Galang Mario (Mahasiswa Pendidikan Seni Pascasarjana UNY)
Kemarin tepat pada tanggal 17 Agustus 2025 kita memperingati hari kemerdekan, ribuan postingan kemerdekaan bermunculan hanya dalam hitungan menit, berputar seperti parade digital yang meriah, begitu cepat dan seragam. Seakan satu klik sederhana, kita sudah berpartisipasi pada sejarah dalam menyalurkan kepedulian dan menandai solidaritas.

Inilah wajah solidaritas digital yang instan, visual, penuh tanda. Empati kini bisa dipamerkan dalam bentuk filter Instagram atau twibbon yang ditempelkan pada foto profil seperti pesta kembang api virtual indah sesaat, lalu hilang tanpa jejak tertimbun kondisi baru.
Setelah perayaan kemerdekaan, gelombang protes besar-besaran kembali menggempar negeri. Aksi demonstrasi terjadi di jalanan, kantor polisi dan gedung DPR dipenuhi teriakan massa, bendera berkibar bersamaan dengan poster-poster tuntutan menantang. Rakyat muak dengan kebijakan yang dianggap tidak memihak, muak dengan janji politik yang basi tak sempat ditepati.
Amuk Amarah pun pecah menjadi bentrokan, asap gas air mata menyesakkan nafas, rusaknya fasilitas umum, hingga api membakar gedung-gedung DPR. Di tengah kekacauan tersebut, korban jiwa berdatangan tak terhindar. Potret ini memperlihatkan bahwa demokrasi di negeri kita masih ditukar dengan luka.
Jalan-jalan memperlihat tubuh-tubuh nyata itu bertemu panas aspal, bau keringat bercampur asap, emosi yang meledak dan resiko benturan yang tidak bisa hanya dengan diklik begitu saja. Di waktu yang sama, linimasa media sosial menghadirkan wajah yang berbeda dengan tanda-tanda solidaritas. Ratusan ribu akun memasang twibbon dan hastag tuntutan sekaligus aneka postingan photo dump berisi perlawanan.
Solidaritas digital ini menjalar cepat, meramaikan layar ponsel, memberi tanda bahwa publik peduli, membuat seolah empati bisa ditunjukkan hanya dengan satu klik. Media sosial berubah menjadi lautan visual yang seragam, seolah-olah media sosial pun menjadi jalan raya lain tempat rakyat menyuarakan keresahan.
Di sinilah komplikasi itu tampak. Kita sedang hidup di zaman di mana solidaritas bisa diproduksi massal seperti stiker yang manis, cepat, dan nyaman tetapi kehilangan bobot moral. Melalui twibbon atau hastag, menjadikannya semacam ornamen solidaritas yang berfungsi sebagai tanda keterlibatan ketimbang keterlibatan itu sendiri, seperti istilah Kasiyan (2025) dalam tulisannya “Estetika Permukaan” yang menutupi kekosongan berupa simbol partisipasi yang segera kehilangan maknanya karena repetisi massal tanpa kedalaman.
Posisinya hanya menempel pada citra dalam medan digital tanpa menggerakan tubuh. Kondisi ini juga sama seperti apa yang dinyatakan Debord dalam The society of the Spectacle (1967) bahwa pengalaman nyata telah tergantikan oleh representasi, lebih banyak didasarkan pada citra visual dan penampilan publik daripada pengalaman langsung atau kebenaran objektif.
Jelas bahwa di mana kehidupan kini digerakkan oleh tanda bukannya aksi nyata. Demikian budaya virtual berupa simulasi digital sama halnya yang di kemukakan Jean Baudillard (1981) tentang simulakra di era saat ini, sebuah tiruan atau representasi yang tidak lagi memiliki keaslian, bahkan bisa lebih nyata daripada kenyataan itu sendiri.
Budaya virtual tidak pernah bisa menggantikan orasi di jalan, tidak pernah bisa mengguncang kursi parlemen, tidak pernah membuat wakil rakyat resah. Solidaritas digital padanya hanya menghibur hati, memberi ilusi partisipasi tanpa konsekuensi. Demikian yang kita kenal dengan istilah Slacktivism berupa aktivitas membangun identitas, solidaritas dan ekspresi sosial melalui dunia maya.
