Jejak Sunyi dan Luka Kolektif dalam “Sebelum Gerimis Jatuh di Kening”

Sitti Nurliani Khanazahrah

Membaca Sebelum Gerimis Jatuh di Kening terasa seperti memasuki sebuah lorong hening, sebuah ruang yang tidak dibangun dari dinding-dinding batu, tetapi dari lapisan kata-kata yang perlahan meresap ke dalam batin. Setiap kalimatnya jatuh perlahan, seperti tetes air di tengah keringnya bebatuan, mula-mula senyap, tetapi lama-kelamaan membentuk lekuk, menciptakan gema yang sulit dilupakan.

ads

Buku karya Embah Nyutz ini tidak hadir untuk sekadar menghibur atau menenangkan, tidak pula menghamparkan rangkaian kata yang manis demi memuaskan dahaga sesaat pembaca yang hanya ingin hiburan ringan. Ia justru tampil sebagai lanskap emosional yang berlapis-lapis, memuat kegelisahan, luka, cinta, kerentanan, dan permenungan yang terasa akrab sekaligus asing.

Membuka halaman demi halaman buku ini ibarat berdiri di tepi jendela menjelang hujan. Udara yang kita hirup tiba-tiba menjadi lembap, cahaya di langit terasa meredup, dan ada semacam ketegangan yang tumbuh dalam dada, menanti sesuatu yang pasti akan datang tetapi tak pernah bisa kita tebak wujudnya. Ia bisa hadir sebagai kesejukan, bisa juga sebagai badai.

Sensasi ambigunya, yaitu antara kesejukan dan kecemasan, menjadi bagian tak terpisahkan dari pengalaman membaca. Buku ini tidak menawarkan kepastian, ia justru memilih menghadirkan ruang ambang, wilayah liminal tempat segala sesuatu berada di antara: antara terang dan gelap, antara tawa dan tangis, antara luka dan pengharapan.

Tetapi di sinilah letak keistimewaannya. Buku ini menolak segala bentuk romantisasi murahan. Ia tidak menyanjung cinta sebagai ekstase yang tak berujung, tidak pula menjual penderitaan sebagai tragedi sentimental yang bisa menguras air mata dengan mudah.

Ia justru berani menempatkan cinta dan luka dalam posisi yang paling jujur seperti paradoksal. Bahwa cinta bisa sekaligus melukai, luka bisa sekaligus menumbuhkan, dan kehilangan bisa sekaligus melahirkan sesuatu yang baru. Hidup, sebagaimana ditampilkan dalam buku ini bukanlah sebuah garis lurus menuju kebahagiaan, melainkan jalinan simpul yang penuh kerumitan.

Gerimis yang disebut dalam judul buku seakan menjadi kunci untuk memahami semua paradoks itu. Dalam kehidupan sehari-hari, gerimis kita pahami sebagai hujan kecil, tanda akan datangnya hujan lebat, atau sekadar transisi antara panas dan teduh. Tetapi dalam buku ini, gerimis tidak dibiarkan hanya sebagai fenomena alam. Ia hadir dengan makna yang jauh lebih personal. Ia jatuh di kening, bagian tubuh yang menanggung begitu banyak tanda.

Pada bagian kening, peluh kehidupan terkumpul, doa-doa bersujud, dan garis-garis halus menandai perjalanan usia. Kening adalah tempat tubuh kita berhadapan langsung dengan dunia. Ia menerima panas matahari, dingin angin, dan juga sentuhan lembut dari orang lain. Maka ketika gerimis jatuh di kening, ia tidak lagi sekadar air, tetapi lebih sebagai simbol eksistensial. Ia bisa menjadi kesedihan yang menetes dari langit, tetapi juga bisa menjadi kesegaran yang membersihkan dan menyadarkan.

Metafora ini menunjukkan betapa rapuh sekaligus betapa dalamnya pengalaman manusia. Sebelum badai besar datang, hidup sering kali terlebih dahulu memberi kita gerimis kecil. Luka-luka kecil yang kerap kita abaikan justru membuka pintu menuju kesadaran. Dan pada titik ini, buku ini dengan sengaja menolak untuk memberikan jawaban pasti. Ia tidak terburu-buru menghibur atau menawarkan solusi instan.

