Dilarang Gondrong

Respublica— Buku Dilarang Gondrong mengisahkan praktik kekuasaan Orde Baru terhadap pemuda Indonesia pada era 1970-an. Pada masa itu, rambut gondrong bukan sekadar gaya, tetapi dianggap sebagai simbol pembangkangan, bahkan dikaitkan dengan kriminalitas. Sebaliknya, pria berambut pendek yang melakukan tindak kejahatan justru dianggap tidak lazim oleh masyarakat karena citra rapi dan patuh melekat kuat pada diri mereka.

Penulis juga mengangkat pandangan Hiraishi mengenai cara kerja kekuasaan Orde Baru yang memposisikan negara sebagai keluarga. Dalam struktur ini, Soeharto menempatkan diri sebagai “Bapak” tertinggi bangsa.

Konsep tersebut melahirkan relasi yang timpang antara pemerintah (orang tua) dan rakyat, terutama pemuda (anak), di mana anak tidak diperkenankan melawan orang tua. Akibatnya, terjadi relasi hegemonik yang mempersempit ruang kritik dan kebebasan berekspresi pemuda.

Dalam narasi historisnya, buku ini juga mengulas hubungan antara militer dan kelompok-kelompok pemuda seperti KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia), KAPI (Kesatuan Aksi Pemuda Indonesia), dan KAPPI (Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia).

Pada masa transisi dari Demokrasi Terpimpin ke Orde Baru, hubungan tersebut bersifat kooperatif. Pemuda dan militer bersatu untuk menggulingkan kekuasaan Soekarno. Tidak bisa dimungkiri bahwa keberhasilan gerakan pemuda saat itu juga didukung oleh kekuatan militer.

Namun, setelah Soeharto berkuasa, relasi ini berubah. Orde Baru mulai memandang pemuda, khususnya mahasiswa, sebagai kelompok yang belum matang dan harus berada di bawah pengawasan. Aktivitas politik yang dahulu mendapat ruang, kini dibatasi. Perubahan sikap ini mencerminkan ketakutan rezim terhadap potensi gerakan pemuda sebagai kekuatan perubahan.

Salah satu momen penting yang disorot dalam buku ini adalah pernyataan Jenderal Soemitro pada tahun 1973, yang disiarkan secara langsung di televisi. Ia menyatakan bahwa rambut gondrong mencerminkan sikap acuh tak acuh dari kalangan muda. Pernyataan ini menimbulkan kontroversi, sebab hal yang seharusnya menjadi pilihan pribadi justru dijadikan larangan resmi oleh negara.

Secara keseluruhan, Dilarang Gondrong menyajikan potret bagaimana kekuasaan Orde Baru berupaya menundukkan ekspresi dan identitas pemuda melalui kontrol simbolik. Buku ini menjadi pengingat bahwa kekuasaan tidak selalu bekerja secara fisik, melainkan juga melalui aturan-aturan budaya yang dikonstruksi secara sistematis.

 

Comment