Nasionalisme Macam Apa yang Harus Kami Miliki?

Muhajir MA (Jurnalis)

Di sebuah lorong sempit, seorang anak muda sedang berjuang menegakkan sebatang bambu. Di ujungnya berkibar merah putih. Bukan pemandangan istimewa. Menjelang 17 Agustus, hal seperti itu selalu berulang tanpa harus diperintah negara. Ia sudah seperti ideologi yang diam-diam hidup dalam praktik material sehari-hari.

Tapi ingatan itu bergeser ketika ucapan Ketua Dewan Pembina Badan Pembinaan Ideologi Pancasila melintas: nasionalisme anak muda rapuh. Dari Istana Merdeka yang luas dan jauh dari lorong-lorong sempit itu, ia menegaskan perlunya mendidik generasi muda agar lebih mencintai tanah air.

Ucapan itu disambut Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah. Seakan membenarkan. Lalu diumumkan: Pramuka kembali diwajibkan, dari SD hingga SMA. Harapannya, dari kegiatan yang diciptakan Letnan Jenderal Inggris lebih seabad lalu itu, anak-anak muda akan belajar menanam cinta tanah air.

Ada ironi yang menyelinap. Para penguasa begitu rajin menuding warga negara sedang mengalami krisis nasionalisme. Kata-kata itu terus berulang, sampai kita muak dan bosan mendengarnya. Namun dari ruang-ruang kekuasaan sendiri, kabar korupsi datang bergiliran: dari petinggi BUMN, elit partai, hingga menteri.

Tak pernah jelas nasionalisme macam apa yang dianggap hilang dari warga negara. Atau nasionalisme macam apa yang harus kami miliki menurut para penguasa. Sementara di kalangan mereka yang berteriak paling nyaring, cinta tanah air justru tak pernah mengambil bentuk yang kongkret kecuali perilaku korup yang menggerogoti negara itu sendiri.

Barangkali para penguasa masih memandang nasionalisme dalam bentuknya yang paling klise: cinta dan loyal tanpa batas pada  tanah air. Sebenarnya itu tak salah. Mereka hanya lupa membedakan antara loyal pada bangsa dan loyal pada pemerintah; antara mencintai tanah air dan mencintai kekuasaan.

Akhir-akhir ini kita melihat peristiwa yang membuat penguasa terusik, lalu kata “nasionalisme” kembali digunakan secara serampangan: Tagar #KaburAjaDulu mendadak bergaung di media sosial. Di jalanan, menjelang ulang tahun ke-80 Republik, berkibar bendera Bajak Laut Topi Jerami, tokoh fiktif dalam manga One Piece.

Dua peristiwa itu sesungguhnya lahir dari kekecewaan warga negara terhadap kinerja pemerintah, juga sebagai isyarat perlawanan terhadap keadaan sosial dan politik yang mereka hadapi. Namun pemerintah memilih jalan lain: membenturkan ekspresi itu dengan nasionalisme.

Seorang menteri segera memberi tafsir: tagar itu tanda kurang cinta tanah air. Seorang wakil menteri menambahkan dengan nada getir, biarlah orang yang ingin kabur ke luar negeri tak usah kembali lagi. Seolah nasionalisme jadi semacam garis batas: siapa yang setia dan tak setia pada negara ini.

Pengibaran bendera One Piece pun tak luput dari kecaman. Seorang wakil ketua DPR melihatnya sebagai upaya untuk memecah belah bangsa. Seorang menteri koordinator menilainya sebagai provokasi, sebagai cara untuk menurunkan martabat merah putih.

Kata-kata itu terdengar keras, tapi justru memperlihatkan hal menarik: bagaimana simbol fiksi dari dunia hiburan bisa membuat kekuasaan merasa terusik. Sayangnya, ia diberi cap gerakan anti-nasionalisme. Penguasa seolah melenyapkan batas antara bangsa dan pemerintah. Hingga akhirnya, mengkritik pemerintah disamakan dengan tak mencintai tanah air.

Padahal, bangsa dan pemerintah adalah dua entitas yang sangat jauh berbeda. Bangsa, kata Benedict Anderson, adalah komunitas politik yang dibayangkan. Ia tak pernah hadir sebagai tubuh yang nyata. Ia secara unik hidup dalam benak orang-orang yang tak saling kenal. Tapi dalam pikiran mereka, ada sebuah citra: bahwa mereka berbagi kebersamaan.

