M. Yunasri Ridhoh (Dosen Pendidikan Kewarganegaraan FEB UNM)
Pidato Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto, di hadapan Sidang Majelis Umum PBB pada 22 September 2025, menjadi momentum penting yang menegaskan kembali posisi Indonesia dalam percaturan global, yaitu berpihak pada kemerdekaan Palestina. Kehadiran Indonesia di forum yang dipimpin bersama oleh Prancis dan Arab Saudi itu bukan sekadar formalitas diplomatik, melainkan bagian dari tanggung jawab sejarah bangsa yang sejak awal berdiri menolak segala bentuk penjajahan.

Dalam forum tersebut, Presiden Prabowo menyampaikan suara yang tegas namun adil untuk dua negara. Ia mengecam tragedi kemanusiaan di Gaza, sekaligus menegaskan bahwa solusi dua negara adalah satu-satunya jalan untuk menciptakan perdamaian yang adil, dan permanen.
Sejak Konferensi Asia-Afrika 1955 di Bandung, Indonesia telah menempatkan isu Palestina sebagai bagian dari agenda solidaritas global. Presiden Soekarno menegaskan bahwa selama Palestina belum merdeka, selama itu pula Indonesia akan selalu berada di garis depan perjuangan mereka.
Sikap itu berlanjut dalam setiap pemerintahan, dari Soeharto hingga kini Prabowo Subianto. Konsistensi ini tentu tidak lahir dari sentimen agama, melainkan dari prinsip universal yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945, yaitu penjajahan di atas dunia harus dihapuskan.
Dalam konteks itulah, kehadiran Prabowo di New York mempertegas kesinambungan politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif. Indonesia tidak hanya hadir sebagai penonton, tetapi sebagai anggota inti (core group) yang ikut merancang New York Declaration, sebuah dokumen yang memberi peta jalan menuju implementasi solusi dua negara.
Realisme politik dan jalan tengah
Menariknya, Prabowo menambahkan dimensi baru dalam pidatonya. Ia menyampaikan bahwa Indonesia akan mengakui Israel begitu Palestina diakui dan merdeka. Bagi sebagian kalangan, pernyataan ini mungkin terdengar mengejutkan, bahkan kontroversial. Namun jika ditelaah lebih dalam, sikap tersebut justru menggambarkan realisme politik luar negeri Indonesia.
Dunia internasional membutuhkan jembatan, bukan sekadar barisan pendukung salah satu pihak. Dengan menyatakan kesiapan mengakui Israel pasca pengakuan Palestina, Indonesia ingin menegaskan bahwa perdamaian bukanlah permainan zero-sum, tetapi proses win-win yang memberi jaminan bagi Israel sekaligus kemerdekaan bagi Palestina. Inilah yang disebut Prabowo sebagai “tanggung jawab sejarah”.
Sikap ini konsisten dengan semangat Pancasila yang menolak ekstremisme, baik dalam bentuk radikalisme yang mengingkari keberadaan Israel, maupun hegemoni yang menolak hak hidup Palestina. Pancasila menjadi sumber moderasi warga (civic moderation), di mana keadilan dan kemanusiaan, serta kemerdekaaan dan kedamaian, berdiri berdampingan dengan pengakuan atas realitas global.
Meski demikian, jalan menuju solusi dua negara tidak mudah. Sejarah panjang konflik Israel–Palestina penuh dengan kegagalan perundingan, pelanggaran kesepakatan, serta siklus kekerasan yang terus berulang. Banyak negara telah menyuarakan dukungan, tetapi implementasi di lapangan kadang, bahkan sering terganjal oleh politik domestik Israel, perpecahan internal Palestina, dan rivalitas geopolitik di Timur Tengah.
Pidato Prabowo memang menegaskan komitmen, namun tantangan berikutnya adalah bagaimana Indonesia mengkonversi retorika menjadi aksi nyata. Salah satu tawaran yang disampaikan adalah kesiapan mengirim pasukan penjaga perdamaian.
Ini sejalan dengan rekam jejak Indonesia sebagai salah satu kontributor terbesar bagi misi perdamaian PBB. Namun lebih dari sekadar pasukan, Indonesia perlu memainkan peran diplomatik yang aktif, dengan memfasilitasi dialog lintas pihak, mendorong konsensus di antara negara-negara Muslim, serta menggalang dukungan di blok non-blok maupun G20.
Pidato di New York juga penting dibaca dalam konteks politik luar negeri Indonesia. Selama dua dekade terakhir, peran Indonesia dalam isu global sering dinilai “aman” dan moderat, dengan fokus pada diplomasi ekonomi. Namun sikap Prabowo ini menunjukkan bahwa Indonesia siap mengambil risiko politik demi prinsip keadilan internasional.
Ada dua makna penting. Pertama, Indonesia ingin menegaskan diri sebagai middle power yang mampu menjembatani dunia Barat dan dunia Muslim. Kehadiran di forum internasional bergengsi dengan posisi berbicara di awal daftar pembicara menunjukkan pengakuan atas peran strategis Indonesia.
Kedua, Indonesia mencoba merumuskan pendekatan baru dalam isu Palestina yang lebih konstruktif dan tidak hanya retorik. Sikap untuk mengakui Israel “dengan syarat” adalah terobosan yang menempatkan Indonesia pada posisi unik di antara negara-negara Asia dan Timur Tengah.
Momentum terbaik
Yang juga penting dicatat adalah dimensi moral pidato Prabowo. Ia menggunakan diksi yang lugas, bahwa “perdamaian sekarang, perdamaian segera, kita butuh perdamaian.” Bagi saya ini bukan sekadar slogan, tetapi ajakan untuk mengakhiri tragedi kemanusiaan yang terlalu lama dibiarkan. Dengan diksi itu, Indonesia ingin menggugah nurani dunia, bahwa isu Palestina tidak boleh lagi dipandang semata konflik regional, tetapi soal krisis kemanusiaan global.
Pidato itu juga menjadi momentum bagi bangsa Indonesia sendiri. Di tengah kompleksitas politik domestik dan tantangan ekonomi, suara Presiden di forum dunia mengingatkan kembali misi konstitusional bangsa ini, yaitu ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
Konferensi Internasional di PBB hanyalah satu langkah dari perjalanan panjang menuju perdamaian Palestina. Namun pidato Presiden Prabowo Subianto telah memberi warna baru, yaitu konsistensi historis Indonesia, realisme politik luar negeri, dan komitmen moral untuk keadilan.
Apakah solusi dua negara akan segera terwujud? Itu masih menjadi tanda tanya besar. Namun satu hal jelas, Indonesia tidak akan tinggal diam. Dengan modal sejarah, prinsip Pancasila, dan posisi strategis di panggung dunia, Indonesia telah menegaskan diri sebagai penjaga perdamaian dunia. Dan pada akhirnya, seperti pesan yang diulang dalam pidato itu, kita memang membutuhkan perdamaian sekarang, perdamaian segera.
Comment