Konsep Ekoteologi dalam Masyarakat Kajang dan Masyarakat Bentong

Muhammad Suryadi R

(Penulis Buku Pengetahuan Sebagai Strategi, Mahasiswa Pascasarjana IAIN Parepare)

ads

Ekoteologi jadi andalan Kementerian Agama saat ini. Ia adalah frase yang melambangkan rasa cinta terhadap alam dan lingkungan. Gagasan Menteri Agama, Prof. Dr. KH. Nasaruddin Umar, MA ini bisa dibilang sebagai gagasan fresh dan terobosan baru dalam dunia diskursus.

Sebagai konsep, ekoteologi tentu memiliki landasannya dalam nash atau teks-teks agama dan itu sangat kuat. Hampir seluruh agama di dunia mengajarkan tentang hakikat manusia dan relasinya terhadap alam dan lingkungan.

Dalam konteks ini, maka ekoteologi menerjemahkan teks agama menjadi bahasa yang mudah, sehingga bisa menjadi gerakan kolektif oleh seluruh elemen masyarakat. Secara praktis, ekoteologi salah satunya diterapkan menjadi gerakan penanaman pohon oleh seluruh ASN di bawah naungan Kementerian Agama. Gerakan ini sebagai aksi nyata dalam merawat bumi yang kondisinya kian mengkhawatirkan.

Berbagai penelitian mengungkap faktanya. Dalam laporan IPCC (Intergovermental Panel on Climate Change) yang dikutip dari laman World Resources Institute, menyebutkan bahwa suhu bumi saat ini telah mencapai 1,1 derajat celcius. Peningkatan suhu bumi diperkirakan akan terus mengalami peningkatan jika pelepasan gas emisi karbon yang berasal dari aktivitas deforestasi, eksplorasi energi fosil berlebihan dan pembakaran hutan tidak ditekan.

Laporan WEF (World Economic Forum) tahun 2025 edisi Januari memuat prediksi resiko dan efek kerusakan lingkungan. Laporan dengan tajuk “The Global Risks Report 2025 20th Edition” ini memasukkan isu lingkungan bersama lima kategori lainnya, yakni ekonomi, geopolitik, sosial, dan teknologi. Hasil riset memetakan bahwa dalam dua tahun ke depan, lingkungan akan mengalami peristiwa cuaca ekstrem.

Sementara, pada periode sepuluh tahun berikutnya, peristiwa cuaca ekstrem akan terjadi terus menerus. Peristiwa ini akan diikuti dengan peristiwa lainnya seperti hilangnya keanekaragaman hayati dan runtuhnya ekosistem, perubahan kritis terhadap sistem bumi dan kekurangan sumber daya alam serta polusi terjadi dimana-mana. Merawat lingkungan sebab itu menjadi tanggung jawab setiap individu dan komunitas masyarakat.

Masyarakat Kajang merawat alam

Jika ditelisik lebih jauh, praktik merawat alam sebenarnya sudah berlangsung sejak dulu bahkan sebelum agama samawi turun. Hal ini bisa kita temukan dalam kehidupan masyarakat adat. Gagasan tentang merawat alam sudah mengakar dalam batang tubuh komunitas adat. Komunitas adat/kebudayaan bahkan telah lebih dulu mengerti cara merawat alam dengan cara mereka sendiri.

Beberapa komunitas adat yang masih hidup melakukan praktek itu, sebut saja Suku Kajang dan Masyarakat To Bentong. Suku Kajang bermukim di Desa Tana Toa Kecamatan Kajang Bulukumba Sulawesi Selatan dikenal karena kearifan lokalnya dan ketekunannya dalam menjaga hutannya. Washington Post bahkan menobatkannya sebagai komunitas adat penjaga hutan terbaik di dunia.

Di tengah regulasi yang mencekik, masyarakat Kajang tidak terdepak. Arus deras modernisme tak membuat lokalitas mereka terusik. Alih-alih tergerus, tradisionalisme mereka justru semakin menguat. Secara geografis, wilayah Kajang terbagi dua, yakni Kajang Luar dan Kajang Dalam. Kajang Luar adalah batas wilayah yang ditandai dengan gerbang yang berarsitektur tradisional Kajang.

Adanya pembagian wilayah menjadi dua pada prinsipnya mencerminkan keseimbangan. Pembagian ini dilakukan sebagai upaya filterisasi budaya luar atau budaya modern. Di sinilah kecerdasan orang Kajang. Kajang Luar dijadikan sebagai penyangga wilayah inti, yakni Kajang Dalam.

Kajang Dalam adalah wilayah sakral orang Kajang itu sendiri. Di tempat ini kemurnian kebudayaan dijaga ketat. Wilayah ini menjadi pusat ritual dan tradisi leluhur dijalankan, semisal tradisi Andingingi (mendinginkan alam). Tradisi ini adalah tradisi tahunan. Dilakukan setiap tahun karena dipercayai dapat membebaskan masyarakat Kajang dari bencana alam.

Prosesi ini sangat sakral. Andingingi dipimpin oleh pemuka adat yang disebut Ammatoa. Ammatoa dalam proses ini akan memimpin pemberkatan dan doa-doa dipanjatkan. Selama ritual dilakukan, perekaman, pengambilan foto dan video sangat dilarang. Pengambilan foto dan video hanya diperkenankan setelah prosesi Andingingi selesai. Sebab, kekhidmatan terutama keberkahan akan terganggu, sehingga doa-doa yang dipanjatkan tidak bisa terwujud, misalnya meminta turunnya hujan.

