Pelajaran Pahit dari Nepal

Yunasri Ridhoh (Dosen Pendidikan Kewarganegaraan FEB UNM)

Mata dunia tertuju ke Nepal, sebuah bangsa yang dijuluki negeri seribu kuil, juga dikenal sebagai negeri gunung di atas awan, pintu menuju puncak tertinggi dunia, Everest. Tapi bukan itu yang membuatnya mendapat perhatian publik akhir-akhir ini, melainkan protes anak-anak muda Nepal yang muak dengan kelakuan dan kebijakan pemerintahnya.

ads

Gelombang protes di Nepal yang berujung pada jatuhnya pemerintahan Nepal, ditandai dengan pengunduran diri perdana menteri dan presiden itulah yang menyita perhatian kita. Apa musababnya, mengapa itu terjadi?

Nepal adalah salah satu negara dengan kesenjangan ekonomi sangat lebar dan dalam. Satu dari lima warganya hidup dalam kemiskinan. Laporan Bank Dunia menunjukkan 20 persen lebih dari 30 juta penduduk Nepal hidup dalam kemiskinan.

Di tengah kesenjangan sosial yang kian lebar itu, rakyat Nepal, khususnya Gen Z turun ke jalan, menolak pejabat publik yang mereka nilai lebih sibuk menikmati kemewahan lalu fleksing ketimbang mengurus kepentingan rakyat. Militer dan kepolisian yang biasanya menjadi alat kekuasaan, kali ini tampak tak berdaya menghadapi gelombang massa yang muak.

Peristiwa itu menjadi tanda betapa keroposnya kursi kekuasaan bila dipertahankan hanya dengan legitimasi formal, bukan legitimasi moral dan kultural. Pada akhirnya mereka akan tersungkur, meski memiliki senjata, aparat, setumpuk uang, dan instrumen kekuasaan lain.

Kekuatan rakyat, nepokids dan nepobaby

Sejarah politik dunia membuktikan, rakyat bisa bersabar, sesulit apapun hidupnya, tapi kesabarannya akan berubah kemarahan bila di saat yang sama ia menyaksikan kemewahan yang ditampilkan oleh elit pejabat, kroni atau keluarganya.

Di Nepal, kemewahan pejabat publik di tengah rakyat yang bergulat dengan pengangguran, mahalnya harga kebutuhan pokok, dan keterbatasan pelayanan kesehatan menjadi bahan bakar perlawanan. Tidak peduli betapa kuat pagar kawat berduri, berapa banyak pasukan yang dikerahkan, atau seberapa kokoh benteng kekuasaan dibangun, rakyat yang marah tak bisa dihentikan.

Senjata bisa menakuti, tetapi tidak akan pernah mampu membungkam orang-orang yang sudah kehilangan rasa takut karena perut lapar dan harga diri diinjak. Sejarah Indonesia sendiri pernah menunjukkan hal yang sama: revolusi fisik 1945–1949, hingga gerakan reformasi 1998, semua membuktikan bahwa kekuatan rakyat lebih dahsyat daripada bedil.

Satu hal yang juga menjadi sorotan publik Nepal adalah fenomena nepokids dan nepobaby—istilah populer yang merujuk pada anak-anak pejabat, keluarga elite, dan kerabat dekat penguasa yang mendapatkan posisi, fasilitas, atau kekayaan bukan karena kemampuan, tetapi karena koneksi.

Di Nepal, banyak kursi birokrasi dan jabatan strategis dihuni oleh orang-orang yang berasal dari lingkaran keluarga politik. Mereka hidup dalam gelembung kenyamanan, jauh dari kenyataan getir rakyat di jalanan. Sementara masyarakat susah payah mencari pekerjaan, para nepokids bebas melanglang buana, memamerkan gaya hidup mewah di media sosial.

Sebetulnya, dan senyatanya, fenomena ini bukan hanya ada di Nepal. Di banyak negara berkembang, termasuk Indonesia, praktik nepotisme dalam berbagai rupa terus hidup. Publik semakin sensitif melihat ketimpangan ini, terutama generasi muda yang kritis dan aktif bersuara di ruang digital.

Nepobaby menjadi simbol ketidakadilan struktural, di mana rakyat harus berjuang keras melewati seleksi ketat untuk sekadar menjadi pegawai negeri, sementara anak pejabat bisa melesat menduduki jabatan tanpa harus bersusahpayah melayakkan diri secara kapasitas. Kesenjangan inilah yang membangkitkan rasa muak.

Apa yang terjadi di Nepal sebetulnya bukan sekadar soal ekonomi, melainkan juga soal etika kekuasaan. Demokrasi bisa berjalan secara prosedural—ada pemilu, ada parlemen, ada pengadilan, ada pemerintahan—tetapi tanpa etika, demokrasi hanya menjadi topeng untuk melegitimasi kekuasaan elit.

Ketika demokrasi hanya diisi oleh lingkaran keluarga, partai yang dikuasai oligarki, dan pejabat yang lebih sibuk menjaga citra ketimbang bekerja untuk rakyat, maka cepat atau lambat legitimasi itu runtuh. Rakyat akan menemukan cara untuk mengambil kembali ruang yang dirampas.

Pelajaran untuk Indonesia 

Indonesia tentu tidak sama dengan Nepal. Tetapi tanda-tanda yang mirip bisa kita temukan. Ketidakpuasan terhadap pejabat publik yang sibuk mempertontonkan kemewahan, praktik nepotisme yang semakin vulgar, hingga jurang kesenjangan yang terus melebar—semua menjadi alarm keras.

Kita tentu tidak menginginkan kerusuhan atau kekosongan kekuasaan seperti di Nepal. Namun, mengabaikan suara rakyat hanya akan membuat bara ketidakpuasan membesar. Kita harus belajar dari Nepal bahwa menjaga legitimasi publik lebih penting daripada sekadar memperbesar sumberdaya pertahanan dan keamanan.

Pejabat publik harus menyadari bahwa rakyat bisa memaafkan kesalahan, tetapi sulit memaafkan kesombongan. Mereka bisa bersabar menghadapi krisis, tetapi tidak akan pernah menerima ketika elit justru berpesta pora di atas penderitaan rakyat .

Fenomena global menunjukkan bahwa generasi muda kini lebih vokal menuntut transparansi, akuntabilitas, dan keadilan sosial. Media sosial mempercepat penyebaran kritik, membesarkan gelembung solidaritas, dan memperkuat gerakan. Apa yang terjadi di Nepal bisa saja menjadi inspirasi bagi rakyat di negara lain yang menghadapi masalah serupa.

Maka, pejabat publik harus segera menata diri. Jangan remehkan suara rakyat kecil. Jangan abaikan kritik anak muda. Jangan biarkan nepotisme terus merajalela. Jika tidak, badai bisa datang sewaktu-waktu.

Nepal memberi kita pelajaran pahit bahwa kekuasaan yang dibangun di atas keserakahan, nepotisme, dan kemewahan di tengah penderitaan rakyat tidak akan bertahan lama. Senjata, aparat, bahkan konstitusi sekali pun tak mampu menyelamatkan rezim yang kehilangan legitimasi publik.

Kekuatan rakyat selalu lebih besar daripada yang dibayangkan. Jangan pernah menyepelekan mereka, sebab sekali rakyat bergerak, sejarah akan menyingkirkan siapa pun yang berdiri di hadapan mereka. Begitulah hukum besi gerakan rakyat.

Comment