Oleh: Muhajir MA*
Maskulinitas yang menyimpang dan pandangan misoginis yang rapuh harus segera disembuhkan, sebelum tumbuh menjadi racun dalam diri. Merasa gagal dan terasing memang menyakitkan, tapi tak bisa menjadi alasan untuk runtuh. Jika dibiarkan, maka rentan membangunkan monster yang berbahaya.
Tak ada yang ingin melihat hal itu terjadi pada siapa pun, terlebih di kalangan remaja yang masih mencari jati diri di tengah perkembangan dunia digital dan tekanan sosial yang keras. Sebab, dampaknya bisa sangat merusak banyak hal dalam hidup, seperti yang tergambar dengan tajam dalam film Adolescence (2025).
Miniseri berisi empat episode ini memulai kisahnya dengan memperlihatkan seorang polisi pria, Bascombe, sedang memakan apel, sambil berbicara dengan anaknya melalui ponsel pintar. Ia bersama seorang polisi wanita, Misha Frank, yang tengah duduk di dalam mobil patroli.
Adegan mereka tampak biasa-biasa saja: setelah menelepon, Bascombe masuk ke dalam mobil, mengobrol basa-basi dengan Misha Frank, lalu pergi. Oke. Jika merujuk pada sinopsisnya, mereka akan menangkap seorang remaja berusia 13 tahun bernama Jamie Miller yang diduga telah melakukan kejahatan.
Mungkin mencuri, perundungan, atau perkelaian antar remaja— saat itu saya sendiri kurang yakin, mengingat awalnya saya menonton serial ini di Netflix secara tak sengaja. Hingga akhirnya terlihat banyak mobil patroli menuju rumah Jamie. Mobil-mobil tersebut mengangkut belasan polisi bersenjata lengkap, masuk secara paksa ke rumah Jamie sambil menodongkan senjata, seakan-akan ingin menangkap bandar narkoba.
Pikirku, ini berlebihan untuk sekadar menangkap seorang remaja. Apa yang telah kamu lakukan, Jamie? Ayah, Ibu, dan saudara perempuan Jamie pun kebingunan saat polisi berhasil masuk ke rumahnya. Ayahnya, Eddie Miller sampai mengira bahwa dirinyalah yang dicari oleh polisi. Namun, ternyata ia keliru. Kawanan polisi melewatinya begitu saja dan menuju kamar Jamie yang berada di lantai dua.
Akhirnya saya bisa melihat sang tersangka, yang sedang ditodong senapan. Ia berkulit putih, kurus, tampak culun, dan polos. Ia bahkan mengompol saat polisi menyerbu kamarnya, memberi kesan penakut dan pecundang, alih-alih sebagai bocah psikopat, yang membuat polisi mengerahkan banyak personel untuk menangkapnya.
Di tengah huru-hara itu, Bascombe kemudian menemui Jamie yang sedang ketakutan dengan raut wajah yang tampak kebingungan. Ia menuding Jamie telah membunuh seseorang. Suasana tiba-tiba semakin gaduh oleh teriakan dan adu mulut antara orang tua Jamie yang tak percaya atas tudingan tersebut dan polisi yang memaksa untuk membawaya ke Kantor Polisi.
Tentu, tak langsung ke kantor polisi. Tak ada penyuntingan. Cerita berjalan secara real-time dengan metode one-take, memperlihatkan penontonnya seluruh adegan yang direkam tanpa henti dalam satu kali rekaman. Mulai dari Jamie dimasukkan ke dalam mobil, saat mobil berjalan menuju kantor polisi, hingga saat polisi sampai dan membawa Jamie ke suatu ruangan.
Intensitas dan realismenya sangat terasa seolah-olah penonton menyaksikan kejadian secara langsung dan ikut merasakan ketegangan di setiap adegannya. Kita juga ikut terbawa suasana haru saat saudara perempuan Jamie, Eddie, dan Ibunya yang bernama Manda saling menguatkan dan masih percaya bahwa anaknya tak bersalah, di dalam satu ruangan pengap Kantor Polisi.
Yang mereka tahu, Jamie adalah anak baik, cerdas, dan kurang pergaulan. Itulah mengapa Eddie sangat percaya diri dalam mendampingi Jamie bersama seorang pengacara saat diinterogasi oleh polisi. Ia yakin anaknya tak bersalah. Jamie pun bersikeras menyatakan dirinya tak membunuh seorang gadis yang juga teman sekolahnya, Katie.

