Makassar, Respublica—- Anggota Komisi B DPRD Kota Makassar, Hartono, mendesak Pemerintah Kota (Pemkot) Makassar untuk lebih serius dalam mengelola dan mengamankan aset tanah yang dimiliki, menyusul maraknya sengketa lahan antara pemerintah dan warga.
Hal ini ditegaskan oleh Hartono karena berkaca pada pengalaman di Kelurahan Manggala, Kecamatan Manggala. Di mana aset berupa tanah yang dimiliki oleh Pemkot Makassar seluas 50 hektare sekarang diklaim oleh oknum, bahkan telah dimenangkan oleh pihak penggugat di pengadilan.
“Tanah itu, sebagian itu miliknya pemerintah Kota Mangasar, sebagian miliknya Pemprov. Lokasi itu dengan rumah yang sudah begitu padat, yang di luar itu ada juga tanahnya pemerintah kota, itu kan sempat digugat. Dan itu dimenangkan oleh penggugat. Person,” ujarnya, Selasa (13/5/2025).
Menurut informasi yang dihimpun oleh Hartono, lahan tersebut dulunya disebut-sebut diberikan hak pakai kepada sejumlah warga. Namun karena dibiarkan dalam jangka waktu lama tanpa kejelasan status hukum, tanah itu kemudian diklaim sebagai milik pribadi oleh oknum tertentu.
“Konon katanya ya mungkin, saya juga tidak tahu jelas seperti apa sejarahnya itu tanah. Cuma informasi itu konon dulu tanah itu diberikan hak pakai kepada sejumlah warga. Nah begitu lama ditinggali, kemudian diklaim,” tambah legislator dari Fraksi PKS itu.
Hartono menilai, persoalan seperti ini mencerminkan lemahnya pengelolaan aset oleh Pemkot Makassar. Banyak aset milik pemerintah yang hanya dibatasi dengan patok atau pagar tanpa disertai dokumen legalitas yang kuat.
Ia pun menegaskan bahwa dalam kapasitasnya sebagai Ketua Panitia Khusus (Pansus) Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ) Wali Kota Makassar, dirinya akan mendorong agar persoalan aset ini menjadi salah satu rekomendasi utama dalam laporan akhir pansus.
“Saya minta nanti bagian dari pertanggung jawaban Pemerintah kota, jelaskan saja itu, bagaimana sebenarnya pengelolaan aset oleh Dinas Pertanahan. Ini kan kesana kemarin di mana-mana. Banyak sekali aset kota yang dipersoalkan juga oleh warga,” ujarnya.
Hartono juga menyoroti kecenderungan penyelesaian konflik lahan hanya lewat mediasi yang tidak diikuti dengan penertiban dokumen hukum. Menurutnya, mediasi hanya menyelesaikan persoalan untuk sementara waktu.
“Ini kan saya lihat data-datanya. Banyak sekali yang dianggap sudah dimediasi, kemudian selesai. Padahal apa yang selesai dengan mediasi? Dia hanya bisa selesai kalau dibikinkan legalitas. Jangan cuma, oh sudah aman. Sekarang aman. Besok cucunya menggugat, rusak lagi,” ujarnya.
Sebagai solusi, Hartono meminta Pemkot Makassar melalui Dinas Pertanahan untuk segera melakukan pendataan menyeluruh dan mensertifikatkan seluruh aset tanah yang dimiliki, terutama yang tidak berada di jalur jalan raya.
“Jangan cuma sampai pada batas pasang patok, dikasih pagar, dan kalau sudah disertifikatkan, segera kuasailah itu lahan. Koordinasi dengan BPN, kuasailah itu lahan. Karena ke depan kalau dibiarkan akan semakin banyak aset kota yang beralih kepemilikan,” ujarnya.
Hartono khawatir, jika tak segera ditindaklanjuti maka Pemkot Makassar bisa mengalami kerugian, akibat banyaknya aset yang diklaim oleh pihak lain. Tak hanya Pemkot yang rugi, namun juga masyarakat sebagai penerim manfaat dari aset tersebut mengalami kerugian.
“Bayangkan kalau aset itu sudah dibanguni misalnya sekolah, puskesmas, dan kemudian diklaim dan dimenangkan oleh penggugat, rugi pemerintah kota pada perhitungan asetnya, dan rugi masyarakat sebagai penerima manfaat dari bangunan yang dimiliki oleh pemerintah,” ujarnya.
Hartono berharap agar rekomendasi Pansus LKPJ nanti benar-benar mendorong langkah konkret dalam pengamanan aset, demi menghindari potensi kerugian besar di masa mendatang dan menjaga pelayanan publik yang bergantung pada fasilitas milik pemerintah.
“Saya berharap di Pantus LKPJ ini, salah satu yang direkomendasikan itu adalah bagaimana seluruh aset pemerintah kota berdasarkan data-data yang dilaporkan dalam LKPJ itu tidak lanjut sampai pada pensertifikasi seluruh aset pemerintah kota dalam bentuk bidang tanah itu,” tutupnya.
Comment