Merayakan Kebudayaan di Tengah Kepemimpinan yang Goyah

Muhammad Suryadi R

(Penulis Buku Pengetahuan Sebagai Strategi, Mahasiswa Pascasarjana IAIN Parepare)

ads

Oswald Spengler, filsuf berkebangsaan Jerman, pernah bertitah bahwa hidup matinya suatu masyarakat tergantung pada kebudayaannya. Jika ingin melihat masyarakat itu mati, berangus kebudayaannya. Dalam sejarah peradaban dunia, penaklukan masyarakat selama berabad-abad pernah terjadi.

Penaklukan itu hadir dalam bentuk peperangan dan imperialisme. Di Indonesia, peperangan dan imperialisme itu berlangsung lama. Literatur Belanda mengklaim dan buku-buku sejarah resmi -yang terdistribusi ke sekolah-sekolah- menyebutkan bahwa proses penaklukan itu membutuhkan waktu 350 tahun.

Tetapi, narasi itu dibantah. Getrudes Johannes Resink membongkar kesalahan klaim itu. Pakar hukum internasional berdarah Belanda-Indonesia ini mendasari argumennya berdasarkan hasil risetnya bahwa sepanjang tahun 1900 beberapa kerajaan lokal tidak pernah terjajah.

Penelitiannya terhadap dokumen-dokumen hukum dan surat perjanjian milik kerajaan-kerajaan Nusantara menyimpulkan tidak satupun kerajaan di Nusantara kala itu benar-benar dijajah selama 350 tahun. Belanda tidak menjajah Indonesia selama 350 tahun penuh.

Imperialisme di masa lalu merampas kekayaan, wilayah, dan keyakinan/agama, semboyan imperialisme kuno (baca: gold, glory, gospel). Niaga hanya dalih, yang terjadi sebenarnya adalah menjarah dan ekspansi kebudayaan. Mula-mula, kompeni menerapkan sistem monopoli melalui VOC lalu disusul sistem tanam paksa di tahun 1830-1870.

Para kompeni berhasil memaksa raja-raja menempuh jalan peperangan. Peperangan sengaja dilakukan para penjajah sebagai bagian dari strategi menanamkan kebudayaan. Penjajah tak segan-segan berperang dan membunuh. Bagi kompeni, strategi itu cara cepat menguasai wilayah lalu menanamkan kebudayaan di wilayah jajahan.

Tetapi, di awal-awal abad ke-20, penjajah mengubah model ekspansinya. Politik etis yang dirumuskan Van Deventer mengubah konstalasi politik di wilayah Nusantara. Edukasi, irigasi dan transmigrasi kemudian  menjadi program strategis. Ratu Wilhelmina mengatakan kebijakan ini sebagai balas budi kepada rakyat Indonesia.

Meski begitu, cara ini sebetulnya hanya kamuflase. Penjajah tidak benar-benar membalas budi. Dalam catatan Pramoedya Ananta Toer dalam bukunya Jalan Raya Pos, Jalan Daendels, mengatakan bahwa setelah penerapan politik etis, para kolonialisme tetap melanjutkan penjajahan fisik dengan mengerjakan paksa penduduk pribumi dengan membangun jalan 1000 km, dari Anyer sampai Panarukan.

Catatan sejarah Peter Carey pun menjelaskan hal serupa. Peralihan bentuk kekuasaan Belanda dari VOC ke Hindia-Belanda tidak sama sekali menghapus penjajahan fisik. Dalam bukunya Asal Usul Perang Jawa menjelaskan Perang Jawa yang dipimpin Pangeran Diponegoro berkobar akibat lanjutan proyek kerja rodi.

Pemerintah Hindia-Belanda tidak benar-benar mengubah cara ekspansinya secara total. Yang terjadi justru penjajahan fisik dan penjajahan pemikiran disandingkan. Kebijakan di sektor pendidikan, pengairan dan perpindahan penduduk adalah cara menjajah pemikiran.

Di sektor pendidikan misalnya, Gubernur Van Heutz melakukan perombakan. Sistem pendidikan kolonial diterapkan di sekolah-sekolah semata-mata untuk kepentingan Belanda. Sekolah didirikan bukan untuk mencerdaskan, tetapi dengan tujuan mencetak pekerja dan pegawai-pegawai yang akan bekerja untuk pemerintah Hindia-Belanda itupun untuk kepentingan administrasi belaka.

