Galang Mario (Mahasiswa Pendidikan Seni Pascasarjana UNY)
Pemerintah tahun ini meluncurkan proyek besarnya tentang penulisan ulang sejarah nasional dengan melibatkan secara kolektif para sejarawan yang bertujuan mengoreksi narasi lama dari bias kolonial, penyesuaian dengan temuan baru, dan menegaskan identitas dan rasa kebangsaan.

Namun, tidak dapat dimungkiri akan kritik yang bermunculan, beberapa yang menganggap prosesnya kurang transparan, berpotensi menghasilkan satu tafsir yang dominan, bahkan bisa menjadikan sejarah sebagai alat legitimasi kekuasaan.
Melihat kebelakang sejarah Indonesia sering kali ditulis hanya berfokus pada peperangan, perubahan kekuasaan, atau semangat nasionalisme yang terukir sebagai narasi resmi, di mana bangsa seakan dikenal dengan aksi heroiknya, monumen pahlawan, dan data-data peperangan.
Catatan-catatan tersebut tampak dalam bentuk yang kaku dan linear, hanya menggambarkan peristiwa besar yang berkaitan dengan perang, pergantian rezim dan peristiwa politik. Sejarah seringkali didominasi oleh narasi politik dan formalistik tanpa pendekatan historigrafi dari bawah seperti istilah dari Tompshon “History From Blow” (1966) yang fokus penekanannya pada pengalaman dan perspektif masyarakat.
Ada sebuah idiom “sejarah ditulis oleh para pemenang.”, menjadi aforisme yang tidak jelas asal usulnya namun digunakan untuk memberikan legitimasi penguasa dalam menarasikan sejarah menurut versinya. Bagi Walter Benjamin dalam esainya berjudul Theses on the Philosophy of History (1940) menyatakan bahwa sejarah bukan sekadar kronologi peristiwa tapi ladang konflik ide dan kekuasaan.
Demikian bagi Michel Foucault dalam bukunya Power/knowledge (1980) tentang wacana kuasa dan pengetahuan, bahwasanya sejarah selalu menjadi medan pertempuran wacana, bukan sekadar arsip netral. Sejarah menjadi catatan berpihak tentang masa lalu pada medan perebutan makna antara penguasa dan yang tertindas. Dalam hal ini menegaskan bahwa sejarah menjadi panggung tunggal bagi para pemenang.
Kronik sejarah tersebut penuh dengan gejolak politik, namun jarang menyentuh sisi puitik yang turut menyertai lahirnya bangsa ini. Pahlawan-pahlawan kita dikenang melalui pahatan nama pada monumen, sementara jejak gamelan, kacaping hingga permainan tifa yang berkembang di bawah bayang-bayang kolonialisme, atau karya pelukis yang menyoal sekaligus menggambarkan kegetiran zaman di atas kanvas hampir selalu absen.
Begitu pun karya para sastrawan misalnya pramoedya dengan ungkapan jujur dan estetik dalam menyoroti perjuangan dan sejarah indonesia lewat novelnya pun terabaikan, serta puisi-puisi kebangsaan yang mungkin hampir terlupakan. Demikian Historiografi kita, ibarat seperti peta yang hanya mencatat sungai dan batas wilayah, tanpa menangkap aroma hutan, alunan suara alam, dan perubahan batin yang lahir dari seni.
Jarangnya pembahasan terkait bagaimana pemenang selalu dipandang dari sisi politik, tanpa pernah ada perubahan dalam cara memaknai istilah itu. Akibatnya, seni dan estetika selalu terpinggirkan dari catatan dan panggung sejarah peradaban.
Dalam wacana publik, sejarah hanya dipandang sebagai serangkaian peristiwa berupa daftar kejadian yang menyerupai bentuk peperangan, pemberontakan, pembangunan, dan ragam statistik kaku, namun seringkali bungkam tentang bagaimana bangsa ini belajar merasakan keindahan, menciptakan simbol budaya, dan menumbuhkan cita rasa.
Bahwasanya kita bertumbuh dengan ingatan yang pincang, demikian kita tahu betul siapa yang memimpin peperangan, tetapi hampir melupakan siapa yang memelihara nilai dan moral serta menjaga jiwa bangsa melalui kesenian. Katakanlah Seniman yang dibuang dan penulis yang diasingkan adalah bagian tak terpisahkan dari sejarah bangsa.
