Indonesia dan Luka Demokrasi yang Tak Kunjung Sembuh

Sitti Nurliani Khanazahrah (Pegiat Literasi dan Filsafat)

Kadang saya merasa Indonesia ini seperti tubuh besar yang sedang demam. Kepalanya panas, jantungnya berdebar, kaki dan tangannya gemetar. Kita sebagai rakyat biasa hanya bisa menyeka keringat di keningnya sambil berharap esok pagi suhu sudah turun sendiri. Tetapi tiap kali ada isu besar seperti kenaikan tunjangan DPR, wacana pembubaran lembaga legislatif, sampai demonstrasi yang meledak jadi kerusuhan di berbagai kota di Indonesia beberapa hari ini, kita diingatkan bahwa tubuh ini memang sedang rapuh. Luka lama belum kering, dan sudah ditimpa luka baru.

ads

Sebenarnya, Indonesia tidak kekurangan kritik. Ia berdesakan di warung kopi dan kolom komentar, di kelas-kelas kampus dan balai warga, bahkan di acara tahlilan sampai ruang Zoom malam-malam. Kritik mengalir deras seperti hujan di puncak musim, tetapi sayangnya, sering kali berhenti di permukaan. Negara seperti tubuh yang kehilangan daya refleksinya. Alat pendengarnya berfungsi, tetapi syaraf maknanya tumpul. Kritik didengar namun tak dipahami, dicatat namun tak dihayati. Akhirnya orang lelah berbicara, dan pemerintah lelah berpura-pura mendengar.

Di titik ini, saya meminjam kacamata Hannah Arendt (1906-1975). Dalam bacaan saya, yang paling mendasar dari politik bagi Arendt bukanlah angka mayoritas atau daftar pasal, melainkan ruang di mana manusia tampil, berbicara, dan bertindak bersama. Ruang publik, kata Arendt adalah panggung tempat kita menyatakan diri melalui tindakan, dan bukan sekadar retorika. Ketika ruang itu menyempit maka politik berubah menjadi administrasi. Ketika ia dibungkam maka demokrasi tinggal kerangka tanpa napas. Kita mungkin tetap punya pemilu, partai, dan rapat-rapat, tetapi yang mengalir bukan lagi kehidupan bersama melainkan rutinitas yang beku.

Coba kita jujur melihat sekeliling. Ruang publik kita masih ada, tetapi sering kali terasa dipagari pagar-pagar yang tak kelihatan. Kritik dianggap ancaman, demonstrasi ditanggapi gas air mata, reporter lapangan dibenturkan pada pita kuning garis polisi, dan obrolan serius diubah jadi hiburan rating. Aspirasi mereka yang mengantre beras murah di pasar cuma jadi angka dalam pidato, bukan suara yang mengubah keputusan. Dalam logika ini, kita seolah punya demokrasi tetapi yang bergerak hanya kulitnya. Pemilu diselenggarakan, parlemen bersidang, dan konferensi pers digelar tetapi inti kebersamaan tidak benar-benar hadir.

Dari sisi lain, Nurcholish Madjid (1939-2005) atau Cak Nur, mengajarkan hal yang sebetulnya sederhana yaitu demokrasi butuh kejujuran moral. Demokrasi bukan sekadar prosedur tetapi ia lebih sebagai laku batin untuk mau dikritik, mau mengakui kekurangan, dan mau belajar dari kesalahan. Demokrasi yang hanya bersandar pada tata cara tanpa integritas cepat menggulung menjadi sandiwara kekuasaan. Kejujuran, dalam kalimat Cak Nur, bukan hiasan tetapi lebih sebagai fondasi yang menyangga seluruh rumah.