Sekolah-sekolah didirikan hanya ditujukan untuk golongan priyayi dan bangsawan. Pasca kebijakan politik etis, sekolah-sekolah telah dibuka untuk semua kalangan. Politik etis sekaligus menjadi cikal bakal kebangkitan golongan terpelajar. Sekolah-sekolah yang didirikan Belanda menjadi buah simalakama.

Lulusan sekolah-sekolah ciptaannya sendiri berbalik melakukan pembangkangan. Kesadaran tentang nasionalisme bersemai di kalangan pelajar-pelajar Indonesia. Pemikiran dan perasaan tentang persatuan muncul. Era ini kemudian nantinya yang akan memulai era pergerakan nasional yang ditandai dengan munculnya organisasi-organisasi dan perserikatan-perserikatan yang diisi oleh kalangan-kalangan terpelajar.

Jejak-jejak kebudayaan

Imperialisme tidak benar-benar mematikan kebudayaan. Strategi peperangan yang dirancang para kompeni hanya bisa membunuh banyak orang, tapi tidak mematikan kebudayaannya. Buktinya, masih banyak komunitas masyarakat memelihara kebudayaannya sampai hari ini. Dan kita bisa sama-sama menyaksikan bagaimana Tari Pacu Jalur menggoncang dunia.

Tradisi yang berasal dari Kuantan Singingi Riau ini disorot oleh mata dari berbagai penjuru dunia. Dalam sejarahnya, tari pacu jalur ini sudah dipraktekkan sejak abad ke-17 oleh masyarakat Kuantan Singingi. Pemerintah Belanda di masa kolonialisme bahkan menjadikan tari pacu jalur sebagai salah satu acara yang harus dilaksanakan pada peringatan hari Kemerdekaan Belanda.

Di Jawa, perayaan atas kebudayaan masih sangat kuat. Salah satunya yaitu pertunjukan Wayang. Bagi masyarakat Jawa,  pewayangan tak sebatas pertunjukan kesenian, tetapi sebagai sarana spiritualitas yang menghubungkan manusia dengan roh dewa. Di zaman kerajaan Hindu-Buddha sekitar abad ke-9, pertunjukan ini telah dilakukan.

Pertunjukan wayang digunakan sebagai medium menyampaikan kisah-kisah Mahabharata, Ramayana dan tokoh-tokoh lainnya. Selain itu, berbagai karakter dan sifat manusia ditampilkan. Pertunjukan ini terutama menyampaikan pesan moral tentang pentingnya keadilan, kejujuran, kebaikan, kasih sayang, keberanian, kesetiaan, dan pengorbanan.

Sementara, di Bumi Sulawesi, berbagai komunitas masyarakat juga melakukan hal serupa, salah satunya berasal dari Tanah Toraja. Tradisi Rambu Solo’ masih sangat kental di sana. Rambu Solo’ itu sendiri adalah ritual pemakaman jenazah yang dilakukan warga Toraja. Rambu Solo’ adalah bentuk penghormatan terakhir kepada orang yang telah meninggal. Upacara ini bertujuan mengantar roh jenazah menuju alam baka.

Dalam kepercayaan masyarakat Toraja, orang yang meninggal tanpa ritual Rambu Solo’ belum dianggap meninggal, orang itu hanya sakit, sehingga harus diberi makan dan minum. Ritus ini adalah kepercayaan Aluk Todolo (nenek moyang/leluhur) orang Toraja. Diperkirakan sudah dilakukan sejak abad kesembilan.

Kebudayaan dan tradisi masyarakat yang masih lestari menandakan kuatnya  kebudayaan itu mengakar. Masyarakat dan kebudayaan justru tidak bisa dipisahkan. Kebudayaan bahkan menjadi benteng terakhir masyarakat dari gelombang modernisme. Chris Jenks dalam bukunya Konsep Budaya menjelaskan bahwa kebudayaan menjadi kekuatan tanding untuk melawan kecenderungan destruktif dari industrialisasi dan media massa.

