Asratillah (Direktur Profetik Institute)
Bayangkan
Bayangkan, di sebuah lorong sempit pinggiran kota, sekelompok buruh tani dan pedagang kecil berkumpul, tak sekadar ngopi, tapi membicarakan beban pajak yang tiba-tiba melonjak, membuat hidup mereka semakin sesak. “Ini seperti zaman dulu, saat bupati bertindak seperti raja kecil,” gumam salah seorang. Demokrasi, yang dulu dijanjikan sebagai jalan menuju kesetaraan, kini terdengar seperti slogan kosong di baliho pilkada. Benarkah ini demokrasi? Atau hanya bayang-bayang feodalisme yang berganti wajah, menyusup ke dalam birokrasi pemerintah daerah kita?

Di Indonesia pasca-reformasi, otonomi daerah yang lahir dari Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 seharusnya menjadi napas segar, mendekatkan kekuasaan ke rakyat. Namun, seperti kota yang menunjukkan dua wajah—satu berkilau dengan gedung tinggi, satu lagi muram di lorong-lorong kumuh—otonomi ini justru melahirkan neofeodalisme modern.
Kekuasaan terkonsentrasi pada elit lokal, bupati dan gubernur yang mengendalikan anggaran seperti tuan tanah feodal menguasai ladang. Protes massa baru-baru ini di Pati dan Bone, serta gelombang demonstrasi serupa di berbagai daerah, menjadi cermin dari ketidakadilan ini. Melalui lensa postkolonialisme, kita melihat warisan kolonial yang masih menghantui.
Poskolonialisme dan birokrasi daerah
Di era kolonial Belanda, bupati bukanlah pelayan rakyat, melainkan priyayi yang bertindak sebagai penghubung antara tuan penjajah dan rakyat jelata. Mereka mengumpulkan upeti, mengendalikan tanah, dan mempertahankan hierarki sosial yang kaku.
Poskolonialisme, seperti yang digagas oleh pemikir seperti Frantz Fanon atau Homi Bhabha, mengajarkan kita bahwa kemerdekaan tidak otomatis menghapus struktur kekuasaan itu. Sebaliknya, ia bertransformasi, menyusup ke institusi modern. Di Indonesia, otonomi daerah pasca-1999 justru mereproduksi pola ini, menciptakan “raja-raja kecil” di tingkat lokal.
Bayangkan bupati yang terpilih melalui pilkada, tapi kemudian menggunakan kekuasaannya untuk menempatkan keluarga atau loyalis di posisi kunci birokrasi. Ini bukan cerita fiksi, data dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tahun 2024 menunjukkan bahwa 71% kasus nepotisme di birokrasi daerah meningkat drastis, dengan 97% gratifikasi terkait vendor dan pejabat lokal.
Indeks Perilaku Anti Korupsi (IPAK) Indonesia 2024 turun menjadi 3,85 dari skala 0-5, lebih rendah dari 3,92 di 2023, namun menandakan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) masih merajalela. Di tingkat daerah, KPK mencatat 154 kasus korupsi pada 2024, sebagian besar melibatkan pengelolaan anggaran seperti Dana Alokasi Umum (DAU), yang sering disalahgunakan untuk kepentingan pribadi.
Dari perspektif postkolonial, neofeodalisme ini adalah hibrida, campuran antara tradisi feodal pra-kolonial (seperti kerajaan Jawa dengan gusti dan kawula) dan sistem kolonial yang menjadikan bupati sebagai alat kontrol. Bayangkan kembali ke masa kerajaan Mataram atau Majapahit, di mana raja atau gusti memegang kendali absolut atas tanah dan rakyatnya, dengan kawula yang harus taat tanpa syarat, membayar upeti sebagai bentuk loyalitas.
Tradisi ini tidak lenyap begitu saja, ia bertahan dan bercampur dengan struktur kolonial Belanda melalui Cultuurstelsel, di mana bupati pribumi dijadikan priyayi—sebuah kelas elit yang bertindak sebagai perpanjangan tangan penjajah, mengumpulkan pajak dan menindas rakyat untuk kepentingan pusat.
Poskolonialisme, seperti yang dibahas oleh pemikir seperti Homi Bhabha dalam buku The Location of Culture (1994) menyebutkan konsep hybridity, yang melihat ini sebagai mimikri yang ambigu, elit lokal meniru penjajah, tapi juga mempertahankan elemen pra-kolonial untuk memperkuat kekuasaan mereka sendiri. Di era pascakemerdekaan, otonomi daerah justru mereproduksi pola ini, di mana bupati atau gubernur menjadi “raja kecil” yang mengendalikan anggaran publik seperti upeti feodal.
