Kapur Sarjana Mengalahkan Teknologi Eropa

Muhammad Suryadi R (Mahasiswa Pascasarjana IAIN Parepare)

Pernahkah kita memperhatikan betapa tenangnya ruang kelas ketika seorang guru menulis dengan kapur? Tidak ada suara notifikasi, tidak ada gemerlap warna-warni yang memecah konsentrasi. Yang ada hanya bunyi-bunyi gesekan halus antara kapur dan papan tulis.

ads

Di momentun Hari Guru yang tiap tahun diperingati, ketika kita mencoba mengingat kembali sosok pendidik yang paling membekas, mengapa yang justru muncul gambaran sederhana, yakni tengan yang berdebu putih, garis-garis tak sempurna, dan suara yang sabar menuntun baris demi baris, coretan demi coretan penjelasan?

Pertanyaan-pertanyaan kecil seperti ini kian menguat tatkala kita mengetahui paradoks global yang sedang kita alami saat ini. Bahwa disaat banyak sekolah di negeri berkembang menargetkan kecanggihan, Swiss dan beberapa negara maju justru kembali memprioritaskan buku cetak, mengurangi gawai, dan mengembalikan ruang belajar kepada keheningan. Dunia seolah mengingatkan bahwa kemajuan tak selalu membawa kejernihan.

Kapur yang dipinggirkan, tapi tak pernah mati

Kita terkadang menahan diri untuk mengakui betapa pentingnya kapur dalam proses belajar mengajar. Sementara ia bukan sekedar alat tulis, melainkan alat yang mengatur ritme belajar. Ketika guru menulis, kelas melambat. Murid menatap, mencatat, mencerna. Tidak ada kecepatan buatan seperti dalam presentasi digital yang memaksa gagasan berjalan lebih cepat dari kemampuan berpikir anak.

Contoh kasus yang terjadi di Swiss menjadi pintu masuk yang melihat betapa ironi itu kian nyata. Dalam riset yang dilakukan oleh Laura Marciano dan Anne-Linda Camerini (2021) menunjukkan bahwa siswa kehilangan kemampuan berkonsentrasi ketika pembelajaran terlalu bergantung pada layar. Karena itu, sekolah-sekolah kembali memperkuat penggunaan buku fisik dan menata ulang peran teknologi agar tidak mendominasi.

Jika membaca fenomena tersebut dari kacamata Henry Giroux, maka hal itu akan menjadi sangat masuk akal. Giroux sejak lama mengkritik dominasi teknologi yang bekerja mengikuti logika industri, bukan logika pendidikan. Bagi Giroux, ketika sekolah terlalu percaya pada perangkat, ruang kritis murid semakin menyempit. Murid menjelma menjadi penerima informasi, bukan pengolah gagasan.

Paradoks kedua adalah negara yang teknologinya melimpah yang memilih mundur satu langkah. Mereka kembali pada medium yang dianggap using menyadari nilai yang hilang ketika ruang kelas terlalu bising oleh cahaya layar.

Guru dan kapur sarjana

Tidak ada kampus yang memberikan gelar kapur sarjana, tetapi banyak orang melalui pendidikan panjang diajar oleh guru yang menggenggam kapur setiap hari. Kapur mengajari guru mendengar kebutuhan murid melalui jeda, menatap kebingungan, dan menganalisa pemahaman dari mata cahaya murid.

Dalam pemikiran Giroux, guru bukanlah penyampai kurikulum, tetapi transformative intellectual, yaitu orang yang menumbuhkan kesadaran murid dalam membaca realitas. Dan peran itu justru sering muncul lebih kuat ketika guru tidak bergantung pada perangkat pintar, melainkan ketika guru berhadapan langsung dengan murid melalui bahasa tubuh, ritme suara, dan tulisan yang hidup.

Teknologi tentu sangat membantu, tetapi tidak selalu memanusiakan. Banyak guru sekedar menjadi operator layar ketika pembelajaran penuh dengan modul digital yang telah diatur ritmenya. Guru dipaksa mengikuti alur yang didesain perangkat, bukan alur yang tumbuh dari dinamika kelas. Giroux menyebutkan sebagai deskilling, yakni kemampuan guru yang kian terpinggirkan karena digantikan sistem.

Kapur, dengan segala kekurangannya menjaga agar ruang kendali itu tetap berada di tangan guru.

Hari guru dan kebijaksanaan yang terlupakan

Di setiap momen Hari Guru, kita sibuk merayakannya dengan bunga, parchel, atau kado-kado lainnya. tetapi, seringkali kita lupa memperjuangkan sesuatu yang jauh lebih penting yakni kebijaksanaan pedagogis. Kita menginginkan pembelajaran modern, tetapi sering lupa bertanya apakah modernitas itu membantu atau justru menyesakkan.

Fenomena negara maju yang kembali ke buku cetak menginginkan kita bahwa keheningan, kesabaran, dan konsentrasi adalah sumber daya yang semakin langka. Kapur menyediakan ketiganya. Ia tidak menyilaukan, tidak merangsang berlebihan, dan tidak memaksa perhatian siswa terseret tanpa kendali.

Dalam konteks ini, membangun kesadaran kritis sangat relevan. Bahwa pendidikan bukan sekedar mengikuti arus teknologi. Murid perlu ruang untuk meragukan, merenung, dan membangun makna dan ruang semacam itu tidak tumbuh dari layar yang serba cepat.

Kapur mungkin tidaklah spektakuler. Tapi, justru kesederhanaannya memungkinkan murid kembali pikirannya. Guru tidak bersaing dengan notifikasi, tidak berlomba dengan animasi, tidak membagi fokus dengan cahaya layar. Yang ada hanyalah guru, papan, dan gagasan yang tumbuh perlahan.

Pada akhirnya, kapur mungkin bukan pemenang dari kecanggihan, tetapi pemenang dari sisi kemanusiaan. Ia mengingatkan kita bahwa belajar tidak harus belajar tergesa-gesa, tidak harus selalu digital, dan tidak harus selalu mengikuti selera pasar.

Di Hari Guru, penghormataan dan perayaan terbesar bukanlah memberi hadiah, melainkan memberi ruang bagi guru untuk kembali mengajar dengan nalarnya. Dan, terkadang yang mereka butuhkan hanyalah sebongkah kapur yang sederhana yang ternyata, diam-diam, sedang mengalahkan teknologi Eropa.

Comment