Pengader, Khittah Perjuangan, dan Benteng Nalar di Era Implosi Pengetahuan

Ahmad Nurfajri Syahidallah (Ketua Koordinator Nasional Korps Pengader PB HMI 2025-2027)

Khittah Perjuangan senantiasa ditempatkan oleh Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Majelis Penyelamat Organisasi (MPO) sebagai mercusuar ideologis yang mengarahkan setiap gerak langkah dan dinamika organisasi. Keberadaannya tidak hanya berhenti sebagai dokumen yang dianggap layaknya orakel tak terjamah.

ads

Membaca Khittah Perjuangan sama seperti menggunakan kacamata yang akan menentukan cara pandang kader HMI dalam membaca semesta dan realitas di sekitarnya. Dalam konteks yang sarat akan idealisme ini, figur Pengader menempati posisi sentral sebagai medium dialektis yang menerjemahkan idealisme Khittah Perjuangan ke dalam praktik produksi kader dan perkaderan di HMI.

Tantangan yang dihadapi saat ini tidak lagi sekadar persaingan politik praktis, tetapi sebuah krisis eksistensial berupa “implosi pengetahuan” dan “kematian intelektual”—sebuah kondisi yang menunjukkan nalar kritis tergerus oleh banjir informasi dangkal.

Menurut Yasraf Amir Piliang, terutama yang dikembangkan dalam karya-karyanya seperti Dunia Yang Dilipat dan Dunia Yang Berlari, “Implosi Pengetahuan” adalah sebuah fenomena mendasar yang menggambarkan transformasi radikal dalam cara pengetahuan diproduksi, disebarluaskan, dan dikonsumsi di era informasi global.

Istilah “implosi” (kebalikan dari ledakan/eksplosi) merujuk pada pemadatan, penyusutan, atau keruntuhan ke dalam diri sendiri. Dalam konteks pengetahuan, implosi terjadi karena adanya kecepatan masif dan densitas informasi digital yang luar biasa.

Pengetahuan yang dulunya didapatkan melalui proses panjang, berstruktur, dan mendalam (seperti membaca buku tebal, penelitian, dan refleksi filosofis) kini terkompresi menjadi fragmen-fragmen kecil, ringkasan instan, dan soundbites yang cepat diserap namun cepat hilang. Ini mengakibatkan hilangnya konteks, kedalaman historis, dan kompleksitas isu, sehingga individu merasa tahu banyak tanpa benar-benar memahami apa-apa.

Implosi Pengetahuan dipicu oleh dua faktor utama: teknologi komunikasi dan budaya kecepatan. Teknologi digital, terutama internet dan media sosial, memungkinkan informasi menyebar secara simultan dan instan, menghilangkan hierarki dan otoritas pengetahuan tradisional. Di masa lalu, buku, dosen, atau institusi adalah pusat otoritas, tetapi kini otoritas tersebut menyebar dan menghilang dalam lautan informasi yang setara.

Hal ini berdampak pada tergerusnya narasi besar (grand narrative) dan bergantinya kebebasan narasi kecil yang bersifat mikro, viral, dan temporer. Budaya kecepatan yang menyertai teknologi menuntut segala sesuatu harus segera diselesaikan, termasuk proses berpikir.

Hingga pada akhirnya mendorong konsumsi pengetahuan yang dangkal dan reaktif, bukan reflektif. Akibatnya, kedalaman substansi tidak lagi menjadi sesuatu yang berharga, melainkan kecepatan dan daya tarik permukaan informasi tersebut.

Konsekuensi paling kritis dari Implosi Pengetahuan adalah munculnya apa yang disebut Piliang sebagai “kematian intelektual” atau “krisis nalar”. Ketika pengetahuan terimplosi, ia kehilangan daya untuk mendorong refleksi mendalam, sintesis antar-disiplin, dan kritik epistemologis.

Oleh sebab itu, individu menjadi rentan terhadap indoktrinasi melalui informasi yang terfragmentasi. Mereka mungkin menjadi cerdas secara fungsional dalam bidang spesifik, tetapi kehilangan kemampuan untuk menghubungkan pengetahuan tersebut dengan nilai-nilai etis, sosial, atau filosofis yang lebih besar, sebagaimana yang dinawacitakan oleh HMI.

Dengan demikian, Implosi Pengetahuan menantang HMI termasuk para Pengadernya untuk secara sadar dan metodis melawan arus kedangkalan ini dengan mengembalikan tradisi literasi mendalam dan dialektika kritis sebagai benteng pertahanan terakhir nalar di HMI.