Tanpa kisah mereka, sejarah hanya menjadi catatan kaku tanpa makna emosional. Bhabha menerangkan posisi tersebut dalam konsep Third Space dalam bukunya The Location of Culture (1994), seperti halnya seni berada pada ruang negosiasi dimana pengalaman kolektif tentang kebangsaan dan nilai budaya dinegosiasikan.
Sejarah yang demikian seringkali terlepas dari dimensi yang lebih halus, seperti halnya seni dan kebudayaan yang seharusnya menjadi cermin jiwa bangsa, sering dipinggirkan dalam historiografi. Jika kita ingin membangun pemahaman yang lebih utuh tentang bangsa ini, penting bagi kita untuk membuka kembali arsip kesenian dan memandang sejarah melalui lensa estetika.
Tanpa keberanian untuk membuka diri pada dimensi emosional, imajinatif, dan estetis, hasil yang muncul hanya akan menjadi versi lain dari “sejarah pemenang” sekadar memperindah monumen kekuasaan.
Seperti yang diingatkan Hannah Arendt dalam Between Past and Future (1961), Tanpa kesadaran akan estetika dan seni, sejarah hanya mengulangi kronika keruh jelaga kekuasaan, bukan mengingat kemanusiaan. Mengabaikan seni dan estetika berarti membiarkan kekuasaan beroperasi dengan diam-diam, menghapus lapisan kepekaan yang lebih dalam daripada sekadar fakta atau kenyataan.
Menemukan kembali seni dalam historiografi Indonesia
Sejarah kita sejak awal dibangun dengan pendekatan cukup sempit, seolah hanya urutan dan kronologi peristiwa yang dianggap sebagai hal yang sah, sementara dimensi sinkronik dari pancaran sinar yang tercermin dalam seni dan kebudayaan seringkali terpinggirkan layaknya tamu asing yang dikesampingkan.
Michel Foucault dalam bukunya The Order of Things (1966) menyatakan bahwa arsip sebagai penentu apa yang layak dianggap sebagai pengetahuan dan apa yang dibuang ke dalam kebekuan. Demikian arsip sejarah Indonesia yang cenderung mengutamakan determinasi faktual seperti politik, pergantian rezim, dan perang yang membungkam narasi lurus serta menutup diri dari sintesis cakrawala yang lebih luas antara pengalaman lahir dan batin yang tercermin dan berdiam dalam karya seni.
Jika hanya mendengarkan sejarah Perang Diponegoro, Perang Padri, Perang Makassar, Bandung Lautan Api, Pertempuran Ambarawa dan lain sebagainya, Di situ pun kita kehilangan kisah mistik, cerita rakyat, motif batik atau puitika tradisi yang menyimpan katarsis kolektif. Warisan kolonialisme yang kita bawa selama ini mengadopsi paradigma positivistik yang hanya menghargai hal-hal yang terukur dan tercatat sebagai sesuatu yang berharga.
Setelah merdeka, negara ini yang masih rapuh pun berusaha membangun identitas melalui simbol-simbol kekuasaan berupa kepahlawanan, garis depan perjuangan, dan aksi-aksi heroik tanpa kearifan lokal sebagai pondasi karakter bangsa. Di saat pendidikan, seni dan kebudayaan tidak mendukung legitimasi politik kekuasaan, maka segera diabaikan. Padanya hanya menjadi sebuah catatan kaki bahkan posisinya dapat dihapus.
Nietzsche dalam bukunya The Birth of Tragedy (1872) telah memperingatkan bahwa peradaban yang hanya mengagungkan rasionalitas Appilonian sementara mengabaikan energi vital Dionysian dalam seni pastinya akan kehilangan daya vitalnya atau kekuatan hidup.
Ia menegaskan bahwa kita memiliki seni untuk menghindari kepunahan akibat kebenaran. Demikian pernyataan menarik dari Kasiyan (2025) bahwa Seni bukanlah pelarian dari kenyataan yang penuh penderitaan melainkan cara untuk menghadapi, merasakan dan mengubahnya.
Pada buku pelajaran kita khususnya sejarah, ketidakhadiran seni sangat jelas. Di mana halaman-halaman panjang dipenuhi dengan cerita tentang perang, perjanjian politik, dan konfrontasi ideologis. Namun perjalanan wayang, kisah La Galigo, ukiran toraja, reformasi seni rupa atau eksperimen sastra modern sama sekali tidak ada, seolah-olah terabaikan.
