Ketika Suara Mahasiswa Tersisih Demi Angka

Anjelin Arraun (Mahasiswa Teknologi Pendidikan UNM)

Proses perkuliahan yang dijalani saat ini, terutama bagi mahasiwa baru, masih banyak diwarnai rasa takut dan sikap pasif. Mereka cenderung hanya mengikuti kehendak dosen tanpa berani mempertanyakan atau menyaring terlebih dahulu apa yang diterima.

ads

Setiap arahan dibalas dengan anggukan, seolah-olah semua keputusan dosem mutlak adanya. Bahkan dalam hal sederhana seperti pembelian buku, mahasiswa serentak mengikuti arahan dosen, yang terkadang memberi kesan pemaksaan kehendak.

Belum lagi soal ketidakadilan kontrak kuliah, di mana keterlambatan mahasiswa langsung dianggap absen, sementara dosen yang terlambat masih bisa masuk dan memberi penjelasan seadanya. Situasi semacam ini membuat mahasiswa berada dalam posis serba salah, antara diam dan mengikuti atau melawan dengan risiko tertentu.

Sebagai mahasiswa, tujuan akhir dari perjalanan panjang dibangku perkuliahan adalah memperoleh nilai yang sepadan dengan usaha dan harapan yang telah dicurahkan. Namun, kenyataannya masih ada oknum dosen yang memberikan penilaian akhir tidak berdasarkan objektivitas, melainkan dipengaruhi oleh suasana hati dalam menentukan kelulusan maupun capaian nilai mahasiswa.

Hal ini menyebabkan banyak mahasiswa merasa  frustasi hingga kehilangan motivasi untuk melanjutkan pembelajaran disemester berikutnya akibat perlakuan yang tidak adil tersebut. Penilaian yang hanya mengikuti suasana hati dosen pada dasarnya menunjukkan bahwa nilai diberikan tanpa mengacu pada kesepakatan awal, misalnya bobot UTS, UAS maupun partisipasi dikelas.

Sebaliknya, keputusan lebih ditentukan oleh kondisi emosional atau keinginan pribadi dose. Bahkan, ketika dosen merasa ‘’malas’’ saat menginput nilai, tidak jarang ia menyamaratakan hasil seluruh mahasiswa. Praktik seperti ini jelas menciptakan ketidakadilan, sebab mahasiswa yang tekun dan yang kurang rajin seharusnya  tidak diperlakukan dengan nilai yang sama.

Dampak langsung yang dialami mahasiswa akibat tindakan oknum dosen tersebut adalah memperoleh nilai yang tidak sesuai dengan harapan, sehingga segala bentuk kepatuhan dan usaha selama perkuliahan terasa sia-sia ketika hasil akhir diumumkan. Meski demikian, terdapat pula sebagian mahasiswa yang justru mendapatkan keuntungan dari kondisi ini, yakni mereka yang memiliki kedekatan khusus dengan dosen.

Hubungan istimewa tersebut membuat mereka tidak perlu bersusah payah menyelesaikan berbagai tugas, karena sudah dipastikan akan memperoleh nilai terbaik dari dosen yang bersangkutan. Kondisi tersebut memperlihatkan bahwa dalam dunia akademik, mahasiswa kerap dihadapkan pada dilema antara mempertahankan idealisme atau memilih jalan aman dengan menuruti segala keinginan dosen demi menjaga nilai tetap baik.

Sayangnya, pilihan yang kedua lebih banyak dipilih karena dianggap praktis. Padahal, pola pikir seperti ini justru mengikis daya kritis mahasiswa, yang seharusnya menjadi inti dari kehidupan kampus. Akibatnya, suara mahasiswa sering teredam, bukan karena tidak mampu bersuara, melainkan karena takut akan konsekuensi terhadap nilai yang mereka peroleh.

Pada titik inilah kita patut bertanya: apakah pendidikan hanya sebatas angka dan sertifikat, atau seharusnya menjadi ruang untuk membentuk keberanian berpikir kritis dan kemandirian intelektual?

Comment