Asratillah (Direktur Profetik Institute)
Di bawah bayang janji dan likuiditas
Tatkala Purbaya Yudhi Sadewa absah menjabat Menteri Keuangan, sebagian publik menyambutnya dengan harapan yang hampir mistik, seakan kehadirannya akan menyembuhkan ekonomi yang lelah. Ia datang dengan gestur yang berbeda dari pendahulunya—lebih agresif, lebih langsung, dan lebih percaya diri pada kuasa negara dalam mengatur ekonomi.

Dalam waktu sebulan, sederet janji digelar, mulai dari penyaluran Rp200 triliun dana pemerintah untuk memperkuat kredit bank, penghapusan hambatan pajak bagi pelaku usaha kecil, wacana penurunan PPN agar rakyat dapat bernafas lebih lega, serta penundaan kenaikan cukai rokok dengan alasan melindungi daya beli kelas bawah.
Dari permukaan, kebijakan ini tampak seperti upaya besar untuk mengembalikan “negara” ke tengah gelanggang ekonomi, setelah sekian lama fungsi fiskal hanya dijalankan sebagai mesin akuntansi makro. Retorika Purbaya membangkitkan nostalgia pada masa ketika pemerintah dianggap mampu “menggerakkan ekonomi”—bukan hanya mengawasi. Ia bicara dengan nada yang tegas, negara tidak boleh menyerah pada logika pasar.
Namun, di bawah narasi nasionalisme ekonomi ini, mengalir satu arus yang lebih rumit. Rp200 triliun itu tidak jatuh langsung ke tangan rakyat kecil, tetapi mengalir melalui sistem perbankan—khususnya bank-bank milik negara. Mekanisme ini membuat negara seperti tangan yang panjang, tapi tidak selalu cermat. Uang memang diguyurkan, tetapi arah jatuhnya bergantuJng pada struktur perantara yang sudah lama dikuasai oleh kepentingan besar.
Kelas menengah ke bawah, yang digadang-gadang akan menjadi penerima manfaat utama, berada di ujung sistem itu—bergantung pada seleksi kredit, kelayakan administratif, dan keberanian bank menyalurkan pinjaman ke sektor-sektor informal yang selama ini dianggap “berisiko.” Dalam bahasa sederhana, uang besar tetap mengalir ke kantong yang aman, bukan ke mereka yang lapar.
Kebijakan fiskal seperti ini sering menciptakan efek semu. Likuiditas meningkat, pasar bergairah sesaat, konsumsi naik, tetapi struktur ketimpangan tetap kukuh berdiri. Mereka yang sudah memiliki modal mendapat tambahan daya dorong, sementara merka yang bergantung pada upah tetap bergulat dengan harga bahan pokok dan cicilan rumah.
Di sinilah celah persoalan muncul, kebijakan yang mengaku berpihak pada rakyat kecil, tapi menyalurkan bantuannya melalui instrumen kapital besar. Negara menjadi semacam mediator moral yang berbicara atas nama keadilan sosial, namun bertindak dengan logika lembaga finansial.
Seorang ekonom mungkin akan menilainya sebagai langkah pragmatis. Namun bagi mereka yang mengamati hubungan antara kekuasaan, ekonomi, dan ideologi—seperti para pemikir ekonomi-politik kiri—kebijakan semacam ini memuat arti yang lebih dalam, negara tengah memperbarui kontraknya dengan kapitalisme, bukan melawannya.
Membaca Purbaya dengan kacamata kiri
Jika dibaca melalui perspektif ekonomi politik kiri, khususnya Neo-Gramscian dan Poulanzasian, kebijakan yang diinisiasi Purbaya ini bukan sekadar langkah teknokratis, melainkan operasi ideologis. Antonio Gramsci dalam Prison Notebooks (1929–1935) mengingatkan bahwa hegemoni tidak hanya dibangun lewat kekuasaan koersif negara, tetapi melalui persetujuan aktif masyarakat terhadap narasi dominan.
Dalam konteks Indonesia kini, narasi itu berbunyi, “Negara harus menjamin stabilitas agar investasi tumbuh.” Narasi ini, sebagaimana hegemoninya, diterima bahkan oleh kelas pekerja, pedagang kecil, dan ASN menengah yang berharap efek tetesan (trickle-down effect) akan tiba di meja makn mereka.
Neo-Gramscian seperti Robert Cox (1981) mengembangkan pemikiran ini lebih jauh, setiap kebijakan ekonomi adalah manifestasi dari historical bloc—sebuah aliansi sosial yang menyatukan kepentingan politik, ekonomi, dan intelektual untuk menopang tatanan tertentu.
Dalam hal ini, blok historis Indonesia kontemporer terbentuk oleh persekutuan antara negara teknokrat, konglomerat domestik, dan lembaga keuangan global. Purbaya, dalam posisi strategisnya, beroperasi di jantung blok ini, bukan sebagai penggerus kapital, melainkan sebagai pengatur ritme kapital agar tidak pecah dari dalam.