Padahal, artefak-artefak ini menyimpan getaran imajinasi kolektif, katarsis, dan semangat yang membantu bangsa ini memahami ruang, waktu, dan alam semesta serta kesadaran identitasnya dengan lebih mendalam. Tanpa kesadaran estetis, sejarah hanya menjadi deretan nama dan penanggalan beku seperti prasasti yang terukir tanpa jiwa.
Bayangkan sebuah buku sejarah yang tidak hanya menyebut Chairil Anwar sebagai penyair kemerdekaan, tetapi juga menggambarkannya sebagai titik pertemuan antara modernisme global dan perjuangan lokal, atau narasi tentang wayang yang menggabungkan metafisika, politik, dan katarsis rakyat.
Begitu pula, arsitektur masjid dan pura tidak hanya dipahami dari segi teknis, tetapi sebagai jejak spiritual yang membentuk ruang kehidupan. Sejarah yang menggabungkan dimensi sinkronik dan diakronik seperti ini akan membebaskan kita dari pandangan sempit dan determinisme yang membatasi imajinasi kita.
Maka Seni, baik dalam bentuk lukisan, musik, tari, maupun sastra, memiliki peran yang sangat penting dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Akan tetapi, sejarah kita seringkali terjebak dalam narasi yang terbatas pada kejadian-kejadian yang dianggap monumental. Meskipun peristiwa-peristiwa penting dalam sejarah bangsa telah tercatat dengan baik, perjalanan panjang kebudayaan, ekspresi seni, dan simbolisme yang tercipta dalam masyarakat hampir tidak pernah mendapat tempat yang cukup dalam historiografi.
Historiografi yang mencakup estetika menunjukkan bahwa bangsa ini lebih dari sekadar kemenangan dan kekalahan, tetapi juga sebuah entitas yang terus membentuk identitasnya melalui gejolak dan keheningan. Di banyak buku sejarah, kita mungkin membaca tentang Perang Diponegoro, Revolusi Kemerdekaan, atau jatuhnya rezim Orde Baru, namun kita jarang mendengar tentang bagaimana masyarakat merasakan dan menghidupkan perasaan mereka melalui karya seni di masa-masa tersebut.
Memang penting kritik terhadap sejarah nasional yang sering kali berfokus pada bias kolonial dan politik tetapi jarang sekali ada yang menyoroti seni dan estetika untuk ditampilkan dalam narasi resmi. Sementara seni, meskipun mungkin menang di hati rakyat tetap terpinggirkan oleh pemenang dalam pengertian klasik dari rezim politik dan kekuasaan. Poisisinya terkalahkan dalam historiografi kebudayaan.
Maka sangat penting menjadi perhatian, jika kita tidak memulai merevisi arsip, bukan hanya dengan menambah bab baru, tetapi dengan mengubah cara kita memandang masa lalu, maka kita akan terus mewariskan sejarah yang kehilangan rasa, bisu terhadap keindahan, dan tak mampu memahami bahwa peristiwa besar bukan hanya tentang apa yang terjadi, tetapi bagaimana masyarakat merasakannya.
Cara yang mungkin dapat dilakukan yakni dengan merangkul kesenian dalam historiografi kita atau menghidupkan arsip kesenian. Sejarah tidak hanya mencatat apa yang terjadi, tetapi juga melibatkan bagaimana kekuasaan dan pengetahuan bersinggungan.
Dalam hal ini, seni adalah cara lain untuk mendokumentasikan sejarah, memberikan makna pada pengalaman kolektif, dan menjadi medium di mana masyarakat dapat mengolah emosi dan rasa mereka terhadap perubahan zaman. Oleh karena itu, untuk memahami sejarah Indonesia secara lebih mendalam, kita harus mulai memperhatikan seni sebagai bagian integral dari narasi sejarah, bukan sekadar ornamentasi pelengkap.
Menghidupkan arsip kesenian dalam sejarah Indonesia
Mengembalikan seni ke dalam sejarah bukan hanya soal menambah catatan, tetapi juga mengubah cara kita melihat perjalanan bangsa. Selama ini, arsip lebih fokus pada kemenangan politik dan peristiwa penting, mengabaikan dimensi seni yang mencerminkan kompleksitas pengalaman kolektif.
Seperti yang diingatkan Edward Said dalam Culture and Imperialisme (1993) bahwa setiap sejarah merupakan seleksi yakni apa yang diangkat dan disenyapkan selalu ditentukan oleh relasi kuasa. Dalam relasi tersebut seperti artefak budaya yang berisi kearifan lokal dengan nilai-nilai luhur baik hanya dianggap sebagai hiasan ornamen bukan bukti kecerdasan historis yang menggambarkan denyut batin masyarakat yang kritis.
