Stempel Demokrasi atas Oligarki: Krisis Pendidikan Politik

Randiawan, M.Pd Dosen Pendidikan Kewarganegaraan FIS-H UNM

Randiawan, M.Pd (Dosen Pendidikan Kewarganegaraan FIS-H UNM)

Demokrasi stempel oligarki menjadi peringatan keras bahwa sistem politik tidak berjalan pada rel yang semestinya, prinsip-prinsip demokrasi secara substansi dikesampingkan. Pertaruhan kita hari ini mempertahankan demokrasi sebagai sistem yang dianggap ideal, jika tidak demikian maka demokrasi akan menjadi stempel bagi kelompok oligarki.

Tanpa kita sadari negara demokrasi tetap bisa didominasi oleh minoritas super kaya yang dapat menentukan arah kebijakan pemerintah. Bagaimana tidak, dalam pesta demokrasi para kandidat didanai oleh ‘cukong-cukong’ sehingga ada istilah 9 (Sembilan) naga, akhir-akhir ini ada pesaing baru yang disebut 9 (Sembilan) haji notabene ‘katanya’ mereka seringkali menjadi penyuplai dana bagi kandidat dalam kontestasi politik. Istilah-istilah ini lahir dari fenomena dan bentuk nyata dari oligarki, belum lagi yang terlibat dalam pemerintahan secara langsung.

Tidak salah jika penulis berasumsi bahwa demokrasi menjadi panggung sandiwara, sementara belakang panggung diatur oleh segelintir orang dengan kekuatan modal dan jaringan kekuasaan. Kedaulatan rakyat terkikis, partisipasi publik dibatasi, dan kebijakan publik dijauhkan dari kepentingan masyarakat bersama. Kira-kira ini hanya asumsi pribadi penulis atau bahkan bisa saja menjadi asumsi oleh banyak orang, semoga saja tidak benar.

Argumentasi di atas memberikan gambaran demokrasi secara substansi telah dikooptasi. Aktivitas demokrasi seperti pemilu menjadi lapangan pertarungan modal dan jaringan kekuasaan. Partai politik tidak lagi menjadi saluran aspirasi rakyat, melainkan kendaraan para elit untuk mempertahankan posisi, warisan, dan kepentingan keluarga atau kelompoknya. Demokrasi berhenti menjadi ruang partisipasi rakyat, ruang bagi keadilan, kesetaraan, dan kesejahteraan justru berubah menjadi stempel kekuasaan oligarki.

Pasca Reformasi di Tahun 1998 membuka banyak ruang kebebasan politik. Namun kita menyaksikan bagaimana ruang-ruang tersebut secara perlahan dimonopoli oleh aktor-aktor yang sama seperti pengusaha, elit politik, dan dinasti kekuasaan. Pemilu tahun lalu memberikan kita gambaran calon presiden, calon kepala daerah atau calon anggota legislatif lahir bukan dari proses kaderisasi yang sehat, melainkan dari kekuatan finansial dan hubungan patronase.

Bahkan pencalonan lebih ditentukan oleh berapa besar “mahar politik” yang mampu dibayarkan, bukan seberapa besar kapasitas dan integritasnya. Demokrasi tinggal menjadi ritual legitimasi kekuasaan, sebuah stempel untuk menjustifikasi keberlangsungan struktur oligarki yang sebenarnya sangat berseberangan dengan nilai demokratis secara substansi.

Tulisan ini sebagai refleksi untuk menjadi bagian dari pendidikan politik dilakukan secara terus menerus dan berkesinambungan bukan hanya pada saat pemilu. Realitas hari ini membutuhkan pandangan dasar secara nyata rusaknya demokrasi dikarenakan aktivitas politik yang seperti politik uang dan kaderisasi partai yang tidak sehat seolah-olah di normalisasi dalam sirkulasi pergantian periode dalam pemilu.

Dilema antara lemahnya pendidikan politik dan kebiasaan aktor politik yang mempertontonkan kebiasaan buruk dalam pemilu sehingga masyarakat secara tidak sadar di ajarkan cara berdemokrasi yang tidak sehat. Penulis menyoroti demokrasi kian di manipulasi oleh para aktor-aktor politik dengan dalih ‘memperjuangkan kepentingan rakyat’, merupakan bagian dari rakyat seperti yang tergambar dari Istilah Abraham Lincoln: dari, oleh, dan untuk rakyat.

