Anjelin Arruan (Mahasiswa Teknologi Pendidikan UNM)
Organisasi hari ini semakin kehilangan makna. Ia tak lagi menjadi ruang aktualisasi, tempat anggota bertumbuh, belajar, dan memberi kontribusi nyata. Sebaliknya, organisasi kini lebih sering menjelma menjadi panggung semu ajang pamer status, bukan wadah kerja kolektif.

Banyak yang masuk bukan untuk berbuat, tapi untuk duduk di posisi strategis. Jabatan lebih dikejar daripada tanggung jawab. Nama dalam struktur organisasi diperlakukan bak medali kehormatan, meski tak ada kerja yang menyertainya. Kontribusi diukur bukan dari dampak, melainkan dari seberapa sering nama disebut dalam rapat atau proposal.
Dalam labirin organisasi mahasiswa, terdapat fenomena yang menyedihkan dan memprihatinkan, yaitu mahasiswa yang sok kuasa dan penuh tipu muslihat. Mereka yang seharusnya menjadi pemimpin dan contoh bagi juniornya, malah menggunakan kekuasaan mereka untuk kepentingan pribadi dan mengintimidasi orang lain.
Fenomena ini tidak hanya merusak lingkungan organisasi, tetapi juga dapat memiliki dampak yang serius pada kesejahteraan mental dan emosional anggota organisasi. Dalam konteks psikologi sosial, fenomena ini dapat dijelaskan melalui teori kekuasaan dan pengaruh sosial. Menurut teori ini, individu yang memiliki kekuasaan cenderung menggunakan kekuasaan mereka untuk mempertahankan dan meningkatkan posisi mereka dalam hierarki sosial.
Namun, ketika kekuasaan digunakan untuk kepentingan pribadi dan mengintimidasi orang lain, maka dapat terjadi penyalahgunaan kekuasaan yang dapat merusak lingkungan organisasi. Seperti kata Nietzsche, “Kekuasaan adalah racun yang dapat merusak jiwa manusia.”
Selain itu, organisasi mahasiswa juga seringkali menjadi sarang predator seksual senior. Mereka yang seharusnya menjadi pemimpin dan contoh bagi juniornya, malah menggunakan kekuasaan mereka untuk melakukan pelecehan seksual terhadap junior mereka.
Fenomena ini sangat memprihatinkan dan dapat memiliki dampak yang serius pada kesejahteraan mental dan emosional korban. Seperti kata Shakespeare, “Kekuasaan adalah pedang yang dapat memotong jiwa manusia.”
Dalam konteks sosiologi, fenomena ini dapat dijelaskan melalui teori patriarki dan kekuasaan gender. Menurut teori ini, masyarakat patriarkis cenderung mempertahankan kekuasaan laki-laki atas perempuan dan menggunakan kekuasaan ini untuk melakukan pelecehan seksual terhadap perempuan.
Dalam organisasi mahasiswa, fenomena ini dapat terjadi ketika senior laki-laki menggunakan kekuasaan mereka untuk melakukan pelecehan seksual terhadap junior perempuan. Seperti kata Simone de Beauvoir, “Perempuan adalah yang lain, yang tidak sama dengan laki-laki.”
Seperti kata Aristoteles, “Pendidikan adalah kunci untuk mencapai kebahagiaan dan kesuksesan.” Namun organisasi yang seharusnya menjadi wadah untuk berkembang malah menjadi penjara pengkerdilan potensi diri karna iklim yang di bangun hanya sebatas pengguguran tanggung jawab tentu kesemuanya tidak terlepas dari budaya penindasan yang terbangun oleh oknum yang haus validasi.
Kalau kata Martin Luther King Jr., “Keadilan adalah kunci untuk mencapai kesetaraan dan kebebasan.” Namun organisasi dewasa ini telah berubah jauh dari niat suci pengembangan kemampuan seseorang, justru malah menjadi tempat buangĀ buang waktu tenaga, materi, dan pikiran yang kesemuanya berujung pada kata sia-sia.
Lebih parah lagi, hasil kerja tim sering kali dibajak oleh segelintir orang yang hanya fasih bicara di forum, tapi menghilang saat aksi nyata dibutuhkan. Mereka menjadi simbol dari kultur baru yang tumbuh subur: budaya bersolek tanpa isi. Bukan karena itu benar, tapi karena terus dibiarkan. Organisasi akhirnya hanya menjadi klub sok penting.
Isinya orang-orang yang lapar akan pengakuan, haus akan sorotan, dan bergantung pada kerja keras orang lain untuk tetap merasa unggul. Mereka membutuhkan kamu yang diam-diam bekerja, menyelesaikan, memperbaiki. Tanpa kamu, mereka bukan siapa-siapa.
Maka berhentilah menjadi pion dalam permainan mereka. Jangan serahkan tenagamu untuk mengangkat orang-orang yang hanya menjadikan organisasi sebagai cermin egonya. Jika organisasi ingin hidup kembali sebagai ruang aktualisasi, maka perubahan harus dimulai dari kesadaran untuk memilih: jadi pion, atau jadi agen perubahan.
Comment