Mencari Sila Kelima

Respublica— Dalam banyak peringatan Hari Lahir Pancasila, kita sering terjebak pada ritual seremonial. Pidato pejabat dibumbui kutipan Bung Karno, barisan pelajar berseragam membaca teks sakral lima sila dengan penuh khidmat, dan poster-poster digital membanjiri media sosial dengan slogan kebangsaan. Namun, di balik euforia simbolik itu, realitas sosial justru menampar kesadaran kita dengan fakta yang getir.

Bank Dunia dalam laporannya baru-baru ini kembali mengingatkan bahwa Indonesia belum selesai dengan problem paling mendasar sebagai sebuah bangsa: kemiskinan. Tak tanggung-tanggung, 60,3% penduduk Indonesia—sekitar 171,91 juta jiwa—dikategorikan sebagai penduduk miskin, jika menggunakan ambang batas upper middle income country, yaitu pengeluaran harian di bawah US$6,85 atau Rp115.080 per orang. Sebuah standar yang mungkin terdengar “tinggi” bagi pembuat kebijakan, tapi sebetulnya itulah angka minimum hidup dengan layak.

Jika lebih dari separuh penduduk hidup dalam keterbatasan ekonomi yang menafikan kualitas hidup layak, maka kita patut bertanya: di mana sila kelima Pancasila ? Apakah Pancasila hanya berhenti di ruang pidato kenegaraan, ataukah ia benar-benar menjelma dalam desain anggaran, skema perlindungan sosial, dan arah pembangunan ekonomi?

Pancasila, dalam rumusan yang paling ideal, bukan sekadar filosofi negara. Ia adalah kontrak sosial, janji kolektif tentang kehidupan berbangsa yang adil, setara, dan beradab. Namun, sila kelima—”Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia”—justru menjadi yang paling diingkari dalam praktik. Ketimpangan struktural, kemiskinan masif dan ekstrem, serta akses sumber daya yang timpang telah menjauhkan kita dari ruh Pancasila itu sendiri.

Bung Karno pernah berkata, “Pancasila adalah isi jiwa bangsa Indonesia yang lahir dari lubuk sanubari rakyatnya.” Jika kita percaya bahwa Pancasila lahir dari getir bathin rakyat, maka mengabaikan penderitaan rakyat adalah bentuk paling telanjang dari pengkhianatan terhadap Pancasila. Di negeri ini, banyak rakyat masih antre sembako, kehilangan pekerjaan, terjebak utang pinjol, hingga kesulitan membeli telur dan beras. Sementara, para elite politik sibuk berebut kursi, sembari menikmati anggaran negara, baik dengan cara legal maupun ilegal.

Sebagian pihak mungkin membela diri: “Bukankah angka kemiskinan versi BPS terus menurun?” Ya, secara statistik nasional, kemiskinan ekstrem diklaim menyusut. Tapi kita harus jujur, bahwa indikator resmi kemiskinan sering kali disederhanakan, dan tidak mencerminkan kebutuhan riil warga untuk hidup secara layak. Standar Bank Dunia memperlihatkan bahwa masyarakat yang disebut “tidak miskin” oleh negara ternyata masih rapuh secara ekonomi, rawan jatuh miskin kembali karena guncangan sedikit saja—PHK, kenaikan harga, atau biaya kesehatan.

Ini bukan hanya soal angka, tapi soal keberpihakan. Karena itu, memperingati Hari Lahir Pancasila semestinya bukan ajang pementasan narasi nostalgia, tapi momen otokritik nasional: apakah kita benar-benar mempraktikkan Pancasila dalam pengambilan kebijakan publik?

Di titik ini, kita harus berhenti membahas Pancasila sebagai dokumen ideologis semata. Pancasila harus dibaca sebagai program kerja sosial-politik-ekonomi. Negara yang menjunjung Pancasila tak boleh membiarkan mayoritas warganya hidup dalam ketidakberdayaan, atau kemiskinan yang disamarkan. Ia harus hadir aktif dalam menyediakan pelayanan publik yang terjangkau, akses pendidikan berkualitas, jaminan kesehatan universal, dan lapangan kerja yang manusiawi.

Sayangnya, keberpihakan itu masih tertahan oleh politik oligarkis. Alih-alih memperkuat sistem perlindungan sosial dan keberlanjutan ekonomi kerakyatan, negara justru sibuk menata ulang konstelasi kekuasaan. Sementara rakyat diberi hiburan: tontonan infrastruktur, subsidi yang bersyarat, dan kartu-kartu bantuan yang datang musiman menjelang pemilu.

Kita sedang menghadapi bahaya “pancasilaisme kosmetik”—yakni ketika Pancasila hanya dijadikan alat pencitraan politik, bukan sebagai kompas etik dan keberpihakan sosial. Dalam situasi semacam itu, Pancasila berisiko direduksi menjadi slogan kosong tanpa daya transformatif. Padahal, Pancasila lahir bukan dari menara gading, tapi dari perlawanan terhadap ketimpangan dan penjajahan.

Kini, lebih dari tujuh dekade setelah kelahirannya, kita dihadapkan pada ujian besar: apakah Pancasila masih menjadi milik rakyat kecil, atau sudah menjadi milik segelintir elite yang memonopoli tafsir dan pelaksanaannya?. Disinilah perjuangan mencari sila kelima relevan.

Hari Lahir Pancasila bukan hanya soal mengenang sejarah, tapi menagih janji, menagih tanggung jawab. Sudah saatnya kita berhenti memuja Pancasila dalam upacara, tapi mulai mempraktikkannya dalam anggaran negara dan kebijakan publik. Karena bila tidak, Pancasila akan terus lahir setiap 1 Juni, tapi mati dalam kehidupan sehari-hari.

Comment