Beberapa hari terakhir, kita dibuat pening oleh kabar tunjangan rumah anggota DPR yang disebut mencapai Rp50 juta per bulan. Penjelasan yang datang belakangan bahwa skema itu bersifat sementara dan akan berakhir Oktober 2025 tidak serta-merta memadamkan api di perut orang banyak. Rasanya memang janggal karena ketika harga beras merambat naik dan upah riil makin cekak, para wakil rakyat justru sibuk menebalkan pos “kenyamanan.” Maka tak heran jika di jalan-jalan akhirnya terdengar slogan “bubarkan DPR.” Apakah masuk akal? Secara konstitusional tentu tidak sederhana, tetapi yang ingin disampaikan publik sangat jelas yaitu rasa dikhianati telah menumpuk.

Makassar menjadi cermin paling keras. Aksi yang mulanya orasi berubah jadi malam panjang. Pagar didobrak, bagian gedung DPRD Sulawesi Selatan terbakar, dan warga berhamburan menyelamatkan diri. Beberapa media menulis ada korban jiwa yang terperangkap saat gedung menyala, kantor berita memotret sisa-sisa bangunan pada pagi berikutnya. Ini bukan sekadar amarah massa, tetapi ini lebih sebagai alarm yang menyalak karena terlalu lama diabaikan. Di beberapa daerah lain, kantor dewan juga dilaporkan dirusak massa. Kita bisa mengecam tindakan anarkis ini sembari tetap jujur bahwa ia lahir di ekosistem kebijakan yang timpang.

Di Jakarta, tragedi menambah retak itu. Seorang pengemudi ojek online, Affan Kurniawan, anak muda yang berusia 21 tahun yang sedang bekerja tewas setelah ditabrak dan dilindas kendaraan taktis saat aparat membubarkan massa di sekitar kompleks parlemen. Video beredar, murka pun merebak. Presiden lalu menyampaikan duka dan memerintahkan penyelidikan. Polisi juga meminta maaf dan menahan sejumlah personel. Tetapi apa yang bisa mengembalikan seorang anak bagi ibunya? Nama Affan kemudian menjelma menjadi simbol tentang betapa nyawa orang kecil bisa terlipat di antara roda kebijakan dan roda kendaraan.

Arendt punya istilah yang sering disalahpahami yaitu banalitas kejahatan. Ia lahir dari pengamatannya terhadap Adolf Eichmann, seorang birokrat, dan bukan algojo bertaring yang mengatur logistik pemusnahan manusia dengan ketelitian kantor. Kejahatan terbesar, kata Arendt, bisa lahir dari kepatuhan yang beku, dari kebiasaan tak berpikir, dan dari prosedur yang menghapus tatap muka manusia dengan manusia. Bila kita menunduk pada perintah tanpa sempat bertanya “apakah ini adil?”, maka yang berjalan bukan lagi akal budi, melainkan mesin.

Saya melihat bayang-bayang itu di sini. Banyak pejabat mungkin bukan “jahat” dalam pengertian populer. Mereka tak pernah menembak orang, tak pernah melempar bom molotov. Tetapi mereka duduk dalam rapat-rapat yang dingin, dan mengetok palu untuk kebijakan yang membuat orang kecil harus antre lebih panjang dan tidur lebih singkat. Mereka menyetujui anggaran yang menambah kenyamanan sendiri ketika dapur-dapur rakyat berasap tipis. Mereka berdiri di balik barikade prosedur sambil berkata “ini aturan,” seakan-akan aturan lebih suci dari manusia.

Arendt, dalam The Human Condition, membedakan kerja (labor), karya (work), dan aksi (action). Tiga-tiganya bagian dari “vita activa.” Kerja menjaga kehidupan biologis; karya melahirkan dunia buatan manusia; aksi adalah momen kita tampil di hadapan sesama, berinisiatif, dan menambahkan sesuatu yang tak terduga ke dalam dunia. Aksi adalah inti politik karena ia mensyaratkan kebersamaan dan keberanian. Dalam kaca mata ini, demonstrasi yang damai adalah bentuk aksi paling klasik. Warga muncul, menyatakan pendapat, dan menagih tanggung jawab dan bukan sekadar “keramaian yang harus dibubarkan.”

