Kemerdekaan yang Tertunda di Ruang Pendidikan

Randiawan, S.Pd., M.Pd (Dosen Pendidikan Kewarganegaraan FIS-H UNM)

Upacara setiap 17 Agustus hanya sekadar menjadi ritus, tidak lebih dari sekadar pengingat luka masa lalu bahwa kita pernah di jajah. Hanya sekadar upacara yang kehilangan makna kemerdekaan. Kemerdekaan hanya sebatas ritus yang di wariskan dari generasi ke generasi. Maka, sebenarnya apa makna kemerdekaan itu?

Rasa-rasanya kita tidak pernah merayakan kemerdekaan. Kemerdekaan hanya ada dalam angan-angan, tidak benar-benar menjadi kenyataan dalam praktik berbangsa dan bernegara. Kutipan pidato yang pernah di sampaikan oleh Soekarno mengatakan bahwa “perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, tapi perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri”.

Sekitar 80 Tahun yang lalu Proklamasi di bacakan oleh Soekarno dengan penuh harapan dan penuh khikmat bahwa kemerdekaan itu benar-benar di peroleh. Sebelum 17 Agustus 1945 bangsa Indonesia memperjuangkan kemerdekaan, tetapi setelah itu kemerdekaan di pertahankan. Mempertahankan kemerdekaan dari orang-orang yang tidak pernah memaknai makna kemerdekaan itu sendiri.

Pesan dalam kutipan pidato tersebut sangat nyata dirasakan. Sesungguhnya kita sekadar merdeka dari jajahan secara fisik oleh kolonial, Tapi di jajah secara nyata oleh bangsa kita sendiri. Sumber Daya Alam di eksploitasi, Penggusuran sering terjadi, Keadilan Sosial masih dalam imajinasi, Kemiskinan ekstrim yang tinggi hingga rendahnya kualitas pendidikan.

Pendidikan adalah kunci kemajuan suatu bangsa, tidak ada bangsa yang maju tanpa melalui pendidikan yang baik dan berkualitas. Dalam sistem pendidikan di Indonesia tidak mencerminkan kemerdekaan, mungkin ini sekedar asumsi. Tapi asumsi ini memiliki alasan yang cukup logis untuk dapat dipertahankan.

Kemerdekaan yang tertunda di ruang pendidikan menjadi kalimat yang tepat menggambarkan bahwa dalam ruang pendidikan belum merdeka seperti yang di harapkan dalam Alinea Pembukaan UUD 1945. Kemerdekaan yang telah diperoleh secara politik belum sepenuhnya menjelma kedalam ruang pendidikan.

Karena ruang-ruang belajar masih terikat pada pola pikir yang sangat feodalitik dan sistem yang membelenggu sehingga tidak mampu membentuk daya kritis. Pendidikan kita, alih-alih menjadi arena pembebasan, justru sering berfungsi sebagai instrumen reproduksi ketundukan yang menunda terwujudnya kemerdekaan sejati bagi generasi.

Ruang pendidikan menjadi tempat lahirnya keberanian justru melatih generasi untuk tunduk pada kebenaran versi ‘pemerintah’. Jika inilah yang disebut kemerdekaan, maka kita harus berterima kasih, penundaan kemerdekaan di ruang pendidikan begitu konsisten, sehingga kita nyaris lupa bagaimana rasanya merdeka dalam ruang pendidikan.

Ruang untuk bertanya dalam kelas, menggugat pendapat, dan menafsir gagasan hilang, digantikan oleh kebiasaan duduk, diam, mendengar, mengikuti arahan demi nilai. Kemerdekaan yang tertunda bukan sekadar soal akses pendidikan, tetapi kebebasan berpikir yang dikebiri oleh sistem yang kaku dalam kelas. Bagaimana bisa terjadi suasana kelas yang penuh dengan perdebatan dan saling adu gagasan antar peserta didik.

