Sri Mulyani dan Nasib Kesejahteraan Guru-Dosen

M. Yunasri Ridhoh (Dosen Pendidikan Kewarganegaraan FEB UNM)

Saya terpantik oleh cuitan Mas Iman, Kabid Advokasi P2G, yang kemarin membagikan rangkaian pernyataan Bu Sri Mulyani sejak 2018 sampai sekarang. Menurut Iman kalau dirunut, polanya terlihat jelas: dari sindiran soal tunjangan guru besar tapi kualitas rendah (2018), usulan mengkaji ulang 20% anggaran pendidikan dari APBN (2024), hingga yang terbaru, pertanyaan retoris pada Agustus 2025: “Gaji guru dan dosen kecil, apakah semua harus dari uang negara?”

Kalau dibaca satu-satu, kesannya seperti kritik biasa. Tapi kalau ditarik benang merahnya, seolah ada satu pola yang konsisten: mempertanyakan perlu tidaknya negara menjamin kesejahteraan bagi guru dan dosen.

Di titik ini, saya mencoba membalik pertanyaan Bu Menteri: kalau gaji guru dan dosen yang kecil itu dipertanyakan urgensinya, mengapa gaji dan fasilitas pejabat yang justru amat besar tidak pernah mendapat pertanyaan serupa?

Gaji pokok menteri, misalnya, sekitar Rp18 juta, plus tunjangan jabatan Rp13 juta. Itu angka di atas kertas. Belum dihitung fasilitas: rumah dinas, mobil dinas, sopir, asuransi kesehatan, perjalanan dinas, bahkan tunjangan representasi. Sama-sama dari uang negara.

Belum lagi gaji komisaris BUMN yang bisa mencapai ratusan juta per bulan—misalnya Komisaris Independen PTPN III yang estimasinya Rp223 juta per bulan—plus berbagai tunjangan, asuransi, dan fasilitas lain. Semua itu juga bersumber dari pajak yang dibayar rakyat.

Sementara di sisi lain, guru honorer di banyak daerah masih dibayar di bawah Rp2 juta per bulan, bahkan masih ada yang diupah 300 ribuan perbulan. Demikian juga dengan dosen, ada yang hanya menerima honor per SKS, itupun dibatasi maksimal yang dibayarkan hanya 12 SKS, tanpa jaminan kesehatan layak, tanpa kepastian kontrak panjang. Mereka tetap mengajar, membimbing, dan mempersiapkan masa depan generasi kita.

Kalau mau bicara kualitas, tentu tidak semua guru dan dosen sempurna. Tapi itu masalah sistem: rekrutmen yang kadang politis, pelatihan yang tak merata, evaluasi yang lebih administratif daripada substantif. Solusinya bukan memotong atau membatasi sumber gaji mereka, melainkan membenahi tata kelola dan memastikan yang mengajar memang kompeten dan terlatih.

Kita sering lupa, pendidikan adalah amanat konstitusi. Pasal 31 UUD 1945 jelas menyebut negara wajib membiayai pendidikan, termasuk memastikan guru dan dosen hidup layak. Dan amanat 20% APBN untuk pendidikan bukan angka main-main; itu hasil perjuangan panjang agar pendidikan tidak terus berada di prioritas paling bawah.

Saya mengerti, Menteri Keuangan punya tanggung jawab menjaga kestabilan anggaran negara. Tapi membicarakan efisiensi pendidikan sebaiknya dimulai dari pos-pos yang selama ini lebih longgar diaudit: proyek infrastruktur yang membengkak, perjalanan dinas pejabat, atau subsidi yang salah sasaran.

Kalau yang dipertanyakan justru gaji guru dan dosen, profesi yang sudah jelas bergaji kecil, maka kesannya negara sedang mencari hemat dari kantong orang yang sudah sekarat.

Di dunia kerja mana pun, kualitas akan sulit tumbuh kalau kesejahteraan tertekan. Guru yang gajinya pas-pasan akan terdistraksi mencari tambahan penghasilan. Dosen yang honornya minim akan tergoda mengajar di banyak kampus, mengorbankan fokus pada riset atau bimbingan.

Maka, daripada bertanya “apakah semua harus dari negara?”, mungkin lebih sehat kalau kita balik: “Kenapa negara tidak sepenuhnya menanggung gaji guru dan dosen, bahkan memastikan itu layak, demi masa depan bangsa?”

Sebab kalau logika ini terus dibiarkan, lama-lama kita akan terbiasa melihat pendidikan sebagai beban biaya, bukan sebagai investasi. Dan ketika itu terjadi, kerusakan yang muncul bukan hanya di kualitas tenaga pendidik, tapi juga di kualitas manusia yang mereka hasilkan.

Kalau negara serius ingin meningkatkan kualitas pendidikan, pertanyaannya bukan lagi “siapa yang membayar gaji guru dan dosen?”, tapi “apa yang sudah negara lakukan untuk memastikan guru dan dosen bisa mengajar dengan tenang, fokus, dan bermartabat?”

Karena tanpa guru dan dosen yang sejahtera, tak ada masa depan yang benar-benar aman. Dan kalau masih mau berbicara soal efisiensi uang negara, mari kita mulai dari meja-meja kekuasaan, bukan dari ruang kelas.

Comment