Prabowo Ungkap Potensi Sawit Jadi Solusi Energi, Di Tengah Bencana dan Krisis Ekologis Sumatra

Screenshot

Respublica, Jakarta — Presiden Prabowo Subianto menegaskan bahwa Indonesia merupakan negara yang dikaruniai kelapa sawit dan menyebut komoditas tersebut memiliki potensi besar sebagai sumber energi alternatif di tengah ketidakpastian geopolitik global.

Pernyataan itu disampaikan dalam Puncak Peringatan HUT ke-61 Partai Golkar di Istora Senayan, Jakarta, Jumat (5/12/2025).

ads

“Kita diberi karunia oleh yang maha kuasa, kita punya Kelapa sawit, kelapa sawit, bisa jadi BBM, bisa jadi solar, bisa jadi bensin juga. Kita punya teknologinya,” ujar Prabowo, seraya menekankan bahwa ketergantungan pada impor BBM dapat menjadi risiko besar apabila terjadi gangguan rantai pasok internasional.

Ia menambahkan bahwa konflik global, termasuk di kawasan Timur Tengah dan Eropa, dapat menghambat distribusi energi di masa mendatang.

Sementara itu, di tengah pembahasan terkait bencana ekologis yang melanda sejumlah wilayah di Sumatra akhir November lalu, berbagai aktivis lingkungan, ahli, dan organisasi masyarakat sipil menyoroti kondisi ekosistem hutan dan perubahan penggunaan lahan.

Mereka menilai bahwa alih fungsi hutan, termasuk untuk perkebunan, menjadi salah satu faktor yang turut memperburuk kerentanan kawasan tersebut.

Greenpeace Indonesia menyebut sejumlah daerah aliran sungai (DAS) di Sumatra telah mengalami penurunan daya serap air akibat hilangnya tutupan hutan alam.

Organisasi tersebut menyampaikan bahwa perubahan bentang lahan membuat beberapa wilayah lebih rentan terhadap banjir bandang dan longsor ketika cuaca ekstrem terjadi.

Direktur Kelompok Studi Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM) Rocky Pasaribu  melalui keterangan tertulis, Ahad, 30 Oktober 2025.

Menurut dia, banyak aktivis lingkungan menegaskan bahwa kejadian ini bukanlah bencana alam murni, melainkan bencana ekologis akibat aktivitas manusia. Dugaan itu semakin kuat karena di wilayah-wilayah terdampak, terutama Tapanuli Tengah dan Tapanuli Selatan, terlihat banyak gelondongan kayu besar terseret banjir.

“Pemandangan ini menguatkan kesimpulan bahwa kerusakan hutan di hulu DAS telah mencapai tingkat yang mengkhawatirkan,” ujarnya.

Sejalan itu, KSPPM melakukan analisis perubahan tutupan lahan di Tapanuli Selatan dan Tapanuli Tengah sejak 1990 hingga 2024 menggunakan platform mapbiomas.org. Hasilnya menunjukkan penurunan tutupan hutan alam yang sangat signifikan di Tapanuli Selatan. Dalam lebih dari tiga dekade wilayah ini kehilangan sekitar 46.640 hektare hutan alam.

“Kehilangan  terbesar terjadi pada periode 1990–2000, yakni 26.223 hektare, dan berlanjut pada 2000–2010 dengan kehilangan 10.672 hektare,” ujar Rocky.

SementaraKetua Dewan Daerah Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Aceh Muhammad Nur menyebut banjir dan longsor yang melanda Aceh, Sumatra Utara (Sumut), dan Sumatra Barat (Sumbar) bukan semata disebabkan faktor alam.

Menurutnya, bencana tersebut merupakan konsekuensi panjang dari eksploitasi hutan yang terjadi sejak masa pemerintahan Presiden Soeharto.

Ia menjelaskan, praktik perusakan hutan di Pulau Sumatra berlangsung dalam waktu lama dan melibatkan banyak pihak. Mulai dari pemberian Hak Pengusahaan Hutan (HPH), pembukaan Hutan Tanaman Industri (HTI), alih fungsi hutan menjadi perkebunan sawit, praktik tambang ilegal, perluasan permukiman hingga pembangunan jalan yang membuka kawasan hutan.

“Jadi semua itu terjadi kolektif kan. Kesalahan kolektif jadinya yang nambang ilegal dibiarkan, yang buka sawit saat sudah panen baru jadi kasus. Harusnya kan sebelum dibuka menjadi kasus. HTI sudah menebang kayu sebegitu luas. Jadi, itu bagian dari praktik yang bisa dilihat secara fakta,” ujarnya

Comment