Poulantzas, dalam State, Power, Socialism (1978), menolak pandangan bahwa negara adalah alat semata milik kelas kapitalis. Baginya, negara adalah “kondensasi dari relasi kekuasaan antar kelas.” Dalam bingkai itu, kebijakan ekonomi ala Purbaya bisa dibaca sebagai hasil negosiasi di dalam negara—antara kebutuhan kapital untuk ekspansi dan kebutuhan pemerintah untuk legitimasi sosial. Negara mencoba tampil sebagai penengah yang rasional, padahal ia tengah menegakkan “rasionalitas kapitalisme.”
Lihat bagaimana diskursus publik dibentuk, ketika terjadi volatilitas ekonomi, yang diserukan bukanlah redistribusi atau keberpihakan kelas, melainkan “kepercayaan investor harus dijaga.” Di sini, bahasa ekonomi menjadi bahasa politik yang disterilkan dari politik. Negara tampak netral, padahal tengah memperkuat struktur ketimpangan yang menyejarah.
Itulah yang disebut Gramsci sebagai “hegemoni dalam kesadaran sehari-hari”—kapitalisme menjadi hal yang dianggap wajar, bahkan oleh mereka yang dirugikan olehnya. Neo-Gramscian seperti Stephen Gill (1993) dalam Gramsci, Historical Materialism, and International Relations menambahkan bahwa globalisasi finansial menciptakan disciplinary neoliberalism, yakni rezim kebijakan yang memaksa negara tunduk pada logika pasar global.
Dalam konteks Indonesia, lembaga seperti LPS atau BI tidak hanya berfungsi teknis, melainkan juga ideologis—mereka menjaga agar “akal ekonomi” tetap bergerak dalam koridor yang bisa diterima oleh modal internasional. Kebijakan penjaminan simpanan yang diperluas, misalnya, memang tampak melindungi masyarakat, tetapi pada praktiknya melindungi sistem perbankan dari konsekuensi krisis yang dihasilkan oleh perilaku spekulatif mereka sendiri.
Dalam istilah Poulantzas, ini adalah bentuk state intervention in favor of the dominant fraction of capital. Negara mengintervensi bukan untuk melawan kapital, tapi untuk memastikan kapital tak goyah. Yang menarik adalah bagaimana kebijakan semacam ini dilingkupi bahasa moral yang seolah pro-rakyat, semisal stabilitas, inklusi keuangan, pertumbuhan berkelanjutan.
Di sinilah hegemoni bekerja—melalui internalisasi nilai kapitalis dalam wacana publik yang disajikan dengan aroma kebajikan. Negara menjadi intelektual kolektif (meminjam istilah Gramsci) yang memproduksi rasa masuk akal bagi struktur ekonomi yang timpang.
Kita sedang menyaksikan versi baru dari apa yang dulu disebut Poulantzas sebagai authoritarian statism—negara yang semakin kuat secara birokratis dan teknokratis, tetapi semakin lemah dalam representasi sosialnya. Kekuatan negara tumbuh untuk menertibkan pasar, bukan untuk menyejahterakan warga.
Rasionalitas ekonomi menggantikan rasionalitas publik. Demokrasi menjadi upacara legitimasi bagi kebijakan yang sudah disepakati jauh sebelum rakyat tahu bahwa mereka akan terkena dampaknya. Dalam cara pandang ini, Purbaya bukan sosok jahat atau pahlawan, melainkan figur yang lahir dari konfigurasi ideologis tertentu—produk dari struktur ekonomi politik global yang menuntut negara agar selalu berperan sebagai penjamin modal.
Ia, dengan segala niat baiknya, beroperasi di dalam sistem yang telah menentukan batas-batas tindakan yang mungkin. Di titik ini, kritik ekonomi-politik kiri bukan serangan personal, melainkan upaya membongkar logika institusional yang memproduksi kebijakan tersebut.
Jika ekonomi yang dikembangkan sekarang hanyalah ekonomi yang menenangkan pasar, maka yang perlu direvisi bukan sekadar kebijakan, melainkan fondasi epistemologinya. Kita membutuhkan ekonomi yang memulihkan manusia sebagai subjek, bukan sekadar komponen statistik.
Pertama, kebijakan ekonomi harus keluar dari paradigma stabilitas makro demi pertumbuhan, menuju keseimbangan sosial demi keberlanjutan hidup. Artinya, stabilitas tidak boleh didefinisikan oleh indeks saham, melainkan oleh kesejahteraan warga. Ini memerlukan reposisi lembaga seperti LPS dan BI sebagai institusi publik, bukan sekadar penjaga kepercayaan investor.
Kedua, perlu ada demokratisasi kebijakan ekonomi. Gramsci pernah menulis bahwa “setiap orang adalah filsuf,” maksudnya setiap orang berhak menafsirkan dunia ekonomi yang menimpanya. Maka, kebijakan ekonomi harus terbuka terhadap deliberasi warga—petani, buruh, nelayan, pelaku UMKM—bukan hanya ekonom yang menghitung dari menara gading.