Di Papua, misalnya, dana otonomi khusus (Otsus) yang mencapai triliunan rupiah sering tidak menyentuh rakyat karena kolusi elit lokal. Pada 2025, alokasi Otsus untuk Provinsi Papua mencapai Rp918 miliar, meskipun dipangkas Rp19 miliar akibat efisiensi pemerintah pusat. Sementara total dana Otsus se-Papua mencapai Rp1.920 miliar, termasuk Dana Bagi Hasil Rp70 miliar dan DAU Rp799 miliar.
Namun, seperti yang dilaporkan BBC dan analis independen, dana ini sering bocor melalui korupsi dan kolusi, dengan elit lokal—termasuk pemimpin adat dan pejabat—menggunakan Otsus sebagai “dana hibah politik” untuk memperkaya diri, bukan untuk mengatasi kemiskinan yang masih mencapai 26,8% di Papua. Kolaborasi KPK dengan GIZ tahun ini bertujuan mencegah kebocoran, tapi kasus seperti pencegahan korupsi Rp3,5 miliar di Papua menunjukkan betapa dalamnya akar kolusi ini.
Pembentukan Daerah Otonomi Baru (DOB) di Papua bahkan dilihat sebagai ambisi elit untuk memecah belah masyarakat secara sosial dan politik, memperpanjang bayang-bayang kolonial di mana Otsus gagal menyelesaikan masalah ekonomi-sosial, meninggalkan rakyat seperti kawula yang terus dimanfaatkan. Ini adalah postcolonial hybridity (hibriditas poskolonial), feodalisme lama bertemu kolonialisme, lahir neofeodalisme modern yang membuat birokrasi daerah lebih seperti kerajaan pribadi daripada institusi publik.
Data Bank Dunia 2024 menunjukkan disparitas regional yang parah, pengendalian korupsi Indonesia mendapat skor -0,49, peringkat 117 global, dengan ketidakadilan ekonomi di daerah timur seperti Papua mencapai tingkat kemiskinan 26,8% pada 2024, dibandingkan 9,2% di Jawa. Ini seperti lorong gelap di kota besar, sementara pusat berkilau, daerah pinggiran menderita, dengan elit lokal bertindak sebagai “tuan tanah” baru yang memeras melalui pajak atau retribusi berlebih.
Cerita dari Bone, Sulawesi Selatan, pada 19 Agustus 2025, mengilustrasikan ini. Ribuan warga memprotes kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB-P2) hingga 300%. Bupati Andi Asman Sulaiman, mengabaikan dialog awal, memicu kerusuhan hingga polisi mengerahkan gas air mata. Postkolonialisme melihat ini sebagai mimikri, elit lokal meniru penjajah, menggunakan otonomi untuk memperkuat kekuasaan pribadi, memilih jalan yang “agak keras” ketimbang dialog.
Indeks Demokrasi Lokal 2024 dari Badan Pusat Statistik menunjukkan hanya 32% provinsi memiliki keterbukaan informasi yang baik, memperburuk ketidaktransparanan. Benarkah otonomi ini membawa kemajuan, atau justru memperpanjang bayang-bayang kolonial di lorong-lorong birokrasi?
Suara dari jalanan
Di depan kantor bupati, suara teriakan massa seperti gema dari sudut-sudut yang terlupakan. “Turunkan bupati!” seru mereka, bukan sekadar amarah, tapi klaim atas hak yang selama ini dirampas. Jacques Ranciere, filsuf Prancis, membedakan antara “police” (tatanan yang ada, hierarkis) dan “politics” (gangguan yang mengklaim kesetaraan dari “bagian yang tak punya bagian”). Dalam konteks neofeodalisme daerah, protes massa adalah politics itu sendiri, rakyat jelata, yang tak terhitung dalam distribusi kekuasaan, bangkit menuntut perubahan.
Ambil kasus Pati, Jawa Tengah, pada 13 Agustus 2025. Ribuan petani dan mahasiswa mendemo Bupati Sudewo atas kenaikan PBB-P2 hingga 250%, yang memberatkan di tengah inflasi 5,2% nasional. Aksi berujung ricuh, mobil polisi dibakar, dan bupati meminta maaf—tapi massa tetap menuntut pemakzulan.
Ini bukan kekerasan semata, tapi dissensus Ranciere, rakyat yang selama ini diam, bergantung pada “belas kasih” bupati, kini mengganggu tatanan feodal. Data dari gelombang protes 2020-2025 menunjukkan peningkatan signifikan, setidaknya 50 kasus demonstrasi terhadap bupati atau gubernur, termasuk #IndonesiaGelap pada Februari 2025 yang melibatkan ribuan di berbagai daerah, menuntut transparansi anggaran.