Andingingi adalah tradisi leluhur yang diajarkan dalam Pasang ri Kajang. Pasang ri Kajang memiliki kemiripan dengan Lontaraq Bugis. Isinya memuat mitologi penciptaan bumi. Masyarakat Kajang meyakini bahwa bumi diciptakan berdasarkan keteraturan dan keseimbangan antara Tuhan, manusia dan alam semesta.

Dalam Pasang ri Kajang, merawat alam adalah salah satu ajaran yang sangat ditekankan. Perintah itu setara dengan hubungan kepada Sang Pencipta dan hubungan kepada sesama manusia. Hutan terutama hutan adat adalah Tana Toa (Tanah Tua) yang sakral dan harus dijaga. Kawasan ini adalah tempat turunnya To Manurung (manusia pertama yang hidup di bumi). Karena sakralitas inilah masyarakat Kajang enggan merusak ekosistem hutan.

To Bentong berpuasa untuk menjaga alam

Di belahan Sulawesi yang lain tepatnya di Kabupaten Barru Sulawesi Selatan hidup satu komunitas kebudayaan yang mempraktekkan cara merawat alam secara tradisional. Komunitas itu bernama To Bentong. Kata Bentong sendiri berasal dari percampuran tiga bahasa, yakni Bugis, Makassar, dan Konjo (bahasa yang digunakan di Bulukumba dan Sinjai). Suku ini berdiam di daerah pegunungan di Lapatemmu Desa Bulo-Bulo Kecamatan Pujananting Kabupaten Barru.

Komunitas ini sebetulnya lebih dikenal karena keberadaan To Balo (manusia belang). Tetapi pemahaman itu salah saprah, sebab To Balo secara etnik merupakan sub etnik dari To Bentong itu sendiri. Belang di sekujur tubuh To Balo dipengaruhi oleh faktor mistik dalam cerita mitologi Bugis. Mitologi pertama menjelaskan bahwa prajurit yang diutus oleh Datu (raja) Tanete untuk berperang melanggar sejumlah aturan.

Syarat-syarat mendapatkan ilmu kedigdayaan atau ilmu kebal yang sebelumnya diturunkan oleh Datu dilanggar oleh para prajurit perang. Aturan itu mensyaratkan bahwa setelah peperangan selesai, para pejuang dilarang menaiki rumah mereka sebelum menyembelih ayam putih, jika tidak maka kulit di sekujur akan menjadi belang.

Sedangkan, mitologi kedua -yang banyak dipercayai masyarakat To Bentong- menyatakan bahwa kulit belang adalah nazar sepasang suami istri yang telah lama membina mahligai rumah tangga namun tak kunjung dikaruniai anak. Suami istri itu tadi lalu meminta kepada Dewata Seuwwae (Tuhan dalam kepercayaan masyarakat Bugis) agar dikaruniai anak meski kulitnya belang seperti kuda belang. Walhasil, tak lama berselang suami istri tadi melahirkan anak dengan kulit belang.

Sampai hari ini, To Bentong bertahan dengan tradisi mereka. Dalam menjaga alam, To Bentong melakukan ritual Massagala. Massagala secara istilah bisa diartikan dengan melakukan Sagala. Massagala berasal dari dua suku kata, yakni Maggauq (melakukan, memperbuat) dan Sagala  adalah wabah penyakit kulit yang pernah melanda masyarakat bugis terutama di Bulo-Bulo. Untuk menyembuhkannya, ritual Massagala dilakukan.

Ritual ini mensyaratkan beberapa larangan. Salah satu yang dilarang keras adalah menebang pohon, mencangkul tanah atau menggali lubang. Massagala diwajibkan kepada orang Bentong bahkan anak-anak sekalipun untuk memperkuat antibodi tubuh.

Massagala dilakukan selama 30 hari. Seseorang yang terkena penyakit Sagala harus berpuasa atau Mattahang (menahan) untuk tidak melakukan aktivitas yang dilarang. Puasa dalam konteks Massagala memiliki kemiripan dengan ajaran Islam. Jika dalam Islam dikenal tiga fase puasa, yakni 10 hari pertama adalah rahmat, 10 hari kedua adalah magfirah, dan 10 hari terakhir disebut Itqun Minan Nar (pembebasan dari api neraka).

Maka, tiga fase dalam Massagala disebut Mappamassiq, Mappagallang dan Mapparibbaq. Mappamassiq adalah memandikan dengan tujuan mensucikan diri. Mappagallang yaitu seseorang yang telah dimandikan akan melakukan kontemplasi yang akan dibimbing oleh tetua adat. Sedangkan Mapparibbaq adalah masa berbuka dalam hal ini pantangan yang sebelumnya dilarang sudah bisa dikerjakan.

Tiga fase dalam Mattahang (puasa) ini adalah trilogi yang mencerminkan relasi antara Tuhan, manusia, dan alam. Segitiga relasi ini berkesinambungan dan puncaknya adalah mengelola alam beserta isinya. Ritual ini juga tidak lain adalah cara To Bentong membentengi diri dari hasrat kebendaan.

Massagala mengajarkan To Bentong agar mengelola sumber daya alam secara proporsional, tidak berlebihan. Kekayaan alam yang melimpah ruah diambil untuk kebutuhan manusia secukupnya. Itu sebabnya, masyarakat To Bentong tidak pernah kekurangan bahan pokok makanan dan hidup berkecukupan.

Comment