Satu per satu bukti dikeluarkan oleh Bascombe untuk membuat Jamie mengaku. Mulai dari postingan-postingan Jamie yang berbau pornografi di media sosial yang dikomentari secara negatif oleh Katie, hingga rangkaian foto-foto dari CCTV yang memperlihatkan Jamie sedang mengikuti Katie.
Semua itu mengarah ke satu motif: dugaan cinta yang menyimpang, gairah seksual yang mungkin meledak menjadi kebencian. Namun, bukti-bukti itu belum membuat Jamie mengakui perbuatannya. Hingga Bascombe harus mengeluarkan senjata terakhirnya: video CCTV yang membuat ruangan menjadi sunyi saat layar memutar detik-detik yang memecahkan segalanya.
Di situ tampak Jamie dengan sadis menikam Katie berkali-kali di suatu malam, hingga tergeletak tak bernyawa di tengah jalan yang sepi. Melihat rekaman video tersebut, Eddie hanya membeku di antara batas antara kepercayaan dan kebohongan. Pada titik itu, rasa kasihan berubah menjadi getir.
Anak yang semula tampak lemah dan layak dilindungi, perlahan berubah menjadi sosok yang menyebalkan dan keras kepala. Sambil menangis, ia masih tetap tak mau mengakui perbuatannya di depan sang ayah meski telah terperangkap dalam kebenaran yang lebih kelam.
Episode pertama sebenarnya telah menyimpulkan, Jamie adalah pembunuh Katie. Namun, serial ini bukan sejenis kriminal psikologis yang hendak membawa kita menjadi detektif untuk mencari pelaku sebenarnya, yang berujung pada plot twist yang tak terduga. Ia justru mengajak penontonnya untuk mencermati dengan jeli motif di balik pembunuhan sadis yang dilakukan Jamie.
Meski jawabannya sangat buram, namun serial ini memberikan banyak petunjuk yang mengarahkan kita untuk melihat keterkaitan antara kasus pembunuhan Katie dengan budaya misoginis daring yang belakangan disebut sebagai budaya selibat terpaksa atau Incel (Involuntary Celibate).
Istilah ini merujuk kepada laki-laki yang mengalami krisis maskulinitas. Mereka meyakini bahwa perempuan hanya ingin mencintai laki-laki yang menarik secara fisik dan sosial. Mereka memiliki kepercayaan diri yang rendah dan merasa dirinya gagal menjadi laki-laki menurut kerangka maskulinitas tradisional.
Hal ini dianggap sebagai penyebab perempuan tak menginginkannya. Alih-alih berusaha membangun dirinya lebih baik, mereka malah secara terbuka menebarkan gairah misoginis dengan menyuarakan kebenciannya terhadap perempuan melalui dunia maya. Karena mereka menganggap perempuan menjadi penyebab kegagalannya dalam hidup.
Di Dunia Barat, mereka telah membentuk komunitasnya sendiri, dan sangat aktif di media sosial untuk menyatakan sinismenya terhadap perempuan. Hingga budaya tersebut mulai dianggap berbahaya, mengingat kasus pembunuhan terhadap perempuan yang ditengarai oleh budaya Incel mulai marak terjadi.
Dalam Adolescence, banyak momen yang secara tak langsung menggambarkan Jamie sebagai remaja yang terdoktrin oleh ideologi Incel. Ia mengaku dirinya kurang menarik sebagai lelaki kepada psikolog klinis, Briony Ariston, namun sangat mengharapkan jawaban sebaliknya dari psikolog tersebut. Bahwa, “seharusnya kamu mengatakan saya tak jelek,” ucap Jamie. Ia juga merasa selalu gagal dalam membangun hubungan asmara.
Sesekali ia berusaha mendekai Katie, namun cintanya ditolak. Akibatnya, ia dirundung oleh Katie di media sosial dengan menggunakan sejumlah emoji yang kerap digunakan seorang pengikut Incel di media sosial seperti pil merah, dinamit, kacang merah, dll. Memberi kesan bahwa ia tak menarik, tak pantas dicintai, dan akan jomlo seumur hidupnya.
Kecenderungan Incel dari seorang Jamie semakin nampak saat beberapa kali ia pemperlihatkan sisi agresif dan arogansi maskulinnya kepada Briony. Karena perempuan tersebut kerap mendominasi percakapan dan menyudutkannya melalui pertanyaan-pertanyaan sensitif: ia terlihat tak suka dikuasai oleh perempuan.