Arendt juga membedakan kekuasaan (power) dari kekerasan (violence). Kekuasaan lahir ketika orang bertindak bersama dan ia rapuh jika hanya ditopang oleh kekerasan. Maka negara yang bergantung pada pentungan dan gas air mata sebenarnya telah mengakui kelemahannya sendiri. Di hari-hari ini, ketika seruan bubarkan parlemen terdengar, barangkali yang sesungguhnya diminta adalah dikembalikannya kekuasaan ke akar yaitu tersedianya percakapan, keterbukaan, tanggung jawab dan bukan sekadar komando.

Di sinilah sebenarnya Cak Nur bersuara. Ia mengajukan “sekularisasi” politik bukan untuk menyingkirkan agama, melainkan membebaskan yang suci dari penyalahgunaan. Kekuasaan tak boleh disakralkan. Kekuasaan harus diuji oleh akal sehat dan nurani. Demokrasi dalam horizon Islam yang ia pahami adalah sarana untuk menegakkan amanah seperti keadilan, kejujuran, dan kesetaraan martabat. Ayat yang sering kita dengar: Inna Allāha ya’muru bil-‘adli wal-ihsān, sebenarnya bukan hiasan khutbah semata tetapi lebih sebagai mandat etis untuk kebijakan publik. Jika wakil rakyat menguatkan fasilitas diri sementara rakyat mengencangkan ikat pinggang, maka yang rusak bukan angka melainkan amanah.

Tambahan agar kita tidak terjebak kabar burung tentang situasi di Makassar, laporan foto dari kantor berita nasional menunjukkan fasad dan ruang-ruang kerja DPRD Sulawesi Selatan hangus pada dini hari setelah aksi 29 Agustus. Media asing melaporkan korban jiwa karena terperangkap saat gedung menyala. Peristiwa itu bukan sekadar retorika “anarkis,” melainkan tanda bahaya tentang jurang kepercayaan yang kian lebar antara warga dan wakilnya. Di Bandung dan kota lain, kantor dewan juga dilaporkan dirusak, menunjukkan bagaimana simbol perwakilan menjadi sasaran kemarahan.

Kebijakan tunjangan rumah senilai 50 juta per bulan, atau apa pun dalih anggarannya, jelas terasa timpang di tengah desakan hidup warga. Penjelasan bahwa skema itu hanya berlaku sampai Oktober 2025 tidak menghapus kesan “mendahulukan diri sendiri,” terlebih ketika ia mencuat di tengah gelombang kenaikan harga pangan. Di banyak kota, inilah percikan yang menyulut kemarahan. Bahwa demonstrasi bisa menyasar simbol-simbol parlemen memperlihatkan betapa publik memaknai isu ini bukan sebagai angka, tetapi lebih sebagai penanda arah moral.

Pada saat yang sama, harga beras sebagai teman meja makan paling setia di Indonesia naik sepanjang tahun ini. Beberapa laporan menyebut produksi justru membaik, namun ketersediaan untuk konsumsi rumah tangga menurun. Kombinasi distribusi, spekulasi, dan kebijakan yang terlambat diduga ikut bermain. Bagi kelas bawah, seribu rupiah per kilogram terdengar remeh di meja rapat, tetapi di dapur ia bisa berarti lauk yang hilang atau susu anak yang dikurangi. Karena itu, kemarahan atas tunjangan DPR bertemu dengan kegelisahan atas belanja harian. Ini sebenarnya dua arus yang menyatu dalam satu gelombang protes.

