah antara pemerintah dan masyarakat secara langsung sudah sangat jarang sekali dilakukan. Reses yang dilakukan terkesan formalitas belaka. Hemat penulis bahwa nilai Assamalewuang dapat di jadikan sebagai prinsip dalam menjalankan amanah yang diberikan kepada mereka.

Secara tidak langsung jika prinsip Assamalewuang di implementasikan dalam kerja-kerja pemerintahan dapat berdampak positif bagi proses jalannya pemerintahan di Daerah.

Nilai-nilai Assamalewuang memiliki potensi besar untuk menjadi pedoman etika dan dapat membentuk moralitas politik, terutama dalam menjaga integritas kepemimpinan dan memperkuat prinsip demokrasi yang berdasarkan musyawarah dan mufakat. Maka diperlukan komitmen kolektif dari masyarakat, pemerintah, dan institusi politik untuk menghidupkan kembali nilai-nilai Assamalewuang dalam kehidupan politik yang lebih beretika dan berkeadilan.

Hal ini menjadi landasan dalam membangun demokrasi lokal yang lebih deliberatif. Menerapkan prinsip ini, kebijakan daerah dapat dihasilkan melalui proses yang lebih inklusif, transparan, dan memperhatikan aspirasi masyarakat secara menyeluruh.

Nilai Assamalewuang jika diterapkan dalam pemerintahan daerah dapat menjadi penguatan mekanisme partisipasi publik, seperti forum musyawarah desa, dialog kebijakan publik, dan konsultasi dengan masyarakat dalam proses perencanaan pembangunan.

Melalui konsep semacam ini pemerintah daerah dapat lebih memahami kebutuhan dan aspirasi masyarakat, Selain itu, partisipasi publik juga berfungsi sebagai mekanisme pengawasan yang dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan kekuasaan oleh pejabat daerah.

Integrasi nilai Assamalewuang dalam kebijakan politik daerah

Forrest dan Kearns (2001) ranah integrasi nilai kebudayaan tergambar seperti berikut: (1) Nilaikebiasaan yang berkembang dalam masyarakat menjadi budaya (civic culture), (2) Menimbulkan keteraturan sosial serta kendali sosial, (3) Dapat membentuk solidaritas sosial, (4) Menjadi modal sosial, serta (5) Sebagai identitas yang melekat.

Dari ranah nilai integrasi nilai kebudayaan dalam kebijakan politik daerah sangat dimungkinkan,  menjadi salah satu cara merawat nilai-nilai kearifan lokal melalui kehidupan politik masyarakat. Kebijakan politik di daerah sering kali cenderung tidak demokratis dan tidak mencerminkan aspirasi masyarakat karena didominasi oleh kepentingan elit politik, partai politik dan kelompok tertentu.

Misalnya, dalam banyak kasus, kebijakan yang berkaitan dengan pembangunan daerah lebih mengakomodasi kepentingan investor besar dibandingkan kebutuhan masyarakat lokal, sehingga terjadi penggusuran, reklamasi, dan kebijakan yang merugikan sebelah pihak.

Minimnya keterbukaan dalam pengelolaan anggaran daerah juga menunjukkan bahwa kebijakan yang dibuat sering kali tidak mengutamakan kesejahteraan masyarakat. Akibatnya, masyarakat masyarakat merasa tidak memiliki kendali atas kebijakan yang memengaruhi kehidupan mereka secara langsung, menciptakan kesenjangan antara pemerintah daerah dan masyarakat.

Integrasi nilai Assamalewuang dalam kebijakan politik daerah merupakan langkah strategis dalam menciptakan pemerintahan yang lebih demokratis, etis, dan berorientasi pada kepentingan bersama.

Sebagai konsep yang menekankan kebulatan, kepaduan, dan musyawarah dalam pengambilan keputusan.Assamalewuang dapat menjadi dasar dalam membangun tata kelola pemerintahan daerah yang lebih partisipatif dan inklusif bagi semua pihak.

Musyawarah berbasis stakeholder semacam forum musyawarah bersama  melibatkan berbagai elemen masyarakat, termasuk tokoh adat, akademisi, pemuda, dan komunitas-komunitas masyarakat lainnya. Forum semacam ini akan mencerminkan aspirasi bersama yang sangat sesuai dengan prinsip Assamalewuang.

Aktivitas politik seperti ini tidak hanya berorientasi pada kepentingan politik sesaat, tetapi juga mampu menciptakan kestabilan politik dan berdampak pada sehatnya sistem demokrasi di daerah. Pemerintah daerah dapat membangun kepercayaan publik dan memastikan kebijakan yang diambil benar-benar bermanfaat bagi masyarakat.

Perlu menjadikan nilai kearifan lokal di terapkan dalam kehidupan politik, sebagai bentuk integrasi nilai budaya dalam politik serta dapat menjadi bentuk pendidikan politik bagi masyarakat. Sehingga kata “Assamalewuang” tidak hanya menjadi frasa tanpa makna. Melainkan nilai yang tetap hidup dan berkembang dalam masyarakat modern saat ini.

Nilai-nilai kearifan lokal tidak akan lestari hanya dengan diceritakan kepada generasi muda, tetapi akan tetap hidup jika diterapkan dalam perilaku.

Penulis: Randiawan, M.Pd  (Dosen Pendidikan Kewarganegaraan FIS-H UNM)

Comment