M. Yunasri Ridhoh (Dosen Pendidikan Kewarganegaraan FEB UNM)
Indonesia telah menapaki usia 80 tahun merdeka. Perayaan kemerdekaan selalu membawa euforia: bendera dikibarkan, lomba diadakan, flayer dan twibbon bertebaran, dan pidato penuh semangat dikumandangkan. Namun, di balik gegap gempita itu, ada pertanyaan yang tak bisa kita elakkan: sudahkah bangsa ini benar-benar merdeka, ataukah kita hanya pura-pura merdeka?
Jawabannya bisa kita temukan dalam data yang baru saja dirilis. Maret 2025, sebanyak 23,85 juta orang Indonesia masih hidup dalam kemiskinan. Itu berarti 8,47 persen dari total penduduk belum mampu menikmati kebutuhan dasar secara layak.
Angka ini memang sedikit turun dibandingkan tahun lalu, tetapi tetap terasa ironis ketika kita bicara tentang negara yang sudah delapan dekade berdiri sendiri. Bagaimana mungkin di negeri yang subur ini, jutaan orang masih kesulitan sekadar untuk makan, bersekolah, dan berobat?
Persoalan lain datang dari dunia ketenagakerjaan. Tingkat pengangguran nasional per Maret 2025 tercatat 4,76 persen atau lebih dari 7 juta orang. Yang lebih menyedihkan, angka ini adalah yang tertinggi di Asia Tenggara. Itu artinya, Indonesia masih kalah dalam menyediakan lapangan kerja dibandingkan negara tetangga. Bagi lulusan baru, fakta ini menjadi momok: ijazah bukan jaminan pekerjaan, apalagi kehidupan yang sejahtera.
Jika kemiskinan dan pengangguran adalah wajah muram yang terlihat di permukaan, korupsi adalah borok yang menggerogoti di dalam. Kita sering mendengar jargon pemberantasan korupsi, tetapi praktiknya tetap menggurita. Lihat saja kasus Pertamina 2018–2023 yang ditaksir merugikan negara hampir Rp1 kuadriliun.
Belum lagi kasus dana operasional di Papua atau dugaan korupsi pengadaan Chromebook dan kuota internet, kuota haji, dan masih banyak lagi. Angka kerugian yang fantastis itu sebenarnya bisa dialihkan untuk membangun sekolah, memperbaiki layanan kesehatan, atau mengurangi kemiskinan. Namun yang terjadi, uang rakyat justru masuk ke kantong segelintir orang.
Kemerdekaan juga masih terasa timpang jika kita menengok praktik diskriminasi sosial. Pada Januari 2025, seorang siswa di Makassar dihukum duduk di lantai hanya karena tunggakan SPP. Peristiwa ini menegaskan bahwa akses pendidikan masih dipandang sebagai hak istimewa, bukan hak dasar.
Padahal, UUD 1945 jelas menegaskan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan. Tidak berhenti di situ, dunia kerja pun menyodorkan bentuk diskriminasi lain: syarat “good looking” atau “usia produktif” yang mencederai prinsip kesetaraan.nBetapa banyak anak muda kehilangan kesempatan bukan karena kurang kompetensi, melainkan karena standar penampilan atau batas usia yang kaku.
Ironi lain tampak dari dapur masyarakat. Harga beras di Sulawesi Selatan belakangan ini melambung tinggi, padahal pemerintah pusat dan provinsi mengklaim cadangan beras nasional dalam kondisi surplus. Bagi rakyat kecil, logika semacam ini sulit dipahami: bagaimana mungkin stok melimpah, tetapi harga tetap mencekik?
Ini memperlihatkan adanya celah serius dalam tata kelola pangan, mulai dari distribusi hingga permainan pasar. Kemerdekaan pangan semestinya berarti rakyat bisa mengakses kebutuhan pokok dengan harga terjangkau, bukan justru terbebani oleh inflasi pangan yang kontradiktif dengan klaim pemerintah.
Dan ada satu ancaman baru yang kian nyata: judi online. PPATK mencatat perputaran uang dari judi daring di Indonesia mencapai Rp1.200 triliun pada Mei 2025. Jakarta dan Jawa Barat menempati posisi teratas dalam jumlah kasus, dengan pemain dari berbagai rentang usia, termasuk remaja 10–20 tahun.