Sebaliknya, ia menempatkan kita di wilayah “sebelum”, sebuah ruang liminal yang penuh ketegangan tetapi juga penuh kemungkinan. Heidegger (1889-1976) pernah mengatakan bahwa manusia adalah Dasein, ada yang selalu hidup di ambang, berada di antara ada dan tiada. Membaca buku ini membuat kita kembali merasakan apa arti hidup di ambang itu. Sebuah kesadaran akan rapuhnya diri, sekaligus undangan untuk menyelami kedalaman makna.

Bahasa yang digunakan penulis pun menjadi jembatan yang rapuh sekaligus kuat. Ia tidak diciptakan untuk sekadar indah atau demi kutipan-kutipipan puitis yang bisa mudah beredar di media sosial. Kalimat-kalimat yang lahir dalam buku ini terasa jernih, getir, kadang patah, tetapi justru kejujuran itulah yang menjadikannya hidup. Paul Ricoeur (1913-2005) menyebut bahasa sebagai rumah makna, tempat manusia berdiam sekaligus tempat ia bisa tersesat.

Penulis tampaknya menyadari hal ini dengan sangat baik. Ia menulis dengan kesadaran penuh bahwa bahasa adalah tubuh ketiga. Bukan sepenuhnya miliknya, bukan pula sepenuhnya milik pembaca, tetapi sesuatu yang tumbuh di antara keduanya. Saat membaca, kita merasa seakan bahasa itu menyapa langsung luka-luka kecil yang kita simpan, seolah kalimat yang ditulis untuk orang lain tiba-tiba menemukan rumahnya di dalam diri kita sendiri.

Pengalaman ini memperlihatkan bahwa tulisan, jika lahir dari kedalaman bisa berubah menjadi pengalaman kolektif. Luka yang ditulis dengan jujur bukan lagi milik pribadi tetapi menjelma menjadi cermin di mana orang lain bisa menemukan dirinya. Inilah yang menjadikan membaca buku ini terasa seperti berdialog dalam kesunyian. Kita tidak sendirian, meski kita sendirian.

Tema-tema besar yang menjadi benang merah dalam buku ini adalah cinta, luka, kehilangan, kesepian, dan ketabahan. Tema-tema itu sejatinya universal, tetapi yang membuatnya berbeda adalah cara penulis mendekatinya. Cinta tidak dihadirkan sebagai euforia penuh bunga. Cinta dalam buku ini adalah pengalaman yang menyentuh inti kerentanan manusia. Kita terluka karena kita berani mencinta. Dan luka, pada gilirannya, tidak ditempatkan sebagai akhir, melainkan sebagai pintu menuju ketabahan.

Di titik ini, saya teringat pada filsafat Albert Camus (1913-1960) tentang absurditas. Hidup bagi Camus adalah absurd karena tidak pernah ada jawaban final untuk penderitaan. Tetapi manusia selalu bisa memilih untuk melanjutkan hidup, bahkan menemukan kebebasan di dalam absurditas itu. Membaca Sebelum Gerimis Jatuh di Kening membuat saya merasakan gema gagasan itu.

Buku ini seolah berkata bahwa luka tidak harus dihapus, tidak pula harus dilawan habis-habisan. Ia harus dipeluk, dijalani, dan diterima sebagai bagian sah dari kehidupan. Dan justru dari pelukan itulah maka lahir ketabahan. Momen membaca buku ini sering kali berubah menjadi pengalaman spiritual. Ada kalimat-kalimat yang membuat saya berhenti, menutup halaman lalu memandang jauh keluar jendela.

Rasanya seperti mendengar suara halus yang mengingatkan saya pada sesuatu yang lebih luas dari diri. Saya pun menyadari bahwa membaca bisa menjadi praktik spiritualitas, bukan spiritualitas yang identik dengan ritual, melainkan keberanian untuk bercermin pada diri sendiri. Membaca berarti menatap wajah kita di cermin yang jujur, cermin yang tidak hanya memperlihatkan sisi terang, tetapi juga keriput, luka, dan sisi paling gelap yang sering kali kita sembunyikan.

Rumi (1207-1273) pernah menulis, “Luka adalah tempat cahaya masuk.” Kalimat itu menemukan resonansinya di sini. Buku ini menunjukkan bahwa luka tidak harus dipandang sebagai aib, tetapi ia justru pintu di mana cahaya bisa menyelinap ke dalam batin. Maka membaca buku ini menjadi serupa doa dalam diam. Doa yang tidak diucapkan dengan kata-kata, melainkan dengan keberanian menatap luka tanpa berpaling.