Kemerdekaan yang tertunda ini memiliki konsekuensi serius bagi masa depan bangsa. Generasi tumbuh dalam suasana pendidikan yang belum sepenuhnya membebaskan. Mereka diajarkan untuk patuh, tetapi tidak dibiasakan untuk bertanya.

Mereka dibentuk untuk kompetitif secara individual, tetapi kurang dilatih untuk kolaboratif membangun kepentingan bersama. Dalam jangka panjang, hal ini berpotensi menghasilkan masyarakat yang apatis terhadap persoalan publik dan mudah dikendalikan oleh kekuatan politik tertentu.

Kemerdekaan di ruang pendidikan mesti dilakukan mulai dari mengubah cara pandang. Pendidikan harus kembali pada misinya sebagai alat pembebasan, bukan sekadar proses produksi tenaga kerja. Guru dan dosen perlu diberdayakan untuk menjadi fasilitator pemikiran kritis, bukan hanya penyampai materi. Kurikulum perlu dirancang agar mendorong dialog, kolaborasi, dan keberanian berpikir berbeda.

Kemerdekaan Indonesia baru akan benar-benar tuntas ketika setiap ruang kelas menjadi ruang pembebasan. Selama hal itu belum terwujud, kita hanya akan merayakan kemerdekaan secara seremonial, sementara pikiran kita tetap berada di bawah penjajahan-penjajahan yang tidak terlihat, tetapi justru paling berbahaya.

Merawat kemerdekaan di ruang pendidikan menjadi proses berkelanjutan. Dapat dilakukan mulai menciptakan lingkungan yang aman untuk berekspresi tanpa ada rasa takut dan intervensi dari manapun, mendorong keberanian untuk berpikir berbeda (kontra), dan mengarahkan pada kebebasan berpendapat baik dalam kelas maupun diluar kelas melalui tulisan ataupun lisan.

Bagaimana bisa kita sampai pada tujuan merdeka belajar, pembelajaran mendalam, hingga pembelajaran berdampak jika tidak di dasarkan pada kebebasan di ruang pendidikan. Naif rasanya kita membayangkan pendidikan yang membebaskan sementara kurikulum yang sering berubah, gaya mengajar guru dan dosen hanya terpaku pada buku teks, dan kebijakan pemerintah mengenai pendidikan justru cenderung kaku dan sangat administratif.

Itulah sebabnya guru dan dosen penting menempatkan peserta didik dalam posisi yang setara dengannya di dalam kelas. Sehingga tercipta suasana pembelajaran yang partisipatif dan saling memberikan informasi seperti yang di harapkan oleh Paulo Freire, seorang yang menggugat pendidikan gaya bank.

Daya kritis guru/dosen pun perlu di pertanyakan, mengapa? Karena, jika guru/dosen hanya sekedar memberikan materi yang tertulis dalam buku tanpa ada gugatan pemikiran maka tidak pernah ada gambaran pandangan pro dan kontra dalam pembelajaran yang dapat menjadi pemantik bagi peserta didik untuk memberikan pendapat, gagasan, dan analisisnya selama proses pembelajaran.

Kurikulum semestinya di desain untuk mengarahkan proses pendidikan untuk lebih baik sesuai dengan prinsip moral, etika, dan sosial yang ditanamkan melalui pendidikan. Tidak di desain berdasarkan sesuai selera menteri, pemangku kebijakan lainnya, atau hanya sekedar menggambarkan pembeda program kebijakan antara dengan menteri yang lama dan yang baru.

Selama ruang pendidikan masih dikelola untuk menertibkan pikiran alih-alih membebaskan. Kemerdekaan akan tetap menjadi seremonial yang indah di bibir, namun absen dalam praktik nyata. Kemerdekaan justru dibentuk dari isi kepala, agar termanifestasikan dalam hasil pikiran melalui tindakan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Tulisan ini sengaja dibuat provokatif sebagai respon kritis penulis bahwa kemerdekaan dalam ruang pendidikan memerlukan perhatian yang serius. Dirgahayu Indonesia yang ke 80 Tahun ini menjadi proses refleksi kembali kondisi pendidikan.

Comment