Tom Lembong, Polemik Mens Rea, dan Policy Forensics

M. Yunasri Ridhoh (Dosen Pendidikan Kewarganegaraan FEB UNM)

Di sebuah kota kecil zaman Romawi kuno, seorang lelaki tua tertangkap mencuri kayu bakar. Ia melakukannya bukan untuk memperkaya diri, melainkan untuk menghangatkan bayi perempuannya yang baru lahir. Saat itu sedang musim dingin.

Ketika diadili, hakim memutuskan untuk tidak menjatuhkan hukuman. Kisah ini mengenalkan kita prinsip mens rea—”actus non facit reum nisi mens sit rea“—sebuah tindakan tidak dapat dianggap sebagai kejahatan, kecuali disertai niat jahat.

Pada abad ke-12, Henry de Bracton, seorang hakim Inggris, menggambarkan prinsip ini melalui dua kejadian serupa: seorang menebas gandum karena dendam, sementara yang lain melakukannya karena tak sengaja terjatuh dan sabitnya menebas batang gandum.

Yang satu dihukum, yang kedua dibebaskan. Perbuatannya serupa, namun niatnya berbeda. Di sinilah hukum berfungsi sebagai penegak keadilan, bukan sekadar penghukum.

Polemik mens rea

Prinsip mens rea kembali menyeruak, menjalar ke mana-mana dalam percakapan publik dan pemberitaan media massa. Semuanya diawali oleh kasus Thomas Trikasih Lembong—mantan Kepala BKPM dan Menteri Perdagangan pada era Presiden Joko Widodo—yang divonis 4,5 tahun penjara terkait kebijakan impor gula kristal mentah (GKM) tahun 2015–2016.

Vonis itu dijatuhkan meski hakim mengakui tidak ada keuntungan pribadi yang diterima Lembong, dan tidak ada permufakatan jahat dengan pihak yang diuntungkan oleh kebijakan tersebut. Namun, karena negara dianggap dirugikan sebesar hampir Rp195 miliar, maka ia diputus bersalah.

Di titik inilah perdebatan bermula: jika tidak ada keuntungan pribadi, tidak ada permufakatan, dan tidak terbukti adanya niat jahat, apakah kebijakan yang menyebabkan kerugian negara secara otomatis menjadi tindak pidana korupsi? Prinsip mens rea pun diuji. Sebab, bisakah kebijakan publik yang dilahirkan dari kalkulasi ekonomi dan proses administrasi dinilai dengan ukuran hukum pidana?

Majelis hakim menyebut bahwa Lembong menyetujui impor gula oleh perusahaan swasta, PT Angels Products, padahal aturan saat itu menyatakan impor hanya boleh dilakukan oleh BUMN. Selain itu, dokumen rapat koordinasi menyatakan stok gula nasional cukup, sehingga impor tidak diperlukan. Maka, dua unsur dianggap terpenuhi: adanya perbuatan melawan hukum dan kerugian negara.

Namun, pertanyaan pentingnya: di mana letak mens rea-nya? Apakah Lembong benar-benar berniat jahat, atau ia sekadar menjalankan keputusan dalam sistem birokrasi yang hierarkis? Dalam sistem pemerintahan, kebijakan bukan hasil keputusan satu orang semata, tetapi bagian dari proses kolektif yang kompleks.

Lebih jauh, kebijakan publik tidak bisa disamakan begitu saja dengan tindakan pidana konvensional. Ia lahir dari ruang yang penuh ketidakpastian, desakan waktu, keterbatasan data, dan sering kali tarik-menarik kepentingan.

Dalam situasi itu, menilai niat menjadi amat penting. Menambah kuota impor belum tentu merupakan tindakan korup—yang menjadi penting adalah apakah keputusan itu dibuat untuk kepentingan publik, atau untuk memperkaya diri dan kelompok tertentu.

Situasi seperti ini menuntut kejernihan nalar publik. Proses hukum tetap harus berjalan, namun dengan kehati-hatian dan transparansi. Negara tidak boleh tergesa-gesa menyeret kebijakan teknokratik ke ranah kriminal tanpa bukti yang meyakinkan mengenai niat jahat. Jika tidak, pengambil kebijakan akan bekerja dalam ketakutan, dan ruang inovasi dan inisiatif akan hilang.

Memang benar bahwa kebijakan impor, khususnya pangan, kerap bersinggungan dengan banyak kepentingan: petani, pedagang, konsumen, pengusaha hingga pemegang izin. Potensi penyimpangan tentu ada.

Tapi bukan berarti semua kebijakan yang merugikan otomatis merupakan kejahatan. Tanpa pembuktian niat jahat, pendekatan hukum seperti ini bisa menjadi preseden buruk dan mengancam keberanian birokrasi.

Policy forensics

Kasus Lembong semestinya mendorong kita untuk memperkuat kerangka evaluasi terhadap kebijakan publik. Diperlukan mekanisme policy forensics—yakni kajian berbasis bukti dan prosedur—untuk menilai bagaimana keputusan diambil, apakah prosedur diikuti, dan siapa yang bertanggung jawab. Transparansi adalah benteng terhadap kecurigaan dan sekaligus pelindung bagi pengambil kebijakan yang jujur.

Policy forensics adalah pendekatan untuk membedah proses pembuatan kebijakan secara menyeluruh—dari awal pengambilan keputusan, siapa yang terlibat, hingga apakah prosedurnya sesuai aturan. Tujuannya bukan mencari kesalahan, tapi memastikan kebijakan dibuat secara adil, transparan, dan bertanggung jawab.

Seperti dalam kasus Lembong, pendekatan ini penting untuk menjawab pertanyaan publik: apakah kebijakan yang dipermasalahkan benar-benar menyalahi aturan atau justru bagian dari kerja profesional yang dilakukan dengan itikad baik.

Jika semua keputusan berisiko dipidana, maka pejabat akan memilih diam ketimbang berbuat. Hasilnya? Stagnasi. Ketakutan, bukan inovasi, yang akan menguasai birokrasi. Inilah mengapa policy forensics penting: ia melindungi pejabat yang jujur sekaligus memberi dasar kuat untuk mengoreksi penyalahgunaan wewenang.

Ini penting untuk membantu membedakan antara kesalahan administratif dan tindakan kriminal.Hukum harus dijaga agar tetap rasional dan adil. Ia tidak boleh menjadi alat untuk memburu kesalahan semata, tetapi harus memahami konteks, tujuan dan niat.

Prinsip mens rea mengajarkan bahwa tidak semua kesalahan adalah kejahatan. Hukum yang berkeadilan adalah hukum yang tidak hanya menghukum akibat, tetapi juga memahami maksud.

Comment