Hal ini berarti, kebudayaan perlu diajarkan kembali, terutama untuk mendekatkan kembali masyarakat kepada akarnya, yakni kebudayaan. Kebudayaan tidak cukup hanya diperingati sebagai semarak dan selebrasi seperti ditetapkannya Hari Kebudayaan oleh Menteri Kebudayaan yang jatuh pada tanggal 17 Oktober.

Tiga tahapan kebudayaan

Penetapan 17 Oktober sebagai Hari Kebudayaan belakangan memicu polemik. Penetapan ini dinilai politis. Sebab, tanggal 17 Oktober bertepatan dengan hari lahir Presiden Prabowo Subianto. Maka, menyoal penetapan hari kebudayaan sebenarnya cukup beralasan. Namun, langkah Menteri Kebudayaan sebenarnya juga patut diapresiasi.

Langkah pemerintah menetapkan hari kebudayaan perlu disambut baik. Bahwa kebudayaan telah mendapatkan tempat meski dalam pandangan penulis langkah ini sangat elitis dan belum menyentuh akar permasalahan. Permasalahan kebudayaan kita bukan tentang validasi, tetapi soal apresiasi dan porsi.

Tetapi, Cornelis Antonie van Peursen mengatakan bahwa munculnya masalah kebudayaan lebih disebabkan karena terjadinya pergeseran. Filsuf kebudayaan asal Belanda ini menjelaskan tiga tahapan perkembangan kebudayaan dalam bukunya yang berjudul Strategi Kebudayaan. Awalnya, kebudayaan sangat mitis. Tahap ini disebut fase mitis.

Masyarakat pada fase ini meyakini kehidupan dunia ini dikendalikan oleh satu entitas yang tidak berasal dari dunia manusia, melainkan dari dunia mistik/transendental. Bencana dan kesejahteraan, pergantian waktu/hari tidak lain berasal dari kehendak Sang Mitis itu. Karenanya, menolak bencana dan meminta kesejahteraan dilakukan dengan cara sesembahan dan ritual-ritual tertentu.

Di fase ontologis, masyarakat tidak lagi sangat mitis. Fase ini adalah tahapan selanjutnya dalam perkembangan kebudayaan. Masyarakat pada tahapan ini mulai mempertanyakan hakikat keberadaannya. Manusia menelusuri asal muasal kediriannya berdasarkan rasio murni. Manusia menalar hakikat alam semesta (arche) dengan argumen yang disimpulkan berdasarkan logika.

Kesimpulannya adalah individu terikat dengan individu lain. Mereka menyadari hakikatnya sebagai makhluk sosial. Keterikatannya kemudian melahirkan kebiasaan-kebiasaan, norma, nilai-nilai, kepercayaan/agama, dan kesepakatan-kesepatan yang dijunjung tinggi  yang kemudian disebut sebagai kebudayaan.

Tahapan terakhir perkembangan kebudayaan menurut Van Veursen adalah fase fungsionil. Setelah mempertanyakan hakikat ontologis keberadaannya, masyarakat lalu menjadikan kebudayaan sebagai kebiasaan yang berfungsi sebagai properti kehidupan. Kebudayaan tak lagi memiliki sakralitas.

Nilai-nilai mitis kebudayaan perlahan tersingkir terutama setelah masyarakat mulai mengenal ilmu kedokteran dan teknologi. Arus modernisme pelan-pelan mendepak kebudayaan sebagai nilai tradisionalitas masyarakat. Modernisme bahkan menjelma sebagai kebudayaan baru yang disebut sebagai budaya populer. Akhirnya, kebudayaan menjadilah seperti sekarang ini.

Kebudayaan di persimpang jalan

Fenomena pergeseran ini nyata. Kebudayaan berada di persimpang jalan. Karena itu, kebudayaan harus diajarkan kembali. Nilai-nilai dan hakikat kebudayaan harus disemai ke dalam alam kesadaran masyarakat terutama masyarakat modern hari ini. Sebab, selama ini kebudayaan kita hanya dianggap sebagai pertunjukan.

Maka tak heran apa yang kita sebut sebagai kebudayaan hanya berhenti pada selebrasi yang tidak menghadirkan nilai. Pertunjukan kebudayaan dalam gelaran festival kebudayaan, pertunjukan seni dan lain sebagainya sah-sah saja dan itu juga perlu. Namun, selebrasi kebudayaan memerlukan eksplorasi lebih dalam mengenai makna dan nilai-nilai.

