Di Antara Ihram dan Kesadaran

Respublica, — Tahun itu, Pak Usman (65), seorang tukang jahit sederhana di sebuah kampung di Sulawesi Selatan berangkat menunaikan ibadah haji untuk pertama kalinya. Uang yang ia kumpulkan selama lebih dari 15 tahun, dari menjahit seragam sekolah dan baju pengantin, akhirnya cukup untuk membiayai dirinya ke Tanah Suci. Anak-anaknya yang masih kecil dulu kini sudah mandiri, dan saat itu, ia merasa waktunya telah tiba.

Tetapi tak banyak yang tahu bahwa sebelum berangkat, Pak Usman diam-diam menjual satu-satunya sawah warisan keluarganya untuk melunasi sisa ONH.

Demikian pula Maryani (63) wanita Bogor yang bekerja sebagai pemulung,Butuh 26 tahun bagi Maryani untuk mewujudkan mimpinya mengunjungi Rumah Allah (Baitullah).

Bagi mereka, sawah dan hasil jerih payahnya itu bukan hanya aset, tapi menjadi paradoks, penghalang yang harus dilepas agar ia bisa “pulang” bukan ke kampung halaman, tapi ke asal mula dirinya.

Sesungguhnya kami adalah milik Allah dan kepada-Nya kami akan kembali(QS. Al-Baqarah: 156)

Dalam tasawuf, “melepas” berarti membebaskan hati dari ketergantungan terhadap dunia (hubb al-dunya). Ini bukan berarti meninggalkan kehidupan dunia secara fisik, tetapi memutus keterikatan batin terhadap harta, jabatan, kemasyhuran, dan kesenangan inderawi.

Pak Usman dan Maryani adalah salah satu dari banyaknya orang yang memiliki untuk memutus keterikatan dalam melakukan perjalanan haji, bagi mereka, aset yang dimiliki mesti dilepas agar ia bisa “pulang” bukan ke kampung halaman, tapi ke asal mula dirinya, kerinduan untuk pulang ke Tuhan, dan syaratnya “melepaskan” dunia, agar bisa kembali kesadaran ruhani manusia akan eksistensinya.

Dalam khazanah filsafat Islam, terutama dalam pemikiran Ibnu Sina dan Mulla Sadra, perjalanan hidup manusia dikenal dengan dua titik, al-mabda’ (asal) dan al-ma‘ad (kembali). Haji merupakan simulasi nyata kepulangan manusia secara spiritual, perjalanan eksistensial menuju Tuhan, tempat asal sekaligus tujuan akhir.

Ibnu Sina, dalam karyanya Al-Najat, menyebut bahwa al-ma‘ād adalah kepulangan spiritual manusia setelah teruji oleh kehidupan fisik. Haji, dalam hal ini, bukan hanya ritual, tetapi simulasi kehidupan dan kematian: pakaian ihram seperti kain kafan, wukuf di Arafah seperti Mahsyar, dan tawaf sebagai orbit manusia kepada pusat Tauhid.

Dalam buku klasik “Hajj: Reflections on Its Rituals”, pemikir revolusioner Ali Shariati menyampaikan bahwa haji adalah drama spiritual yang menyimbolkan kebebasan, kesetaraan, dan pencarian eksistensial manusia

Bagi Shariati, haji adalah cara melepaskan identitas palsu yang dibentuk oleh kelas sosial, ras, nasionalisme, dan ego. Dengan mengenakan ihram, manusia menanggalkan semua label duniawi dan bersatu sebagai satu umat, satu jiwa, satu tujuan. Maka, thawaf bukan sekadar mengelilingi Ka’bah, tetapi orbit spiritual yang menyatukan seluruh manusia dalam gravitasi Tauhid.

Shariati juga menyebut bahwa Sai antara Safa dan Marwah adalah simbol perjuangan manusia sepanjang sejarah  dari kesendirian Hajar hingga kebangkitan peradaban.

“Hajar adalah ibu sejarah. Ia berlari bukan untuk dirinya sendiri, tapi untuk anak-anak umat manusia. Sai adalah drama perjuangan dan pengorbanan seorang perempuan.”

Haji dan Transformasi Sosial

Di Indonesia, haji adalah ibadah yang sangat populer sekaligus penuh fenomena sosial. Antrean daftar tunggu bisa mencapai 10 hingga 30 tahun di berbagai provinsi. Hal ini menunjukkan tingginya keinginan spiritual, namun juga tak lepas dari faktor simbolik sosial.

Gelar “Haji” atau “Hajjah” kerap diasosiasikan dengan kehormatan, status, bahkan legitimasi moral. Tidak sedikit pejabat, tokoh masyarakat, hingga pedagang yang merasa belum “lengkap” sebelum menunaikan haji. Bahkan dalam praktik sehari-hari, gelar haji seringkali menjadi semacam kredensial sosial.

Sosiolog Pierre Bourdieu pernah menyebut bahwa dalam masyarakat, terdapat sesuatu yang disebut “modal simbolik” yaitu penghormatan yang dilekatkan bukan hanya karena peran, tetapi karena simbol-simbol yang dianggap sakral atau bermartabat. Di Indonesia, haji termasuk salah satu modal simbolik tersebut.

Namun, di sisi lain, jika tidak dimaknai secara utuh, gelar “haji” bisa berubah dari nilai menjadi beban moral, dari kehormatan menjadi eksklusivitas. Maka, penting untuk menjaga agar haji tetap menjadi pengalaman spiritual dan sosial, bukan hanya simbol identitas.

Haji tidak berhenti di Makkah. Haji sejati dimulai ketika ia pulang. Perjalanan pulang dari Tanah Suci seharusnya bukan hanya membawa oleh-oleh dan foto-foto, tetapi membawa nilai dan perubahan.

Haji mengajarkan bahwa kesetaraan adalah ruh Islam. Dalam konteks Indonesia yang plural dan majemuk, seorang haji bisa berperan sebagai penjaga nilai-nilai inklusif Islam memperkuat persatuan, bukan memperdalam sekat sosial.

Comment