M. Yunasri Ridhoh (Dosen Pendidikan Kewarganegaraan FEB UNM)
Presiden Prabowo Subianto baru saja menganugerahkan tanda kehormatan Bintang Mahaputera kepada 141 orang. Di antara nama-nama itu, ada yang memang pantas dikenang: misalnya Hoegeng, Kapolri legendaris yang dikenal sebagai simbol kejujuran, kesederhanaan, dan keberanian melawan arus ketidakadilan. Tetapi di sela-sela nama besar itu, tersemat pula nama-nama yang membuat kita mengernyitkan dahi dan menggeleng.

Sejak kelahirannya, Bintang Mahaputera bukanlah sekadar logam berkilau yang disematkan di dada. Ia adalah penanda dari negara tentang keluhuran budi, tanda bahwa republik tahu cara menghormati putra-putri bangsa terbaiknya. Tanda jasa ini pernah bersinar di dada Jenderal Soedirman, panglima gerilya yang memimpin perang dengan paru-paru yang tinggal separuh.
Ia pernah tersemat di dada Mohammad Natsir, perdana menteri yang lewat Mosi Integral berhasil menyatukan kembali Indonesia dalam bingkai NKRI. Ia pernah berpijar di dada Ki Hajar Dewantara, bapak pendidikan nasional yang dengan Taman Siswa melahirkan generasi penerus bangsa.
Pada mereka, bintang itu tidak sekadar anugerah negara, melainkan representasi dari pengorbanan. Logam yang menempel hanyalah penegasan dari cahaya yang sudah lama terpancar dari hidup mereka. Soedirman, Natsir, Ki Hajar tidak membutuhkan bintang untuk membuat nama mereka dikenang. Justru bintanglah yang menjadi bermakna karena menempel di dada mereka.
Namun kini, sejarah terasa berbalik arah. Tanda kehormatan yang dulu sakral, kini justru jatuh menjadi sekadar bros pesta politik. Ia tak lagi menandai pengabdian, melainkan sekadar kesetiaan pada yang berkuasa. Simbol kenegaraan berubah menjadi souvenir, tanda kehormatan menjadi tanda kekerabatan. Dari ruang etis kebangsaan, ia bergeser menjadi aksesori kekuasaan.
Perhatikan saja beberapa penerima tahun ini. Ada nama-nama yang baru saja diangkat menjadi pejabat, belum menorehkan karya prestisius, sudah keburu diganjar bintang. Ada pula nama Burhanuddin Abdullah, mantan Gubernur Bank Indonesia, yang pernah dipenjara karena kasus korupsi. Kini ia kembali berdiri sejajar dengan mereka yang namanya terukir di buku sejarah perjuangan bangsa. Apakah publik harus mengangguk-angguk melihatnya? Atau justru menggelengkan kepala, merasa ada ironi yang dipaksakan untuk kita telan?
Jika dibandingkan dengan negara lain, kesan ironi itu semakin dalam. Di Inggris, gelar kebangsawanan hanya diberikan setelah melewati seleksi ketat oleh panel independen, bukan sekadar keputusan sepihak dari yang berkuasa. Di Amerika Serikat, Presidential Medal of Freedom biasanya jatuh ke tangan aktivis hak sipil, ilmuwan, atau pejuang perdamaian.
DiJepang, seorang dokter atau guru desa bisa mendapat penghargaan karena puluhan tahun mengabdi di sekolah terpencil, mencetak murid-murid yang kemudian menjadi penerang bangsa. Lalu di Indonesia? Terkadang cukup menjadi kroni, dan bintang pun bisa mampir di dada Anda.
Obral tanda kehormatan
Maka wajar jika publik mulai mempertanyakan makna tanda jasa ini. Lebih menyerupai obral tanda kehormatan. Obral tanda kehormatan justru menegaskan bahwa penghargaan negara telah kehilangan bobotnya. Ia bukan lagi ruang teladan, melainkan ruang pamer. Bintang Mahaputera yang mestinya meneguhkan moral kebangsaan kini justru melekat pada nama-nama yang lebih dikenal karena kedekatan politik ketimbang kontribusi luhur.
Dalam perspektif teori kewarganegaraan, tanda kehormatan semacam Bintang Mahaputera seharusnya menjadi bentuk pengakuan negara terhadap apa yang oleh T.H. Marshall disebut sebagai civic virtue—kebajikan warga negara yang berkontribusi bagi kebaikan bersama (common good).
Marshall menjelaskan bahwa kewarganegaraan tidak hanya soal hak-hak sipil, politik, dan sosial, melainkan juga tentang partisipasi aktif dalam kehidupan bersama. Bintang Mahaputera semestinya menjadi simbol bahwa negara menghargai warga yang menghidupi kebajikan itu, bukan sekadar yang loyal pada kekuasaan.
Selain itu, Hannah Arendt dalam The Human Condition menekankan bahwa ruang publik hanya bisa hidup jika ada pengakuan terhadap tindakan luhur yang memberi makna pada kebersamaan manusia. Dalam kerangka itu, tanda kehormatan kenegaraan seharusnya memperkuat ruang publik dengan menampilkan teladan yang layak ditiru. Bila bintang justru jatuh pada kroni dan elit yang jauh dari kepentingan rakyat, maka ruang publik kehilangan daya teladannya.
Delapan puluh tahun merdeka, kita seolah lupa bahwa penghargaan negara seharusnya menjadi pengingat tentang apa artinya berjuang demi republik. Ia seharusnya membawa kita kembali mengingat sosok-sosok teladan: Soedirman yang berbaring di tandu memimpin perang, Natsir yang memulihkan persatuan bangsa lewat gagasan politik, Ki Hajar yang mengorbankan kenyamanan demi pendidikan anak negeri. Mereka adalah “warga utama” republik—manifestasi dari kewarganegaraan yang berakar pada pengorbanan dan kontribusi nyata.
Sayangnya, kini bintang itu justru jatuh di dada orang-orang yang tak jelas kiprah kebangsaannya. Padahal, bila menggunakan kacamata kewarganegaraan, justru banyak warga biasa yang memenuhi syarat sebagai “citizen-hero.” Guru yang puluhan tahun mengajar di pelosok, bidan desa yang setia mendampingi kelahiran tanpa fasilitas memadai, atau aktivis lingkungan yang bertahun-tahun menjaga hutan dari perusakan—mereka adalah teladan nyata.
Jika tanda kehormatan kehilangan maknanya, maka ia tak lagi menumbuhkan kebanggaan kolektif. Sebaliknya, ia hanya menumbuhkan sinisme. Rakyat bukannya terinspirasi, melainkan semakin apatis. Mereka tahu bahwa untuk menjadi “warga utama” dalam pandangan negara, syaratnya bukanlah dedikasi, melainkan kedekatan. Padahal, semangat kewarganegaraan sejati menuntut agar negara memberikan penghargaan kepada mereka yang mewujudkan keadilan, keberanian moral, dan kepedulian pada sesama.
Bangsa ini seharusnya tidak kehilangan rasa hormat terhadap tanda-tanda kehormatan kenegaraan. Kita butuh penghargaan yang benar-benar bermakna, yang membuat rakyat berkata, “ya, dia memang pantas.” Kita butuh bintang yang meneguhkan moral kebangsaan dan menumbuhkan civic virtue, bukan sekadar pin kekuasaan di dada para elit.
Comment