Untuk mempertebal pijakan filosofisnya, saya ingin masuk ke dua gagasan Arendt yang sering luput yaitu: thinking dan judging. Bagi Arendt, bencana politik sering kali berawal dari orang-orang yang berhenti berpikir dan bukan berhenti berhitung. Berpikir dalam makna ia gunakan bukan aktivitas teknokratik, melainkan percakapan batin yang membuat kita sanggup berkata “tidak” bahkan ketika seluruh ruangan berseru “ya.” Dari berpikir itulah akan tumbuh kemampuan judging yaitu menilai tanpa resep siap pakai, dengan membayangkan sudut pandang orang lain. Demokrasi memerlukan dua kebajikan ini. Warga yang mau berpikir pelan, dan pejabat yang sanggup menilai melampaui selembar SOP.

Cak Nur dalam hal ini sejalan, meski datang dari tradisi yang lain. Ia percaya pada kemanusiaan yang universal yaitu martabat manusia tidak bergantung pada status, golongan, atau tafsir keimanan. Karena itu, ia menolak sakralisasi kekuasaan dan memimpikan masyarakat madani yaitu masyarakat warga yang otonom, kritis, dan beradab. Amar ma’ruf nahi munkar dalam pengertian sosial-politik, bagi Cak Nur bukan urusan menunjuk-nunjuk moral orang lain, melainkan mengawal institusi agar adil dan jujur. Jika etos ini menjadi nafas politik, maka kebijakan seperti kenaikan fasilitas di tengah krisis akan otomatis memerahkan lampu hati nurani.

Sekarang, kembali sejenak pada fakta yang bikin dada sesak. Bahwa seruan pembubaran DPR tak muncul di ruang hampa. Ia meledak karena rasa dikhianati, ada rasa bahwa lembaga perwakilan telah terlalu nyaman dan terlalu jauh dari suara dapur. Di berbagai kanal berita, wacana itu diperdebatkan keras. Ada yang menyebutnya ekspresi politik sah, ada pula yang menyebutnya jalan buntu yang berbahaya. Para ahli hukum tata negara mengingatkan, konstitusi kita tidak menyediakan tombol darurat “bubarkan saja” kecuali melalui proses perubahan yang panjang. Tetapi terlepas dari perdebatan yuridis, pesan moralnya memang terang bahwa perwakilan kehilangan kedekatannya dengan yang diwakili.

Lalu apa yang bisa dilakukan sekarang dan bukan nanti? Pertama, soal tunjangan. Sebenarnya pemerintah dan DPR bisa menunjuk panel etik atau anggaran independen, semacam kantor anggaran parlemen yang berdiri di luar partai, untuk menilai kelayakan setiap fasilitas dan mempublikasikan rekomendasi beserta simulasi dampaknya pada fiskal dan persepsi publik. Pengumuman kebijakan fasilitas harus selalu didahului impact assessment sosial dan bukan hanya fiskal, serta konsultasi publik terbuka selama, katakanlah, 14 hari. Mungkin ini memang tidak mudah tetapi sangat perlu.

Kedua, soal penanganan aksi. Kita butuh protokol deeskalasi yang mengikat, bukan sekadar imbauan, plus pelatihan berkala berbasis skenario nyata. Setiap penugasan besar harus memiliki command log yang kelak dapat diaudit publik seperti kapan gas ditembak, siapa memerintahkan, apa dasar keputusannya. Penggunaan kendaraan taktis di area padat warga harus berada di ambang yang sangat tinggi. Insiden kematian Affan seharusnya menjadi momen never again yaitu momentum untuk menetapkan garis merah prosedural dan bukan sekadar headline duka.

Ketiga, soal pangan. Krisis beras bukan sekadar soal impor atau tidak impor, melainkan arsitektur tata niaga. Ini waktunya memperlakukan data pangan seperti data cuaca yang real-time, publik, dan bisa diakses siapa saja. Dengan dasbor terbuka yang menampilkan harga eceran, stok gudang, dan pergerakan pengiriman, spekulan akan lebih sulit bermain. Pemerintah bisa mendorong bulk buying komunitas lewat koperasi, memperkuat cadangan pangan desa, dan memberi insentif pada inovasi logistik dingin untuk komoditas alternatif agar tekanan terhadap beras berkurang.