Sumbangan Khittah Perjuangan: Nilai-nilai yang patut diperjuangkan

Khittah Perjuangan HMI bukanlah sekadar dokumen sejarah, melainkan sebuah kontrak etik yang menentukan orientasi nilai yang wajib diperjuangkan oleh setiap kadernya. Khittah Perjuangan secara tegas menyumbangkan nilai-nilai fundamental yang patut untuk dipertahankan, terutama dalam menghadapi tantangan modern yang cenderung pragmatis dan materialistik.

Nilai pertama dan utama adalah independensi kultural dan struktural. Khittah Perjuangan menuntut HMI untuk menjaga jarak kritis terhadap kekuasaan dan kekuatan-kekuatan non-organisatoris yang berupaya mendikte arah gerak himpunan.

Nilai ini sangat relevan di tengah tantangan zaman, utamanya terhadap organisasi mahasiswa yang rentan terkooptasi oleh kepentingan politik praktis atau kapital. Independensi menjamin bahwa pemikiran kader HMI MPO didasarkan pada kebenaran epistemik, bukan kebutuhan finansial atau jabatan, membebaskan nalar dari belenggu kepentingan sesaat.

Nilai kedua adalah kemurnian ideologis yang berpusat pada pemahaman mendalam dan praksis dari Khittah Perjuangan. Khittah Perjuangan mengingatkan bahwa perjuangan HMI adalah untuk mewujudkan masyarakat yang diridhoi Allah Swt., yang menuntut komitmen pada nilai-nilai keislaman dan keilmuan secara utuh.

Nilai ini patut diperjuangkan karena di era kiwari, ideologi rentan terdistorsi menjadi slogan kosong atau jargon tanpa kedalaman filosofis. Pengader, oleh karena itu, harus memastikan Khittah Perjuangan diinternalisasi sebagai kerangka ideologis-epistemik untuk menganalisis realitas, bukan sekadar materi Latihan Kader yang dihapal lalu dicekokkan ke dalam benak kader.

Nilai ketiga yang disumbangkan Khittah Perjuangan adalah komitmen pada nalar kritis dan tradisi keilmuan. Dengan menolak kompromi politik yang dangkal, Khittah Perjuangan secara implisit menuntut kader untuk memimpin melalui gagasan dan argumentasi yang kokoh.

Ini mengharuskan HMI MPO menjadi episentrum perdebatan intelektual dan penciptaan ilmu pengetahuan yang relevan dengan kebutuhan umat, menempatkan kualitas berpikir di atas kuantitas massa atau popularitas. Ketiga nilai ini menjadi senjata ideologis HMI MPO untuk menghadapi zaman yang serba abu-abu dan pragmatis.

Tantangan HMI MPO: Implosi pengetahuan dan kematian intelektual

Meskipun Khittah memberikan landasan nilai yang kokoh, HMI MPO tidak imun terhadap tantangan zaman. Fenomena “implosi pengetahuan” adalah ancaman yang paling mendasar bagi tradisi intelektual HMI. Implosi pengetahuan menunjukkan bahwa pengetahuan tak ubahnya lautan data digital yang tak terbatas justru menghasilkan kedangkalan analisis.

Kader terpapar pada informasi yang terfragmentasi, tersaji dalam format yang cepat, dangkal, dan menghibur, yang secara efektif membunuh minat terhadap bacaan serius dan pemikiran reflektif. Ini menciptakan generasi kader yang secara formal lulus perkaderan, tetapi secara substansial mengalami kematian intelektual.

Kematian intelektual di sini didefinisikan sebagai hilangnya kemampuan untuk melakukan abstraksi, sintesis, dan kritik epistemologis terhadap sumber pengetahuan. Bagi HMI MPO yang mengedepankan nalar kritis sebagai alat perjuangan, kondisi ini sangat berbahaya.

Ketika kader tidak mampu membedakan informasi yang valid dengan propaganda, atau ketika mereka enggan memamah buku layaknya sepotong pizza, mereka akan kehilangan fondasi untuk memahami konteks sosial dan arah perjuangan himpunan.

Lebih jauh lagi, ketergantungan pada algoritma media sosial membentuk filter bubble (gelembung filter) yang mengisolasi kader dari perspektif yang berbeda, yang secara langsung bertentangan dengan semangat dialektika dan kritik terbuka yang diajarkan oleh Khittah Perjuangan.

Apabila kondisi ini terus berlanjut, HMI MPO, meskipun berpegang teguh pada independensi, akan kehilangan kemampuan untuk memimpin gagasan, dan hanya akan menjadi organisasi reaktif yang mudah terombang-ambing oleh sentimen publik.