Ketiga, negara perlu menata ulang relasinya dengan modal global. Dalam konteks Poulantzian, ini berarti mengembalikan fungsi negara sebagai arena perjuangan kelas, bukan mediator kepentingan kapital. Negara harus berani menjadi kekuatan kontra-hegemonik yang mengatur pasar dengan tujuan sosial, bukan dengan ketakutan kehilangan investasi.
Alternatif yang mungkin adalah mengembangkan ekonomi berbasis solidaritas sosial—cooperative banking, green microfinance, dan model local economic democracy yang mulai tumbuh di berbagai negara Amerika Latin. Bukan karena romantisme kiri, tetapi karena sistem yang terlalu lama berpihak pada modal telah gagal menunaikan janji kesejahteraan.
Jika Purbaya mewarisi sistem yang penuh jebakan, maka tugas generasi sekarang adalah merancang jalan keluar dari sistem itu. Neo-Gramscian menyebutnya counter-hegemonic project—proyek tandingan yang menggeser konsensus lama dengan tatanan baru yang lebih adil.
Proyek semacam ini tidak bisa lahir dari birokrasi, melainkan dari energi sosial di luar negara, serikat pekerja, komunitas warga, kelompok intelektual progresif. Kita tidak sedang menolak negara. Kita sedang menuntut agar negara kembali menjadi milik masyarakat, bukan milik pasar.
Jalan yang mungkin ditempuh
Jika ditanya apa yang mesti direvisi dari kebijakan semacam ini, jawabannya bukan semata-mata soal angka atau mekanisme teknis. Yang perlu dirombak adalah cara berpikir tentang ekonomi itu sendiri—dari ekonomi sebagai arena pertumbuhan menuju ekonomi sebagai arena pembebasan sosial.
Kita telah terlalu lama menganggap “pertumbuhan” sebagai ukuran keberhasilan, padahal pertumbuhan bisa tumbuh di atas penderitaan. Kritik yang datang dari ekonomi politik kiri tidak berhenti pada struktur analitis, tapi mengajukan etika baru dalam melihat ekonomi: siapa yang tumbuh, siapa yang menanggung biaya pertumbuhan, dan siapa yang membuat keputusan atas nama siapa.
Alternatif yang mungkin—dan masuk akal secara politik—adalah membalik arah kebijakan fiskal dari “likuiditas untuk pasar” menjadi “investasi langsung untuk masyarakat.” Alih-alih menyalurkan Rp200 triliun ke perbankan, negara bisa mengarahkan sebagian besar dana itu ke community-based economy, seperti koperasi produksi, lembaga keuangan mikro berbasis komunitas, serta program ekonomi ekologis yang memperkuat wilayah—bukan korporasi.
Dalam semangat Gramscian, langkah ini berarti menciptakan counter-hegemony, bukn sekadar melawan pasar, tetapi membangun logika ekonomi tandingan yang berakar pada solidaritas, bukan akumulasi. Sementara dalam semangat Poulantzas, ini berarti memperluas demokrasi ekonomi—membuka ruang partisipasi rakyat dalam pengambilan keputusan fiskal, bukan hanya menjadi penerima dampak kebijakan. Negara tidak boleh hanya “mengatur”, tapi harus “memungkinkan.”
Maka dari itu, ada tiga hal yang bisa kita tempuh. Pertama, transparansi fiskal partisipatif — di mana masyarakat dapat memantau dan ikut menentukan alokasi dana publik; Kedua, demokratisasi perbankan negara — menjadikan bank milik negara bukan sekadar mesin laba, tetapi alat kebijakan sosial yang bisa dikontrol publik; Ketiga, desentralisasi fiskal yang progresif — memperkuat kapasitas fiskal daerah untuk membiayai program kesejahteraan tanpa harus menunggu transfer pusat.
Kita sering terjebak dalam kepercayaan bahwa ekonomi hanyalah soal hitungan, padahal ia selalu mengandung tafsir tentang manusia dan kekuasaan. Di balik tabel anggaran, ada imajinasi politik tentang siapa yang berhak hidup lebih layak. Purbaya mungkin percaya bahwa uang dapat memperbaiki kepercayaan rakyat kepada negara.
Tetapi, kepercayaan yang lahir dari uang mudah goyah oleh harga beras yang naik. Ia akan abadi hanya jika rakyat merasa dilibatkan, bukan ditenangkan. Dalam konteks inilah, teori ekonomi-politik kiri mengingatkan kita bahwa setiap kebijakan ekonomi adalah peristiwa ideologis, ia memproduksi makna tentang apa itu keadilan, siapa itu rakyat, dan bagaimana negara memandang dirinya sendiri.
Jika negara ingin benar-benar hadir, ia harus hadir bukan sebagai penyelamat dari atas, melainkan sebagai bagian dari perjuangan bersama. Dan di situlah, mungkin, kita bisa menemukan arti baru dari “politik yang bekerja”, bukan kerja teknokratis di meja anggaran, tapi kerja kesadaran—tentang bagaimana ekonomi menjadi alat untuk membebaskan, bukan sekadar menenangkan.
Comment