Keempat, soal kualitas ruang publik. Kita sangat memerlukan cooling-off space di setiap kota seperti pusat dialog yang dioperasikan independen, di mana warga bisa mengadu, mengusul, bahkan membantah pejabat tanpa takut. Setiap debat besar kebijakan seharusnya memiliki citizens’ panel yaitu panel warga yang dipilih acak namun representatif untuk menilai dan memberi rekomendasi yang wajib ditanggapi. Model ini telah dicoba di banyak negara dan sebenarnya kita tidak kurang cerdas untuk mencobanya.

Yang terakhir saya ingin menyinggung satu hal yang sering tak terlihat yaitu peran bahasa. Di hari-hari panas, satu kalimat bisa menyelamatkan atau membakar. Arendt, dalam On Revolution menulis tentang janji (promise) sebagai teknologi politik untuk menambat masa depan yang tak pasti. Sementara Cak Nur, dengan bahasanya sendiri menekankan akhlak sebagai tata rasa yang membuat janji itu tidak sekadar bunyi. Pejabat yang pandai berjanji tanpa disiplin moral memang akan memicu sinisme. Tetapi pejabat yang membatasi janji pada yang mampu ia tunaikan, lalu menepatinya, akan memulihkan kepercayaan lebih cepat daripada seribu baliho.

Saya rasa semua ini boleh terdengar idealis. Tetapi idealisme yang menapak pada fakta dan bukan fantasi adalah garis kompas. Fakta yang menyulut amarah seperti gedung DPRD yang terbakar di Makassar, korban jiwa yang tidak seharusnya, tunjangan yang tak peka, beras yang naik, dan sebagainya adalah peta rute yang jelas menunjukkan di mana jalan rusak. Tugas kita adalah memetakan perbaikannya, dan bukan menutup peta karena pemandangannya yang menyakitkan.

Saya tak akan menutup mata terhadap kekerasan dalam demonstrasi. Membakar gedung bukan kebajikan, dan melukai orang bukan jalan mulia. Tetapi membekukan semua protes atas nama “stabilitas” juga bukan jawaban. Di antara dua ekstrem itulah kita perlu kerja politik yang sabar yaitu bagaimana merumuskan tangga perbaikan yang konkret sekaligus menyirami ruang publik agar orang berani bicara tanpa takut dibungkam. Hukum harus tegas pada pelaku kekerasan, baik warga maupun aparat, tetapi lebih tegas lagi pada sistem yang melahirkan kekerasan.

Mari kita kembali ke tragedi Affan. Negara telah berjanji menyelidiki, meminta maaf, bahkan menjamin kehidupan keluarga. Tetapi janji yang paling penting justru pada kita semua, bahwa cara negara hadir dalam demonstrasi akan berubah secara sistemik. Pelatihan ulang, protokol yang ketat, akuntabilitas yang jelas, dan pengawasan independen. Kalau tidak, maka kita akan selalu sibuk menyalakan lilin untuk nama-nama baru yang tidak pernah ingin kita kenal dengan cara demikian.

Pada akhirnya, saya kembali ke metafora awal yaitu Indonesia sebagai tubuh besar yang sedang demam. Tubuh demam bukan tanda kekalahan tetapi cara tubuh memberi sinyal bahwa ada infeksi yang harus ditangani. Pertanyaannya: Apakah kita mendengar sinyal itu? Ataukah kita memilih menelan obat penurun panas sambil membiarkan infeksi bekerja diam-diam?

Saya pribadi memilih percaya bahwa tubuh ini ingin sembuh. Saya melihat tandanya di banyak tempat seperti di gotong royong kecil yang tak masuk berita, di ruang-ruang belajar warga, di posko-posko dapur umum yang tiba-tiba tumbuh ketika harga pangan naik, di komunitas seni yang mengekspresikan luka tanpa menebar kebencian. Di sana saya melihat Arendt sejalan dengan Cak Nur bahwa politik bisa sebagai aksi yang berani sekaligus kejujuran moral yang meneduhkan.