Slacktivism dan estetika kedangkalan
Slacktivism pada fenomena virtual saat ini menampilkan semacam parade visual yang terus berputar tak henti-henti di layar. Orang-orang berlomba memposting, membagikan, dan melipatgandakan, namun denyut solidaritas yang sesungguhnya sering kali tidak ikut bergerak. Solidaritas pun direduksi menjadi simbol instan, menampakan habitus digital yang aman, nyaman, tanpa risiko dan konfrontasi.
Ia menyerupai senjakala etika di mana ketika keberanian dan tindakan nyata perlahan meredup, tertutup oleh gemerlap tanda-tanda dan glamor visual yang ramai di linimasa. Empati pun berubah menjadi ornamen visual, sejenis kitsch digital yang menutupi ketidakpedulian nyata.
Sebuah estetika yang kehilangan fungsinya sebagai ruang refleksi, tapi hanya menjadi aksesori yang diproduksi massal seperti Kitsch. Jika dalam seni rupa Kitsch hadir lewat lukisan sentimental berisi bunga, air mata atau berupa panorama murahan, maka di ruang digital ia muncul dalam bentuk banjir twibbon yang seragam.
Tragedi sosial, krisis kemanusiaan, bahkan konflik politik pun seolah disulap menjadi sekadar hiasan profil, dekorasi visual yang cepat viral namun lekas memudar. Hal tersebut dijelaskan oleh Abraham Moles dalam Kitsch: The World of Bad Taste (1971), bahwa kitsch adalah bahasa estetika massa yang bertumpu pada repetisi, stereotip, dan formula mudah dikenali, memanjakan emosi tanpa menuntut kedalaman refleksi.
Budaya slacktivism di ruang digital adalah kelanjutan dari logika ini: solidaritas dikemas seperti produk instan siap pakai dan siap dibuang, tanpa menuntut kepedulian nyata dan sangat mudah ditinggalkan ketika tren usai. Hal ini bertentangan dengan pandangan keindahan dari Immanuel Kant dalam Critique of Judgement (1970), di mana ia menegaskan bahwa pengalaman estetis tercipta dari harmonisasi rasio dengan perasaan, keindahan baginya bukan sekedar kesenangan visual semata tapi ruang refleksi yang menghadirkan makna.
Dalam konteks ini, slacktivism seperti pada twibbon hadir sebaliknya, sebab menghadirkan pola visual yang instan dengan kesan indah sesaat tanpa mendorong refleksi kritis, alih-alih apresiasi mandalam justru menegaskan habitus digital yang dangkal dan mudah berlalu.
Demikian kondisi ini juga melahirkan manusia digital sebagai kawanan, seperti apa yang dikatakan Han dalam bukunya In the swarm (2017) di mana ia melukiskan manusia digital sebagai kawanan yang sekilas aktif namun sebenarnya hanya bergerak serempak tanpa refleksi mendalam.
Fenomena tersebut tampak jelas terlihat di era media sosial saat ini di mana publik tidak lagi hadir sebagai subjek yang kokoh, melainkan meledak menjadi fragmen opini, like, share, dan repost yang deras dan cepat namun dangkal dan hanya melahirkan hiruk-pikuk sesaat. Wujud ini paling jelas dari logika “swarm” yaitu slacktivism pada twibon yang melahirkan partisipasi massal seragam dan hanya berupa repetisi, tanpa komunikasi nyata yang sejati.
Ia menyebut fenomena ini sebagai “positifitas yang membunuh” ketika segala sesuatu tampil positif, penuh tanda solidaritas tapi karena positif maka tidak ada tegangan dialektis dan ruang kritis sehingga tidak ada energi transformasi yang diperlukan untuk melahirkan perubahan.
Obsesi Masyarakat digital hanya terpaku pada keterlihatan bukannya kebenaran, Slacktivism adalah cermin obsesi itu, berupa tanda peduli yang nilainya hanya sejauh apa yang dilihat oleh orang lain, tidak sampai pada kenyataan sebenarnya.
Selain itu, menawarkan pilihan solidaritas tapi dalam format yang telah ditentukan dan desain yang seragam serta dalam logika klik yang mekanis. Kebebasan pun menjadi konsumsi dan kritik menjadi ornamen, maka arena digital menjadi medan pengulangan estetika tanpa substansi sehingga entropi sosial pun turut merajalela.
Dari layar ke jalan
Fenomena digital saat ini menunjukkan bahwa solidaritas kini menemukan banyak bentuk dan cara. Ada solidaritas yang diwujudkan melalui tubuh di jalan yang terlihat dalam orasi, langkah kaki, dan risiko berhadapan dengan aparat. Ada pula solidaritas yang diwujudkan di layer yang nampak pada twibbon, hastag, unggahan photo dumb dan tanda visual lainnya yang tersebar massif.
