Brutalitas “Mabes Oknum”

M. Yunasri Ridhoh (Dosen Pendidikan Kewarganegaraan FEB UNM)

Tragedi demi tragedi menimpa warga sipil di negeri kita. Terbaru, tragedi di jalanan Pejompongan, nyawa yang terenggut akibat kekerasan oleh lagi-lagi “oknum” dari sebuah institusi dengan anggaran tertinggi kedua dalam APBN. Dan sialnya setiap kali itu terjadi, negara seolah punya satu jurus pamungkas: permintaan maaf.

ads

Masalahnya, permintaan maaf itu datang terlalu sering, hingga kehilangan makna. Kata “maaf” berubah menjadi tameng institusi, bukan pintu menuju pertanggungjawaban. Ia dibacakan oleh pejabat tinggi, disiarkan melalui televisi dan media sosial, tetapi jarang benar-benar diikuti dengan langkah serius untuk mencegah tragedi serupa.

Dalam siklus yang melelahkan, korban jatuh, aparat minta maaf, masyarakat marah sebentar, lalu pelan-pelan melupakan. Negara menjadi terlalu pelupa, dan masyarakat terlalu pemaaf. Kebiasaan itu diperparah oleh satu kata ajaib, yaitu “oknum”. Kata ini selalu dipakai untuk mengisolasi kejahatan, seakan-akan hanya ada satu-dua individu nakal yang mencederai nama baik institusi.

Padahal, ketika pola pelanggaran terus berulang dari waktu ke waktu, sulit dipercaya bahwa masalah hanya ada pada oknum. Jika dibiarkan, bukan tidak mungkin publik akan menyebut kepolisian kita bukan lagi “Mabes Polri”, melainkan “Mabes Oknum”, saking banyaknya pelanggaran yang berlindung di balik istilah tersebut. Di balik semua itu, kita perlu memahami bahwa kekerasan negara tidak berdiri sendiri.

Dom Helder Camara, dalam teorinya tentang Spiral Kekerasan, menjelaskan bahwa kekerasan adalah siklus yang saling terkait. Spiral ini bermula dari kekerasan struktural atau kebijakan negara yang tidak adil, seperti kemiskinan yang dibiarkan, korupsi yang merajalela, atau kebijakan publik yang timpang, misalnya gaji pejabat dan upah rakyatnya yang bak bumi dan langit, begitu jomplang.

Ketidakadilan inilah yang memicu perlawanan warga dalam bentuk unjuk rasa dan protes. Inilah kekerasan lapis kedua, yakni respons masyarakat yang kadang disertai kekerasan terhadap penindasan. Sayangnya, protes ini sering diperlakukan negara bukan sebagai ekspresi demokrasi, melainkan ancaman. Aparat kemudian hadir dengan wajah represif—gas air mata, pentungan, hingga kendaraan taktis—yang menimbulkan kekerasan lapis ketiga.

Tragedi Pejompongan, yang merenggut nyawa seorang pengemudi ojek online, adalah gambaran nyata spiral kekerasan itu. Kebijakan negara yang gagal melindungi hak-hak dasar rakyat memicu demonstrasi besar di depan DPR. Aksi itu berkembang ricuh, lalu aparat masuk dengan pendekatan represif. Pada titik inilah seorang warga sipil menjadi korban. Spiral kekerasan terus berputar, dan negara hanya merespons dengan maaf formal tanpa perbaikan struktural.

Apakah cukup dengan maaf? Apakah kekecewaan dan kemarahan publik bisa sembuh hanya dengan permintaan maaf? Apakah keluarga korban merasa keadilan telah ditegakkan hanya karena Kapolri dan istana berdiri di depan kamera dan menyatakan penyesalan? Pertanyaan-pertanyaan ini seharusnya menjadi refleksi kolektif kita sebagai bangsa.

Sebab, di negara demokratis, permintaan maaf harus didahului oleh pertanggungjawaban dan perbaikan struktural. Kenyataannya, setelah tragedi yang berulang, akuntabilitas dalam tubuh Polri tetap saja lemah. Pengawasan internal melalui Divisi Propam banyak diantaranya berhenti pada sanksi administratif, sementara pengawasan eksternal melalui Kompolnas tidak memiliki taring.

Dalam teori security sector reform (SSR), kondisi ini disebut reformasi kosmetik: perubahan yang terlihat di permukaan, tetapi gagal menyentuh akar persoalan. Polri memang berganti jargon menjadi Presisi—Prediktif, Responsibilitas, dan Transparansi Berkeadilan—namun di lapangan, publik lebih sering melihat tindakan represif ketimbang prediktif, arogansi ketimbang transparansi.

Negara yang demokratis mestinya belajar dari kesalahan, bukan menghapusnya dengan maaf instan. Permintaan maaf memang penting sebagai simbol pengakuan salah, tetapi ia hanya bermakna bila diikuti dengan reformasi struktural: memperkuat pengawasan eksternal, menghapus budaya impunitas, dan mendemokratisasi institusi kepolisian. Tanpa itu, “maaf” hanya akan terdengar sinis di telinga rakyat, sekadar repetisi kosong yang mengulang luka tanpa penyembuhan.

Negara ini terlalu pelupa, karena sejarah kekerasan aparat jarang dijadikan pelajaran. Negara ini juga terlalu pemaaf, karena pelanggaran berulang selalu ditutup dengan kata “maaf” yang cepat diterima. Jika sikap ini terus dibiarkan, kita akan hidup di dalam spiral kekerasan yang tak berujung. Dan pada akhirnya, institusi yang seharusnya melindungi rakyat hanya akan dikenal sebagai rumah besar para “oknum”.

Comment