Judi online bukan sekadar pelanggaran hukum, tetapi juga masalah sosial yang merusak keluarga, merampas penghasilan, dan menjerat generasi muda ke dalam lingkaran kecanduan. Lihatlah begitu banyak kriminalitas lanjutan sebagai akibat dari kecanduan judi online. Ada yang membunuh, mencuri, menipu, dan lain seterusnya.
Jika ditarik garis besar, maka problem utama bangsa ini bukan lagi soal kedaulatan politik, melainkan soal kualitas kemerdekaan. Kita memang tidak lagi dijajah secara fisik oleh bangsa asing. Tetapi, rakyat masih terbelenggu oleh kemiskinan, pengangguran, korupsi, diskriminasi, mahalnya harga pangan, dan candu digital. Semua ini adalah bentuk penjajahan baru yang lahir dari kelemahan sistem dan kelengahan kita sendiri.
Di titik ini, kita perlu bertanya: apa arti kemerdekaan setelah 80 tahun? Apakah sekadar uforia yang kita rayakan setiap Agustus, ataukah sebuah momentum untuk merenungi kembali cita-cita bangsa? Kemerdekaan seharusnya berarti kebebasan dari segala bentuk penindasan, termasuk penindasan yang dilakukan oleh kebijakan yang timpang, tata kelola yang buruk, dan perilaku koruptif yang merajalela.
Maka, pekerjaan rumah kita adalah mengubah cara pandang terhadap kemerdekaan. Pertama, kemerdekaan harus diukur dari sejauh mana rakyat bisa hidup sejahtera. Itu artinya, pemerintah tidak bisa puas dengan angka statistik yang sekadar turun tipis. Strategi pengentasan kemiskinan perlu lebih menyentuh akar persoalan: memperluas akses pendidikan, memperkuat jaminan sosial, dan membuka lapangan kerja berkualitas.
Kedua, pemberantasan korupsi harus kembali menjadi agenda serius, bukan sekadar retorika politik. Tanpa komitmen yang kuat, korupsi hanya akan terus menggerogoti fondasi negara. Transparansi, akuntabilitas, dan penegakan hukum yang konsisten harus diperkuat, baik di tingkat pusat maupun daerah.
Ketiga, diskriminasi dalam pendidikan dan ketenagakerjaan tidak boleh lagi dibiarkan. Pendidikan harus dipastikan sebagai hak setiap anak bangsa, tanpa terkecuali. Dunia kerja pun harus mulai menilai kemampuan dan keterampilan, bukan sekadar penampilan fisik atau usia. Prinsip kesetaraan inilah yang akan membuat masyarakat merasa benar-benar merdeka.
Keempat, negara tidak boleh abai terhadap ancaman judi online. Perputaran uang yang begitu besar hanya akan memperlebar jurang kesenjangan dan menjerumuskan banyak keluarga ke dalam krisis ekonomi. Regulasi yang tegas, penindakan yang nyata, dan edukasi publik yang berkelanjutan mutlak diperlukan.
Dan kelima, urusan pangan tak boleh terus dikelola setengah hati. Jika beras masih mahal di daerah produsen, apa kabar nasib rakyat di daerah konsumen? Surplus tidak boleh berhenti sebagai angka di atas kertas, tetapi harus benar-benar terasa di meja makan rakyat.
Kemerdekaan sejatinya adalah proses, bukan tujuan akhir. Ia menuntut kerja kolektif, keberanian moral, dan kesediaan untuk terus memperbaiki diri. Delapan puluh tahun bukanlah waktu yang singkat. Jika pada masa lalu para pendiri bangsa berjuang melawan penjajah dengan bambu runcing, maka hari ini perjuangan itu harus diteruskan dengan melawan kemiskinan, pengangguran, korupsi, diskriminasi, mahalnya harga pangan, dan candu judi online.
Perayaan kemerdekaan akan bermakna hanya jika kita menjadikan momen ini sebagai pengingat. Bahwa tugas besar bangsa ini belum selesai. Bahwa kemerdekaan bukan sekadar simbol, melainkan janji yang harus ditepati: menghadirkan keadilan sosial dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Comment