Slacktivism tidak sepenuhnya sia-sia di era saat ini, Guy Debord dalam The Society of the Spectacle (1967) mengingatkan bahwa kini kita hidup dalam masyarakat tontonan yang interaksi sosial dan kehidupan sehari-hari sangat bergantung pada media massa dan media sosial, dengan individu-individu yang aktif mengungkapkan diri mereka untuk dilihat dan dinilai oleh orang lain.
Dalam Masyarakat modern, nilai keberadaan seseorang seringkali diukur dari seberapa banyak orang menonton dan seberapa tertarik mereka pada apa yang disajikan. Slacktivism menjadi gerakan penyebaran informasi dan edukasi yang cukup efektif, menyebar pesan ke jutaan orang dalam waktu singkat, sebuah langkah kecil tapi efeknya besar.
Seperti halnya Twibbon tuntutan dan perjuangan aksi dalam media sosial saat ini, menciptakan tanda yang mempersatukan, memperlihatkan bahwa ada suara kolektif. Ia memang bukan berupa orasi di jalan, tetapi bisa menjadi pemantik kesadaran, bahkan pintu menuju mobilisasi nyata. Solidaritas di layar tidak hanya representasi namun kini telah menjadi aksi.
Tak bisa dipungkiri, Gerak perjuangan memang telah bergeser dan media sosial kini menjadi wahana barunya. Slacktivism melalui twibbon meski dianggap sebagai ilusi kepedulian, tetapi punya sisi positif dimana dapat menjadi tanda awal, “bendera perlawanan virtual” yang bisa dikibarkan di linimasa dan instastory.
Dalam satu klik, ribuan orang bisa menunjukkan keberpihakan, menandai kebersamaan, bahkan mengirim pesan bahwa rakyat tidak diam. Manuel Castells dalam Networks of Outrage and Hope (2012) menyatakan bahwa media sosial dapat menjadi alat efektif yang memberdayakan individu dalam perjuangan sosial dan politik.
Kini Jaringan masyarakat memiliki kekuatan baru, mereka bisa membangun ruang publik digital yang menekan ruang publik formal menjadi Counter space ruang alternatif untuk menandai identitas kolektif. Gerakan dari slacktivism menjadi berarti jika menjadi bagian dari ekosistem perjuangan yang menghubungkan layar dengan jalan, tanda dengan perintah, klik dengan aksi.
Solidaritas digital tak bisa dipisahkan dari solidaritas nyata, keduanya saling menyilang, saling menguatkan. Demikian paradoks dimana hanya bisa menjadi kosmetik tapi sekaligus menjadi wahana baru. Ia ilusi ketika layar berhenti, tetapi bisa bermakna ketika berjejaring dengan aksi nyata.
Berawal sebagai pemantik di media sosial yang kemudian menciptakan gelombang ekspresi masyarakat lalu meluber ke jalan-jalan, menciptakan tekanan besar yang cukup nyata terhadap kekuasaan, Meski tidak semua bentuk partisipasi berdampak langsung tapi banyak di antaranya yang menjadi titik tolak aksi nyata.
Jadi, yang menjadi pertanyaan, mau kemanakah arah solidaritas kita? Apakah kita akan berhenti pada slacktivism, merasa cukup dengan tanda-tanda pada twibbon sembari menanti hasil tuntutan, ataukah berani menjembatani ruang digital dengan ruang nyata?
Solidaritas digital slacktivism menjadi penting sebab ia cepat, masif, dan mampu menggemakan isu secara luas. Tetapi sejarah selalu menunjukkan bahwa perubahan lahir dari tubuh yang berani hadir dan bertindak. Twibbon hanya akan berarti jika ia berubah menjadi jembatan yang menghubungkan layar dengan jalan, klik dengan langkah, tanda dengan tuntutan.
Seperti ditegaskan Paulo Freire, pendidikan adalah tindakan pembebasan. Solidaritas pun mestinya demikian, membebaskan kita dari ilusi digital menuju keberanian nyata. Sebab jika tidak, kita hanya akan terus merayakan demokrasi di layar, sementara di jalan rakyat belum merasa aman dan kursi kekuasaan tetap nyaman. Solidaritas instan mungkin memberi rasa cukup, tetapi solidaritas nyata selalu menuntut keberanian hadir untuk sebuah perubahan baik.
Comment