Mengapa kita jarang membaca sejarah melalui aroma tanah basah yang mengiringi ritus panen, atau melalui garis ekspresif seniman yang merekam luka kolektif? Karena cara pandang kita masih menempatkan estetika di pinggir, seolah-olah tidak memiliki bobot epistemik yang bisa menggali kedalaman pengalaman manusia dalam lintasan waktu.
Proyek penulisan ulang sejarah nasional pada 2025 memberi peluang untuk mengatasi bias lama, namun prosesnya perlu lebih inklusif agar tidak hanya menciptakan “sejarah pemenang.” Tanpa memasukkan dimensi estetis dan emosional, sejarah menjadi catatan kekuasaan yang dingin. Sejarah harus memperhitungkan seni sebagai cara untuk menggali kedalaman pengalaman manusia, bukan hanya menyajikan fakta.
Dan Tugas sejarawan bukan hanya menata ulang fakta, tetapi juga memulihkan makna yang terkandung dalam karya seni. Sejarah yang hidup adalah sejarah yang mengakui pentingnya puitika, irama, dan simbol, karena seni memberi ruang untuk memahami makna yang lebih dalam dari sekadar kejadian.
Hal ini sejalan dengan pernyataan dari R.G. Collingwood dalam The Idea of History (1946) pernah menegaskan bahwa tugas sejarawan adalah untuk menghidupkan kembali dalam pikirannya pemikiran yang sedang dipelajarinya,” sebuah penekanan bahwa sejarah sejati melibatkan kehadiran kembali jiwa dan makna.
Tanpa itu, kita hanya menyalin daftar kejadian yang dingin, meninggalkan generasi mendatang dengan arsip yang tidak mampu menangkap getaran kehidupan. Sejarah yang membebaskan adalah sejarah yang memberi ruang bagi seni dan estetika untuk berbicara, sebagaimana sejak awal seni berbicara kepada manusia yang mencari makna di setiap saat.
Salah satu tantangan besar dalam menulis sejarah Indonesia adalah mendekonstruksi cara pandang kita yang terlalu terfokus pada narasi faktual dan politik, sementara mengabaikan dimensi emosional dan estetika. Arsip kesenian, yang mencakup karya seni tradisional seperti wayang kulit, gamelan, batik, atau seni lukis, seharusnya tidak hanya dianggap sebagai objek budaya semata, tetapi sebagai dokumen hidup yang merekam ingatan kolektif masyarakat Indonesia.
Dengan menghidupkan kembali arsip-arsip ini, kita dapat melihat bagaimana seni menyuarakan perasaan, pergolakan, dan harapan masyarakat pada masa-masa tertentu, yang sering kali tidak terungkap dalam kronologi resmi sejarah. Salah satu contoh yang menggugah misalnya arsip dari seni pertunjukan. Selain sebagai hiburan, juga berfungsi sebagai sarana untuk mengungkapkan ideologi, kritik sosial, dan nilai-nilai moral yang mendalam.
Sejarawan dan sosiolog budaya harus melibatkan diri dalam analisis seni tersebut bukan hanya sebagai media pertunjukkan semata, tetapi juga sebagai dokumen sejarah yang mencerminkan kondisi sosial dan politik pada masanya. Begitu pula dengan seni musik, seperti keroncong atau gamelan, yang tidak hanya berfungsi sebagai hiburan, tetapi juga memiliki kekuatan untuk menyampaikan pesan-pesan sosial dan politik yang sangat relevan dengan konteks zaman.
Selain itu, seni lukis, yang mungkin terpinggirkan dalam banyak historiografi, menyimpan potensi besar untuk memahami sejarah sosial Indonesia. Lukisan-lukisan dari periode kolonial, misalnya, bisa mengungkapkan bagaimana seniman melihat dan merespons kondisi sosial, politik, dan budaya pada masa itu. Begitu pula dengan seni kontemporer yang saat ini berkembang, sering kali menjadi medium kritis untuk menanggapi isu-isu sosial politik dan lingkungan saat ini.
Peran arsip kesenian dalam memelihara memori kolektif
Seni adalah cara untuk membuka pengetahuan, yang menurut Merleau-Ponty dalam Eye and Mind (1964), lahir dari “penglihatan yang mengandung pemahaman.” Dalam pandangan ini, seni bukan sekadar memperindah atau memberi ornamen pada masa lalu; ia menembus lapisan kronologi, mengurai simpul emosi, ingatan, dan makna yang sering tersembunyi di balik fakta-fakta.