Serupa di Pamekasan, Jawa Timur, pada 6 Agustus 2025, massa menyerbu kantor bupati atas dugaan monopoli APBD 2025. Di Riau, 14 Agustus 2025, protes ricuh menuntut anti-korupsi provinsi. Bahkan di Boven Digoel, Papua, November 2020, massa membakar rumah calon bupati atas kecurangan pilkada.
Statistik KPK 2024 mencatat korupsi di daerah naik, dengan Indeks Pencegahan Korupsi naik tipis dari 75 ke 76, tapi masih rentan karena 90% suap di tingkat lokal. Ranciere akan bilang, protes ini adalah momen politik, rakyat yang “tak terlihat” dalam birokrasi neofeodal—di mana meritokrasi diganti loyalitas pribadi—mengklaim panggung.
Sekali lagi Bayangkan di sebuah tempat di Bone,warga yang biasanya sibuk mencari nafkah, kini berdiri di depan pagar kantor bupati, menerobos karena dialog ditolak. Ini gngguan terhadap “police order” neofeodal, di mana bupati mengendalikan anggaran seperti “tuan tanah”. Postkolonialisme menambahkan lapisan, protes ini melawan mimikri elit, yang meniru penjajah dalam menekan rakyat. Apakah ini akhir dari siklus, atau awal perubahan?
Mengatasi ketidakadilan di era otonomi
Di ujung lorong, cahaya pagi menyusup, mengingatkan bahwa harapan belum padam. Untuk mengatasi neofeodalisme, kita perlu reformasi yang menggabungkan postkolonialisme—membersihkan warisan kolonial—dengan politik ala Ranciere—mendorong partisipasi rakyat seoptimal mungkin. Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia 2024 naik ke 37/100, peringkat 99 global, tapi masih jauh dari ideal, dengan sektor daerah paling rawan.
Mulai dari penguatan pengawasan, KPK dorong integritas, tapi data SPI 2024 menunjukkan Indonesia rentan korupsi, dengan 97% daerah terlibat gratifikasi. Promosi meritokrasi, bukan patronase: revisi UU ASN untuk cegah nepotisme, yang naik 71% pada 2024. Partisipasi masyarakat, seperti dalam “public work” Harry Boyte, bisa jadi jembatan, warga terlibat dalam anggaran partisipatif.
Ranciere mengajak kita melihat protes bukan sebagai ancaman, tapi peluang demokrasi. Postkolonialisme mendorong dekolonisasi birokrasi, hilangkan budaya priyayi, ganti dengan akuntabilitas. Bayangkan suara massa di depan kantor bupati bukan sebagai keributan semata, tapi seperti gema dari lorong-lorong yang selama ini sunyi—sebuah dissensus yang, menurut Jacques Ranciere dalam Disagreement: Politics and Philosophy (1999), membuka ruang bagi “bagian yang tak punya bagian” untuk mengklaim kesetaraan.
Ranciere melihat demokrasi bukan sebagai tatanan mapan (police order) yang hierarkis dan konsensus palsu, melainkan proses radikal di mana gangguan dari demos—rakyat yang terpinggirkan—menjadi dinamika yang menciptakan subyek politik baru.
Protes seperti di Pati atau Bone adalah peluang ini, rakyat yang selama ini diam, bergantung pada “belas kasih” elit, kini bangkit sebagai subjek yang menuntut perubahan, mengganggu rezim partisi kekuasaan yang feodal. Ini bukan akhir, tapi awal demokrasi sejati, di mana perselisihan menjadi jalan menuju kesetaraan bagi setiap orang.
Selain itu juga semakin memperbesar kemungkinan bagi dekolonisasi birokrasi, dengan membersihkan warisan kolonial yang masih melekat, seperti budaya priyayi yang lahir dari negara kolonial sebagai “negara pegawai” di mana elit pribumi dijadikan alat kontrol.
Dekolonisasi ini berarti indegenisasi perspektif tata kelola pemerintahan, transformasi dari semangat liberasi menuju diskursus lokal yang membebaskan, menghilangkan mimikri kolonial di birokrasi. Dengan begitu, birokrasi bisa menjadi alat emansipasi, bukan penjara feodal yang menghantui lorong-lorong kehidupan kita.
Data terbaru menunjukkan tren positif, Indeks Demokrasi Indonesia 2024 naik sedikit, tapi butuh aksi. Bayangkan dimana rakyat bukan lagi “kawula”, tapi mitra. Benarkah kita siap melangkah, atau tetap terjebak bayang-bayang feodal?
Comment