Pertunjukan kebudayaan kita juga sangat kering. Kebudayaan kita dimaknai sebatas festival. Kebudayaan seperti ini adalah kebudayaan yang tak berbudaya. Apa yang ditampilkan dalam festival kebudayaan bukanlah kebudayaan, tetapi pagelaran biasa yang berkostum budaya. Kebudayaan yang sebenarnya ada pada pelaku kebudayaan sehari-hari yakni masyarakat itu sendiri. Tetapi, mereka jarang diapresiasi.

Bisa dibilang mereka justru dieksploitasi. Beberapa komunitas kebudayaan memiliki hutan dan tanah ulayatnya sendiri. Tanah dan hutan menurut keyakinan mereka adalah alam (macrokosmos) yang memberi mereka kehidupan. Alam bagi mereka juga adalah obat. Mereka bahkan tidak membutuhkan dokter medis untuk berobat.

Hutan dan tanah adalah bagian dari kebudayaan. Sebab, di sana tradisi dan aktivitas keseharian bahkan ritual dilakukan. Hal ini kita jumpai dalam tradisi masyarakat Kajang Sulawesi Selatan. Tetapi, deforestasi membuat mereka kehilangan hutan. Pembangunan menggusur mereka menjauh dari tempat tinggalnya.

Atas nama kemajuan, hutan dan tanah dibabat habis lalu dibuat pemukiman oleh perusahaan-perusahaan properti. Slavoj Zizek sebelumnya telah menjelaskan bahwa deforestasi tak lain adalah wujud kapitalisme itu sendiri yang melirik hutan dan tanah ulayat sebagai wilayah eksploitasi yang bisa mendatangkan surplus ekonomi berlipat-lipat.

Negara perlu memikirkan ini. Logika pembangunan harus diubah. Bahwa untuk membangun tak melulu harus mengorbankan tanah dan hutan. Pembangunan fisik hanyalah salah satu bentuk pembangunan. Kemajuan juga tak selalu berasal dari pembangunan gedung. Pemerintah sebenarnya harus berpikir membangun kembali fondasi kebudayaan kita yang telah mengalami pergeseran. Pendidikan bisa menjadi medium utama.

Pemangku kebijakan yang menangani masalah pendidikan perlu memasukkan kebudayaan sebagai peta jalan (road map). Selain itu, materi tentang kebudayaan perlu mendapatkan porsi jam pelajaran yang lebih banyak dari sebelumnya. Durasi pengajaran mata pelajaran ini harus setara dengan durasi materi lain seperti matematika, bahasa Indonesia, IPA-IPS, pendidikan agama, maupun pendidikan jasmani dan olahraga.

Syahdan. Kebudayaan adalah aset bangsa yang seharusnya dikelola secara serius seserius hilirisasi dan efisiensi. Kebudayaan bukan benda mati yang berasal dari warisan leluhur yang hidup beratus-ratus tahun lalu. Ia sebetulnya adalah alat navigasi bagi kepemimpinan bangsa saat ini.

Dalam situasi yang tak menentu, kepemimpinan bangsa ini harus menggunakan kebudayaan sebagai alat diplomasi dalam percaturan dunia. Indonesia dikenal sebagai negara dengan kebudayaan yang sangat beragam. Tak semua bangsa di dunia ini memiliki kebudayaan sekaya Indonesia. Itu berarti kekuatan kita adalah kebudayaan.

Hari Kebudayaan pada 17 Oktober akan menjadi momentum penting apakah bangsa ini akan membangun kebudayaannya atau kebudayaan akan bernasib seperti di era kepemimpinan bangsa yang lalu-lalu. Di tengah kepemimpinan yang sepertinya inkonsisten dan goyah, masyarakat menjadi terbelah.

Beberapa kebijakan-kebijakan yang tampaknya tergesa-gesa, membuat masyarakat resah. Kepercayaan mereka mulai luruh, barangkali tak bersisa. Yang tersisa hanya budaya. Satu-satunya kebanggan kita yang mendunia. Karena itu, jaga kebudayaan kita dengan cara yang kita miliki. Jangan lelah mencintainya. Demikianlah.

Comment