Yunasri Ridhoh (Dosen UNM)
Zohran Mamdani, seorang Muslim keturunan India-Uganda, resmi memenangkan pemilihan sebagai Wali Kota New York. Kemenangan ini menjadi penanda penting, bukan sekadar soal keberhasilan seorang anak imigran menembus panggung politik kota global, tetapi tentang pergeseran arah ideologi di ruang publik Amerika.

Mamdani adalah anggota Partai Demokrat, namun ia berafiliasi kuat dengan Democratic Socialists of America (DSA), sayap kiri progresif yang selama beberapa tahun terakhir mencoba menawarkan alternatif terhadap politik Demokrat arus utama. Dengan kata lain, ia berada dalam partai yang sama, tetapi “bahasa politik”-nya tidak sama.
Hal yang menarik adalah kemenangan Mamdani terjadi di New York, kota yang selama ini dianggap sebagai “benteng Demokrat tradisional.” Di kota ini, kemenangan selalu ditentukan oleh jaringan donor, konsensus elite, dan stabilitas pusat-pusat kepentingan ekonomi-politik.
Namun kesuksesan Mamdani menunjukkan adanya kejenuhan publik terhadap gaya politik “tengah” yang dianggap terlalu berhitung, terlalu berhati-hati, dan kurang menyentuh persoalan dasar warga kelas pekerja: perumahan, upah, kesehatan, dan keamanan sosial.
Lalu Mamdani datang, Kedatangannya tentu tidak sebagai seorang teknokrat, melainkan sebagai aktivis. Kampanyenya bertumpu pada gerakan arus bawah atau akar rumput. Relawan kampanyenya bukan konsultan politik, tetapi mahasiswa, pekerja imigran, supir taksi, dan aktivis iklim. Ia berbicara bukan dengan narasi kestabilan, tetapi dengan bahasa urgensi: bahwa kota harus memihak warga biasa, bukan pemilik modal.
Pertanyaannya, apakah kemenangan ini lahir begitu saja? tentu tidak. Ada suasana sosial yang berubah. Pandemi COVID-19 memperlihatkan rentangnya jurang ekonomi; krisis hunian mendorong ribuan keluarga ke pinggir kota; dan meningkatnya biaya hidup menegaskan bahwa “kemajuan kota” tidak dinikmati merata. Dalam kondisi seperti itu, gagasan-gagasan sosialisme demokratis menemukan relevansi dan momentumnya.
Politik identitas dan risiko populisme
Identitas Mamdani sebagai seorang Muslim dan anak imigran tentu memiliki resonansi simbolik yang kuat. Banyak komunitas migran di New York melihatnya sebagai representasi diri mereka yang selama ini terpinggirkan dalam ruang politik.
Namun yang menarik, Mamdani tidak menjadikan identitasnya sebagai alat mobilisasi politik berbasis pemisahan. Ia tidak menjual perbedaan sebagai basis dukungan, melainkan menjadikan kewargaan sebagai titik temu.
Dalam banyak pidatonya, Mamdani menekankan bahwa yang terpenting bukan “siapa kamu”, tetapi “hak apa yang telah kamu miliki sebagai warga.” Dengan kata lain, ia menggeser diskusi tentang identitas dari politik pengakuan menuju politik penyediaan hak. Di sini kita melihat sesuatu yang jarang muncul dalam politik identitas di era sekarang: identitas hadir sebagai konteks, bukan sebagai senjata.
Ini relevan untuk refleksi politik di Indonesia. Kita sering terjebak pada pertanyaan: “siapa yang patut memimpin?”—berbasis agama, suku, atau asal kultural. Mamdani mengingatkan kita bahwa pertanyaan yang lebih penting adalah: apakah setiap warga memiliki akses yang adil terhadap hak-hak dasarnya? Pertanyaan itulah yang seharusnya menjadi inti dari pendidikan kewargaan.
Meski demikian, kita perlu berhati-hati untuk tidak merayakan kemenangan progresif ini secara romantis. Gerakan akar rumput dan narasi keberpihakan pada kelas pekerja sangat mudah bergeser menjadi bentuk populisme, baik populisme kiri maupun populisme kanan.
Populisme selalu bekerja dengan satu logika: memecah masyarakat menjadi dua kubu, rakyat versus elite. Mamdani memang berbicara tentang pembebasan warga dari tekanan modal dan birokrasi, tetapi retorika semacam ini, bila tidak dikawal, dapat dengan mudah berubah menjadi politik kemarahan, bukan politik transformasi.
Kita dapat belajar dari pengalaman banyak negara Amerika Latin, yang memulai gerakan sosial demokratis dengan tujuan memperluas kesejahteraan, tetapi kemudian tergelincir dalam personalisasi kekuasaan dan ketergantungan pada figur “pemimpin penyelamat.”
Momennya hampir sama: ada krisis, ada ketimpangan, ada ketidakpercayaan pada elite politik lama. Kehadiran sosok progresif dapat menjadi harapan, tetapi juga dapat menjadi pintu bagi konsentrasi kuasa yang berbahaya.
Karena itu, yang harus dijaga bukan hanya apa yang diperjuangkan, tetapi bagaimana perjuangan itu dilakukan. Apakah kebijakan yang diusulkan berbasis deliberasi publik? Apakah keputusan diambil melalui partisipasi warga? Apakah kebijakan berkelanjutan atau hanya reaksi sesaat terhadap kemarahan sosial? Kemenangan progresif hanya bermakna bila ia membangun institusi, bukan hanya dukungan pada figur.
Pelajaran untuk politik Indonesia
Indonesia berada dalam situasi yang tidak sangat berbeda. Kita juga menghadapi krisis biaya hidup di perkotaan, ketimpangan ekonomi yang menajam, dan kelelahan publik terhadap politik transaksional yang pragmatis. Namun yang belum kita miliki adalah keberanian membangun politik kewargaan yang bertumpu pada hak-hak sosial.
Kita sering membicarakan demokrasi dalam bahasa prosedural, tetapi jarang membicarakannya dalam bahasa kesejahteraan. Mamdani memberi contoh bahwa demokrasi bukan hanya soal pemilihan umum dan rotasi kekuasaan, tetapi tentang bagaimana negara menjamin rumah terjangkau, transportasi publik yang layak, akses kesehatan, dan ruang hidup yang manusiawi.
Inilah yang seharusnya menjadi pembelajaran paling penting: demokrasi hanya bermakna sejauh ia menjaga martabat warga, bukan hanya martabat institusi. Kemenangan Zohran Mamdani bukan hanya kemenangan satu figur atau satu komunitas.
Ia adalah penanda bahwa politik kewargaan, politik yang berbicara tentang hak dasar dan keberlanjutan sosial, sedang mencari jalannya kembali di tengah dominasi pasar dan perhitungan elite. Namun harapan itu harus dibarengi kewaspadaan agar gerakan progresif tidak berubah menjadi populisme emosional.
Ujungnya, pertaruhan politik bukan soal siapa yang menang, tetapi pada sejauh mana kemenangan itu mampu menghadirkan ruang hidup yang lebih layak bagi semua warga.
Comment