Seolah-olah serial ini hendak menegaskan bahwa ketidakbecusannya dalam urusan cinta, perundungan yang ia alami di media sosial, dan kebenciannya terhadap perempuan mendorong Jamie menghabisi nyawa Katie. Ia memang telah membunuh, namun ia juga adalah korban dari kekerasan verbal di dunia maya yang mengiris perasaannya terlalu dalam.
Kesimpulan ini hanya dugaan yang ditarik berdasarkan tanda-tanda dari kepolisian, psikolog klinis, dan Jamie sendiri. Namun, ada sejumput pesan yang pasti dan fakta yang tak terbantahkan: remaja masa kini hidup dalam dunia maya yang sedemikian kompleks dan merusak. Mereka tumbuh di tengah bangkitnya budaya Incel dan kebrutalan cyberbullyng.

Racun tersebut bersatu membentuk mimpi buruk bagi setiap orang tua. Kebahagiaan Eddie dan Manda seketika runtuh tertampar oleh fakta bahwa mereka sama sekali tak tahu apa-apa tentang kehiduan anaknya. Mereka hanya tahu, Jamie tak pernah keluar kamar. Dia pulang, membanting pintu, naik tangga, dan duduk di depan komputer. Mereka pikir telah melakukan hal yang benar.
Mereka tak membayangkan kamar tidur dapat menjadi tempat paling berbahaya bagi remaja. Jamie memang hanya bermain komputer, tapi tak sekadar bermain game, sebagaimana yang dibayangkan Eddie. Jamie telah begitu dalam terjebak dalam ruang gelap digital yang tak mereka pahami: terpapar epistemologi jahat para misoginis daring, dirusak oleh praktik perundungan di ruang siber.
Saya pikir, bagian akhir dari episode keempat menjadi titik klimaks terbaik Adolescence. Saat Eddie dan Manda, di sebuah kamar yang sempit, mulai merenungi bagian yang retak dalam proses parenting keluarga kecilnya. Tentang pengawasan yang terlalu longgar, sifat buruk orang tua yang mungkin mengalir secara genetik, tentang pendidikan keluarga yang mungkin keliru.
Terlepas dari itu, perkataan Eddie bisa jadi separuh benar: setiap orang tua tak mungkin mengawai anaknya setiap hari. Olehnya itu, orang tua telah mempercayakan institusi pendidikan untuk membina anak-anaknya. Namun sayangnya, Adolescence justru menampilkan wajah horor dan problematik tempat Jamie mengenyam pendidikan.
Tepatnya di episode ketiga, sekolah tampil sebagai lingkungan yang keras dan tidak stabil, atau memakai istilah Bascombe: seperti kandang ternak. Di sekolah tersebut, tak sedikit kita temui siswa tempramental yang bebas melakukan kekerasan dan kejahilan. Sementara siswa lainnya bebas berselancar di dunia maya melalui ponsel cerdas. Tak ada pengawaan ketat. Seolah ini menjadi rutinitas yang dibiarkan tumbuh.
Di dalam kelas, kekacauan menggema oleh suara teriakan dan umpatan dari siswa yang sulit ditertibkan. Sementara tak sedikit guru, secara menyedihkan digambarkan sebagai sosok yang apatis dan kehilangan harapan. “Anak-anak ini sulit diatur, apa yang harus kulakukan?” kata seorang guru kepada Bascombe.
Adolescence, secara tak langsung hendak menunjukkan, bahwa Jamie adalah produk dari lingkungan sekolah yang gagal mengenal, memahami, dan membimbingnya menjadi manusia. Potret sekolah semacam ini jelas tak bisa dikatakan sebagai medan yang sehat bagi anak-anak untuk belajar mengelola emosi, saling menghargai, dan lebih bijaksana dalam menerima perkembangan kebudayaan.
Namun tentu saja, kegagalan sekolah dalam membentuk Jamie hanyalah satu sisi dari masalah yang lebih luas. Sebab pertumbuhan anak-anak adalah proses kompleks yang melibatkan tiga jaringan yang saling terkait dan terikat: sekolah formal, keluarga, dan masyarakat. Jika kesatuan tujuan antar ketiganya terlalu rapuh, maka sulit untuk mencegah anak-anak agar tak terserap dalam lubang hitam kebudayaan yang menjerat Jamie.
* Penulis adalah jurnalis dan pegiat literasi
Comment