Namun kebersamaan itu bukanlah tanpa batas. Setiap bangsa dibayangkan hanya sampai pada suatu tepi, dan di luar tepi itu ada bangsa lain. Ia juga dibayangkan berdaulat. Dengan kata lain, berhak menentukan dirinya sendiri, lepas dari kekuasaan asing dan dari raja-raja kuno.

Di sanalah nasionalisme menemukan bentuknya. Kata Anderson , nasionalisme bukan warisan yang jatuh begitu saja dari masa lampau, namun sebuah proyek bersama untuk kini dan nanti. Dan proyek ini lebih membutuhkan pengorbanan pribadi, bukannya malah mengorbankan orang lain.

Sementara pemerintah hanyalah sebuah lembaga formal. Ia sekadar roda yang membuat negara bergerak: menyusun kebijakan, mengelola ekonomi, menjaga keamanan, dan, yang terpenting, melayani warganya. Ia tak lebih dari alat. Sebuah perangkat yang mendapat mandat dari rakyat untuk mengabdi pada tujuan bangsa.

Nasionalisme mestinya dipahami pemerintah sebagai kerelaan berkorban dalam melindungi warganya, menegakkan keadilan, dan menjalankan pemerintahan dengan baik agar setiap orang merasa bagian dari kebersamaan yang bernama bangsa. Bukan menjadikannya alat kekuasaan, apalagi dijadikan jargon untuk melindungi diri dari kritik.

Ketika warga negara meluapkan kekecewaannya pada ketidakbecusan pemerintah, semestinya itu dibaca sebagai bentuk cinta pada bangsa. Sebuah keberatan lahir justru karena ada kerelaan menjaga komunitas bersama ini dari kerusakan akibat kebijakan yang ugal-ugalan. Di sanalah letak nasionalisme itu dan bangsa, pada akhirnya adalah proyek bersama.

Dalam proyek itu, keterlibatan warga negara menginterupsi pemerintah menjadi tanda bahwa mereka tak ingin berpaling. Justru karena ingin tinggal lebih lama di rumah bernama bangsa, mereka mendesak pemerintah bekerja lebih baik. Kritik itu lahir karena ada hasrat untuk menjaga agar perbaikan tak berhenti dan rumah bersama ini tetap berdiri.

Kata Anderson, itulah hak setiap orang Indonesia—yang ditakdirkan lahir di Republik ini—untuk berpartisipasi dengan sukarela, dengan semangat, dengan kesetaraan, tanpa ketakutan. Sebab Nasionalisme Indonesia adalah proyek bersama yang menuntut kita hadir. Jika perjuangan ini tak dilakukan dengan sungguh-sungguh, masa depan dari usaha bersama ini akan kehilangan arah.

Setelah membaca tudingan para elit politik dan penguasa mengenai krisis nasionalisme anak muda, saya lalu merenung: apakah ragam ekspresi kritik yang belakangan ini membuncah tidak bisa disebut sikap nasionalisme? Atau, lebih sederhana lagi: apakah seorang anak muda yang memasang bendera merah putih di depan rumahnya pantas dicap tak nasionalis?

Barangkali tak ada heroisme di sana. Hanya seorang anak kurus yang, pelan demi pelan, menegakkan selembar merah putih di ujung bambu. Tapi dalam kesederhanaan itu rasa kebangsaan berdenyut. Kita tak tahu peris apakah anak itu pernah memikirkan definisi nasionalisme. Namun ia seakan ingin berkata: negeri ini tetap rumahku.

Tepat di Hari Kemerdekaan ini, tampak rumah-rumah warga telah terpasang bendera merah putih. Kita tak tahu persis siapa penghuninya: mungkin ada yang paling keras mengkritik pemerintah, mungkin ada yang membelanya habis-habisan, atau mungkin juga ada yang tak acuh dengan semua ini. Namun setidaknya setitik nasionalisme yang tersisa ada di sana.

Nasionalisme yang sekadar bangga dan setia untuk tetap hidup di tanah air ini, meski diapit kepedihan sehari-hari: di tengah cicilan rumah yang tak kunjung lunas, nasib yang suram setelah kontrak diputus oleh kantor pemerintah, di tengah kebingungan bagaimana mengisi perut hari ini. Lalu dengan hidup yang serba menyedihkan itu, pantaskah para penguasa menuding warganya tidak nasionalis?

Comment