Melalui sensitifitas estetis, sejarah menjadi lebih dari sekadar laporan tentang apa yang terjadi, membuka ruang tafsir yang memulihkan pengalaman manusia dan menghadirkan denyut batin yang tidak bisa dijangkau oleh catatan yang hanya mendokumentasikan peristiwa. Arsip kesenian memiliki peran yang sangat penting dalam menjaga memori kolektif bangsa.
Sebagai artefak budaya, karya seni tidak hanya merekam peristiwa-peristiwa besar, tetapi juga menangkap nuansa kehidupan sehari-hari, perasaan, dan ideologi masyarakat pada waktu tertentu. Arsip kesenian dapat memberikan wawasan yang lebih dalam tentang bagaimana masyarakat merespons peristiwa sejarah, serta bagaimana mereka menginterpretasikan dan memaknai pengalaman kolektif mereka.
Namun, untuk dapat mengakses nilai sejarah dari arsip kesenian ini, kita perlu mengubah cara pandang kita terhadap seni dan budaya. Arsip kesenian tidak hanya dapat dilihat sebagai koleksi indah yang dipajang di museum atau galeri seni, tetapi juga sebagai sumber pengetahuan yang berharga untuk memahami perubahan sosial dan politik.
Oleh karena itu, penting bagi kita untuk mengarsipkan, melestarikan, dan menafsirkan karya seni sebagai bagian dari sejarah yang hidup, yang dapat terus memberi wawasan dan makna bagi generasi mendatang. Dalam konteks ini, Sejarah Indonesia harus mampu membuka ruang untuk seni dan kebudayaan, mengakui bahwa seni adalah bagian dari sejarah yang tak terpisahkan dari perkembangan sosial politik.
Historiografi yang inklusif harus mampu menghargai seni sebagai bagian dari pengetahuan, tidak hanya sebagai pelengkap atau hiasan semata. Selain itu, kita perlu lebih dari sekadar menambah bab dalam buku sejarah, membongkar kebekuan arsip yang mengabaikan pengalaman estetis.
Sejarah harus mencakup karya seni, seperti catatan pelukis atau mural jalanan, yang mengekspresikan pengalaman kolektif. Sebab Seni adalah medium dari cerita yang membentuk komunitas, dan jika estetika terus terpinggirkan, sejarah menjadi datar dan kehilangan jiwa.
Mengintegrasikan seni dalam historiografi membuka ruang bagi interpretasi yang lebih luas tentang bangsa ini, bukan hanya berdasarkan kemenangan politik, tetapi juga bagaimana kita mengolah penderitaan menjadi seni yang bermakna.
Dengan memasukkan dimensi estetis, sejarah tidak hanya menjadi kronologi, tetapi juga ruang makna yang memulihkan pengalaman manusia, memperlihatkan bagaimana seni berfungsi sebagai kritik terhadap kekuasaan dan sejarah yang menyertakan seni membuka cakrawala baru dan memberi makna pada perjalanan bangsa.
Demikian Historiografi Indonesia yang sesungguhnya harus mampu menghidupkan kembali seni sebagai bagian integral dari narasi sejarah. Dalam perjalanan panjang bangsa ini, seni tidak hanya merekam apa yang terjadi, tetapi juga mengungkapkan bagaimana masyarakat merasakan dan menghidupkan peristiwa-peristiwa tersebut.
Dengan memperkenalkan arsip kesenian dalam penulisan sejarah, kita tidak hanya memperluas cakrawala pengetahuan, tetapi juga merayakan kekayaan budaya yang telah melahirkan narasi kolektif bangsa ini. Sejarah yang hanya menceritakan kronologi peristiwa akan selalu terasa kering dan kehilangan makna.
Sejarah yang mengakui seni dan estetika sebagai bagian dari dirinya akan menjadi lebih manusiawi, lebih kaya, dan lebih hidup. Oleh karena itu, sudah saatnya kita membuka ruang yang lebih besar bagi arsip seni dalam historiografi Indonesia, menyadari bahwa karya seni adalah salah satu bentuk pengetahuan yang mampu memberi makna lebih dalam tentang perjalanan bangsa ini.
Art is the lie that enables us to realize the truth (Pablo Picasso)
Comment