Meskipun bernuansa personal, pengalaman yang dihadirkan buku ini sejatinya sangat sosial. Ia adalah potret kegelisahan banyak orang di tengah dunia yang semakin bising. Hari ini kita hidup dalam arus media sosial yang penuh dengan slogan motivasi instan. Kalimat-kalimat yang tampak menghibur, tetapi sering kali hampa.

Sementara itu, realitas yang kita hadapi sehari-hari penuh dengan problem struktural. Entah itu kesenjangan sosial, ketidakadilan, atau keterasingan. Buku ini tidak memilih jalan pintas untuk memberi hiburan kosong. Ia justru menawarkan keheningan, mengajak kita berhenti sejenak, duduk, merenung, dan mengakui bahwa luka adalah bagian sah dari hidup yang tidak bisa dielakkan.

Tak dimungkiri dalam budaya kita, kesabaran sering kali dipandang sebagai kebajikan tertinggi, tetapi sering kali dimaknai sebagai sikap pasif seperti menerima saja apa yang terjadi, tanpa perlawanan. Buku ini menawarkan pemahaman yang berbeda. Kesabaran dimaknai sebagai keberanian menatap luka, dan bukan sekadar menunggu waktu yang menyembuhkan. Kesabaran adalah tindakan aktif, cara kita merawat diri di tengah badai kehidupan.

Lebih jauh lagi, buku ini menyentuh dimensi ingatan kolektif. Setiap luka personal sesungguhnya adalah bagian dari sejarah yang lebih besar. Antropologi budaya menyebutnya cultural memory, yaitu ingatan yang tidak hanya hidup dalam individu, tetapi juga terjalin dalam jaringan sosial. Membaca buku ini, kita menyadari bahwa penderitaan yang kita alami bukanlah milik kita sendiri.

Ia adalah gema dari sejarah panjang manusia. Luka kita terhubung dengan luka orang lain, bahkan dengan luka generasi sebelum kita. Maka ketika penulis menuliskan pengalamannya, yang hadir bukan hanya kisah pribadi, melainkan fragmen dari ingatan kolektif yang membentuk kemanusiaan kita bersama.

Jika saya harus merangkum keseluruhan buku ini dalam satu napas, maka saya akan menyebutnya sebagai buku tentang keberanian. Keberanian untuk jujur pada diri sendiri, keberanian untuk menerima cinta yang tidak selalu manis, keberanian untuk mengakui bahwa hidup penuh luka, tetapi tetap memilih untuk menatap langit.

Setiap catatan dalam buku ini seperti saling menyambung untuk membentuk pesan besar bahwa hidup selalu berada “sebelum gerimis jatuh di kening.” Kita hidup di ambang, di antara luka dan harapan, kehilangan dan kelahiran baru, kesunyian dan doa yang tidak bersuara.

Akhirnya, membaca Sebelum Gerimis Jatuh di Kening bukanlah pengalaman sekali duduk. Ia adalah buku yang hidup bersama kita dan menyertai perjalanan kita. Kita akan membukanya kembali, menemukan makna baru, dan membiarkan kata-katanya jatuh perlahan ke dalam diri, seperti gerimis yang selalu berbeda setiap kali turun. Buku ini adalah undangan untuk berhenti sejenak dari kebisingan, mengizinkan kata-kata menyentuh kening kita, dan berdamai dengan fragilitas yang melekat dalam diri manusia.

Ia mengingatkan bahwa luka, cinta, dan doa ternyata bersumber dari rahim yang sama yaitu rahim kemanusiaan. Dan pada akhirnya, kita belajar bahwa hidup tidak selalu membutuhkan jawaban. Cukup dijalani dengan keberanian untuk terus berjalan, meski gerimis terus jatuh, meski langit tak selalu cerah, dan meski luka tak pernah sepenuhnya pergi.

***

Judul                : Sebelum Gerimis Jatuh di Kening

Penulis            : Embah Nyutz

Penerbit          : DIVA Press

Tahun Terbit   : 2023

Cetakan           : Pertama

Tebal                : 148

ISBN                 : 978-623-189-203-4

Comment