Pengader: Garda terdepan sekaligus barisan terakhir

Dalam kerangka Khittah Perjuangan, peran Pengader bertransformasi menjadi pengawal Khittah Perjuangan dan intelektual di lini terdepan. Produksi Kader (Insan Ulul Albab) di HMI MPO adalah proses penempaan yang bertujuan melahirkan kader yang tidak hanya loyal secara struktural, tetapi juga teguh secara moral dan kritis secara intelektual. Pengader memiliki tiga peran operasional dalam konteks ini.

Pertama, Transformasi Nilai. Pengader bertanggung jawab mengejawantahkan teks-teks Khittah Perjuangan menjadi perilaku keseharian. Ini diwujudkan melalui metode perkaderan yang memihak pada proses internalisasi nilai. Pengader harus mampu menunjukkan bahwa Independensi berarti berani berbeda pendapat dengan mayoritas, dan kemurnian ideologis berarti menolak gratifikasi dan jalan pintas.

Kedua, Fasilitator Dialektika Epistemik. Tugas Pengader adalah memfasilitasi perjumpaan kader dengan pemikiran-pemikiran besar dan kontradiktif. Di HMI MPO, ini berarti mendorong kader untuk mengkritik pandangan organisasi sendiri secara sehat, menguji tesis-tesis dalam Khittah Perjuangan, dan memastikan bahwa kader mampu melakukan sintesis kritis terhadap pengetahuan yang diperoleh. Pengader harus menjadi model dalam berpikir dialektis, yang melihat masalah dari berbagai sudut pandang sebelum mencapai kesimpulan yang teruji.

Ketiga, Penjaga Integritas Moral. Karena Khittah Perjuangan sangat menekankan independensi dan kemurnian, Pengader harus menjadi representasi visual dari nilai-nilai tersebut. Apabila Pengader terlihat kompromis terhadap kekuasaan atau lemah dalam disiplin intelektual, maka seluruh proses produksi kader akan runtuh. Dengan demikian, kualitas Insan Ulul Albab yang dihasilkan HMI MPO sangat bergantung pada konsistensi Pengader dalam menghidupi dan mengajarkan Khittah Perjuangan.

Dalam skenario ancaman Implosi Pengetahuan, peran Pengader harus ditingkatkan menjadi “Intelektual Penyelamat” yang secara proaktif membentengi kader dari kedangkalan zaman. Pembentengan ini dilakukan dengan mengintegrasikan nilai-nilai Khittah Perjuangan ke dalam upaya perkaderan yang adaptif.

Hal ini dapat dimulai dari menciptakan ruang rekonsiliasi intelektual. Pengader harus menciptakan forum-forum perkaderan informal yang mewajibkan kader untuk membaca dan mendiskusikan teks primer secara utuh, menolak ringkasan instan. Tujuan utamanya adalah mengembalikan budaya “berpikir lambat” (slow thinking) yang mendalam dan metodis.

Upaya terakhir menjadi “Intelektual Penyelemat” adalah mendorong kreativitas praksis berbasis gagasan. Pengader harus memastikan bahwa kader tidak sekadar menerima, tetapi juga memproduksi pengetahuan dan aksi nyata. Ini dapat diwujudkan melalui upaya kader untuk menuliskan gagasannya serta mengaplikasikannya dalam agenda-agenda sosial-kemasyarakatan.

Dengan menjadikan Pengader sebagai arsitek yang menanamkan disiplin intelektual yang konsisten dan integritas moral yang teguh, HMI MPO dapat memastikan bahwa kader yang dihasilkan memiliki ketahanan mental dan spiritual untuk menghadapi segala bentuk belenggu—termasuk ancaman implosi pengetahuan dan kematian intelektual.

HMI MPO berdiri di atas fondasi Khittah Perjuangan yang menekankan independensi, kemurnian ideologis, dan supremasi nalar. Di era implosi pengetahuan, tantangan terbesar bagi HMI MPO adalah menjaga agar nilai-nilai luhur Khittah Perjuangan tidak tergerus menjadi idealisme retoris tanpa basis intelektual.

Jawabannya terletak pada Pengader. Pengader adalah transmisi yang mengubah energi ideologis Khittah Perjuangan menjadi output kader yang berkualitas. Komitmen dan kualitas personal setiap Pengader adalah koentji terhadap keberhasilan HMI MPO dalam memproduksi Insan Ulul Albab yang mampu berjuang melawan kematian intelektual dan menjaga independensi di tengah tekanan zaman.

Mereka harus menjadi garda terdepan sekaligus benteng terakhir yang berani menuntut kedalaman berpikir dan menjadi teladan yang tidak berkompromi dengan pragmatisme. Hanya dengan Pengader yang kuat, yang konsisten mengajarkan Khittah Perjuangan sebagai metodologi hidup, HMI MPO dapat terus relevan, menghasilkan pemimpin pemikir, dan mewujudkan cita-cita suci perjuangan umat dan bangsa.

Comment