Kepada para wakil rakyat, saya ingin mengatakan bahwa kemewahan Anda bukan masalah kalau dapur kami aman. Tetapi ketika dapur kami kerontang, mohon simpan dulu keinginan menambah kenyamanan. Tunjukkan bahwa Anda mengerti prioritas. Datanglah ke pasar tanpa rombongan, dengarkan ibu-ibu menawar, rasakan sendiri bagaimana logistik pangan berkelok. Lalu kembalilah ke ruang sidang, buka rincian anggaran, pangkas yang tak perlu, dan jelaskan yang tersisa. Itu lebih menyejukkan daripada seribu poster pencitraan.

Kepada aparat, kami tahu tugas Anda berat. Tetapi negara yang kuat adalah negara yang menahan diri. Tak ada kejayaan dalam “menang” dengan korban jiwa warga. Jika suatu malam Anda berdiri berhadapan dengan massa yang marah, ingatlah wajah Affan, seseorang yang tidak berniat menjadi martir. Biarkan kenangan itu menuntun cara Anda memegang tameng, menekan pelatuk gas, dan mengarahkan kendaraan. Ada cara lain untuk menang yaitu pulang tanpa berita duka.

Dan kepada diri kita sendiri sebagai warga, mari kita terus bersuara dengan cara yang cerdas dan berbelas kasih. Buka ruang-ruang diskusi yang inklusif, rawat perbedaan, dan jangan malu mengubah pikiran ketika ada argumen yang lebih baik. Demokrasi tidak butuh manusia yang selalu benar. Demokrasi butuh manusia yang mau belajar. Jika suatu hari anak-anak bertanya “apa yang kau lakukan ketika rumahmu retak?”, kita ingin bisa menjawab: “aku ikut mengangkat batu, dan bukan hanya memotret reruntuhan.”

Menurut saya, Indonesia memang harus berbenah. Bukan dengan menutup telinga dari kritik, tetapi dengan menjadikannya cermin. Kritik adalah tanda cinta, dan bukan tanda benci. Persis seperti pelajaran Cak Nur tentang keterbukaan, dan peringatan Arendt bahwa politik hanya bermakna jika manusia hadir atau menghadirkan diri dan menghadirkan yang lain. Mari jaga agar ruang itu tetap ada, ruang untuk berkata jujur tanpa takut, ruang untuk mendengar tanpa curiga, dan ruang untuk bertindak tanpa harus menunggu komando dari menara. Jika kita merawat ruang itu, maka demokrasi tidak hanya bertahan tetapi ia akan tumbuh.

Dan sampai hari itu datang, mari tetap menyiapkan air hangat, mengompres kening, dan meracik obat yang paling mujarab seperti kejujuran, empati, dan kerja bersama. Kita mulai dari dapur, dari kampus, dari balai warga, dari pos ronda, dari grup WhatsApp keluarga. Kecil-kecil tetapi teratur, pelan-pelan tetapi pasti. Karena demokrasi pada akhirnya adalah kebiasaan yang disederhanakan seperti membiasakan diri untuk peduli. Dan kebiasaan, sebagaimana yang kita tahu akan tumbuh karena diulang.

Maka jangan lelah mengulang. Jangan lelah menegur, memuji, mengusul, menolak, mengawal, dan mencatat. Jangan lelah mengulang kalimat yang sama di hadapan orang yang berbeda bahwa Indonesia ini milik kita semua, dan bukan milik segelintir. Bahwa wakil hanya bermakna jika yang diwakili merasa dihadiri. Bahwa kebijakan hanya disebut adil kalau yang paling lemah ikut merasakan lega. Dan bahwa setiap dari kita, sekecil apa pun punya peran dalam membuat tubuh besar ini menjadi sembuh.

Comment