Tetapi yang sering kali mengesampingkan prinsip demokrasi secara ideal adalah mereka para aktor politik itu sendiri. Dari statement di atas menimbulkan pertanyaan siapakah yang membutukan pendidikan politik apakah masyarakat sebagai pemilih atau aktor politik sebagai orang yang dipilih? Rasa-rasanya yang membutuhkan pendidikan politik adalah para aktor politik. Alasan sangat sederhana bahwa tidak berjalan dengan baik pendidikan politik yang dilakukan oleh partai politik dan seringkali aktor politik mempraktikkan aktivitas politik yang mencederai nilai demokrasi.

Bagaimana mungkin partai politik memberikan pendidikan politik bagi masyarakat (pemilih) sementara pendidikan politik bagi kader-kadernya hanya sekedar formalitas atau bahkan tidak dilakukan sama sekali.
Dominasi oligarki bukanlah keniscayaan yang tak bisa dilawan. Salah satu jalan yang paling mungkin diambil untuk membendung pengaruhnya melalui pendidikan politik yang baik, kritis, dan transformatif.

Tulisan ini menawarkan bagaimana jika pendidikan politik diserahkan kepada lembaga-lembaga/komunitas independen. Di luar struktur formal negara dan partai politik, lembaga independen menjadi aktor penggerak yang berupaya membangun pendidikan politik dari bawah (bottom-up), melalui pendekatan yang lebih partisipatif, kontekstual, dan kritis. Pendidikan politik yang semacam ini kiranya lebih berdampak dari pada pendidikan politik yang dilakukan oleh partai politik.

Pendidikan politik ini perlu di bangun oleh keterlibatan banyak pihak, aktor politik mesti mengikuti pendidikan politik secara berkesinambungan dari lembaga/komunitas independen yang fokus dalam bidang politik dan demokrasi. Misalnya, Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (PERLUDEM), Komite Pemantau Legislatif (KOPEL), Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), dll. Jika memungkinkan mengikuti pendidikan politik yang dilakukan lembaga/komunitas independen menjadi syarat administratif dalam mengikuti kontestasi politik.

Pendidikan politik saat ini hanya dipahami sebagai upaya meningkatkan pengetahuan warga negara terhadap sistem pemerintahan, pemilu, dan hak-hak politik. Pandangan semacam ini sangat prosedural dan elektoral. Konteks demokrasi yang semakin kompleks dan rentan terhadap degradasi moral kekuasaan, pendidikan politik mesti dimaknai secara mendalam sebagai proses pembentukan moral politik, integritas, dan karakter politik, terutama bagi aktor politik.

Jika pemaknaan ini dipahami dan dijalankan dengan baik oleh aktor politik secara tidak langsung akan berdampak dalam membangun moral politik. Sehingga menghidupkan kembali kesadaran akan tanggung jawab kekuasaan. Seorang aktor politik (politisi) harus menyadari bahwa setiap keputusan politik berdampak langsung pada kehidupan masyarakat, terutama kelompok paling rentan yang termarjinalisasi.

Setidaknya ini akan menjadi salah satu upaya untuk mengurangi pengaruh oligarki dalam aktivitas politik. Walaupun terdengar sangat naif dengan melihat kondisi saat ini tapi bukan berarti tidak mungkin. Pendidikan politik dapat kita maknai sebagai proses memanusiakan aktor politik (politisi) di tengah krisis kepercayaan publik terhadap lembaga-lembaga politik, hanya aktor politik yang bermutu dan berkualitas secara etislah demokrasi bisa diselamatkan dari pengaruh oligarki dan dijalankan sebagaimana mestinya sesuai dengan tujuan demokrasi yang sebenarnya.

Pendidikan politik yang berkesinambungan dapat menjadi tembok terakhir dalam mempertahankan demokrasi di Indonesia dari pengaruh oligarki. Ia bukan sekadar aktivitas intelektual, tetapi juga sebagai misi kebangsaan untuk menyelamatkan republik dari penyimpangan kekuasaan yang sistemik.

Comment