Etika Retak di Rumah Demokrasi: Refleksi atas Putusan MKD dan Krisis Kepercayaan Publik

Asratillah (Direktur Profetik Institute)

Kronologi yang menggores wajah parlemen

Demokrasi, dalam bentuknya yang paling telanjang, selalu membutuhkan ruang kepercayaan. Namun pada awal November 2025, ruang itu kembali diguncang oleh keputusan Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) terhadap sejumlah anggota DPR, termasuk Ahmad Sahroni, Nafa Urbach, Eko Patrio dan Uya Kuya. Publik menyaksikan bagaimana lembaga yang seharusnya menjadi penjaga moral politik justru terlihat seperti menimbang kepentingan di antara sesama rekan, bukan keadilan etis di mata publik.

ads

Kasus ini bermula dari laporan pelanggaran etik yang melibatkan beberapa figur publik yang juga politisi, dilaporkan karena dugaan pelanggaran etik terkait perilaku dan pernyataan yang dianggap tidak pantas dan merendahkan marwah lembaga.

Setelah serangkaian sidang etik, MKD akhirnya memutuskan memberikan sanksi ringan. Tidak ada pemecatan, tidak ada pemberhentian sementara, hanya teguran. Seolah etika politik bisa direduksi menjadi basa-basi birokrasi.

Reaksi publik pun mengalir deras. Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) menilai MKD “cenderung menyelamatkan rekan sendiri.” Pandangan ini bukan tuduhan kosong, melainkan refleksi dari rasa lelah publik terhadap pola berulang, bahwa lembaga pengawas etik parlemen sering kali berubah menjadi pagar yang justru melindungi pelanggar etika, bukan menjaganya.

Media nasional, dari Liputan6 hingga Kompas, memuat nada yang seragam—ada kekecewaan, ada ironi. Seorang anggota MKD pernah mengatakan, “Kami sudah memberi sanksi, itu bentuk tanggung jawab kami.” Namun publik mendengar kalimat itu seperti gema kosong di lorong kekuasaan yang sudah lama tidak punya cermin moral.

Yang retak bukan hanya kredibilitas MKD, tetapi juga simbolisme etika itu sendiri. Parlemen, yang seharusnya menjadi rumah bagi kehormatan politik, justru tampak seperti rumah kaca yang rapuh oleh pukulan kecil dari tangan-tangan sendiri.

Kekecewaan publik kali ini bukan sekadar karena jenis sanksinya, tetapi karena ketidakhadiran prinsip moral yang otentik. Dalam politik yang telah terbiasa dengan drama, publik masih berharap menemukan fragmen kebenaran—namun di sini, yang tersisa hanya formalitas.

Krisis kepercayaan terhadap MKD ini mencerminkan gejala yang lebih dalam, bahwa politik representatif kita sedang kehilangan raison d’être-nya. Di tengah krisis ekonomi, disinformasi, dan menurunnya partisipasi publik, tindakan lembaga etik seharusnya menjadi kompas moral yang mengembalikan arah demokrasi. Tetapi keputusan MKD justru mempertegas bahwa kompas itu kini kehilangan fungsinya.

Membaca krisis etika

Dalam The Democratic Paradox (2000), Chantal Mouffe menulis sesuatu yang cukup relevan bagi politik kita hari ini, demokrasi selalu hidup di tepi jurang antara konflik dan konsensus. Tidak ada demokrasi tanpa pertarungan nilai. Namun ia mengingatkan—konflik itu harus dirawat, bukan disingkirkan.

Bagi Mouffe, demokrasi yang sehat bukanlah demokrasi yang damai secara palsu, melainkan demokrasi yang mampu menyalurkan konflik dalam bentuk yang agonistik, bukan antagonistik. Artinya, lawan politik tidak dihapus, tapi diakui sebagai “adversary”, bukan “enemy”.

Dalam konteks ini, tindakan MKD yang memberi sanksi ringan pada Sahroni dan Uya Kuya tampak seperti usaha menghapus konflik. Alih-alih mengakui ketegangan moral yang muncul dari tuntutan publik—yakni pertanyaan sederhana tentang integritas—MKD memilih menenangkan suasana.

Mereka menghindari perbedaan nilai yang seharusnya menjadi ruang refleksi, dan menggantinya dengan prosedur teknokratis. Itulah yang oleh Mouffe disebut sebagai “the post-political condition”—suatu keadaan di mana politik kehilangan daya hidupnya karena segala perbedaan dipoles menjadi “kesepakatan bersama.”

Dalam logika Mouffe, MKD telah menolak dimensi agonistik dari demokrasi. Mereka menganggap tuntutan publik sebagai gangguan, bukan bagian sah dari percakapan politik. Padahal publik yang marah, kecewa, dan kritis adalah ekspresi politik yang paling jujur.

Demokrasi, bagi Mouffe, bukanlah upaya mencapai harmoni, tetapi seni mengelola permusuhan agar tetap berada dalam batas-batas institusional. Ketika MKD memilih konsensus formal di atas pertarungan moral, mereka justru menyingkirkan roh demokrasi itu sendiri.

Lebih jauh, konflik etika ini memperlihatkan bagaimana rationalism of procedure telah menggantikan ethics of responsibility. Mouffe, dalam karya lanjutannya On the Political (2005), menyebut bahwa proyek demokrasi liberal sering kali menghapus politik menjadi sekadar administrasi.

MKD, dengan gaya teknokratisnya, memperlihatkan kecenderungan itu dengan jelas, bahwa yang penting adalah “menyelesaikan kasus,” bukan “memaknai tanggung jawab.” Dengan begitu, etika pun tereduksi menjadi urusan mekanis, bukan ruang refleksi.

Di sisi lain, Jürgen Habermas dalam The Structural Transformation of the Public Sphere (1962) memberi cara pandang lain yang memperdalam luka ini. Bagi Habermas, demokrasi hanya bisa hidup jika komunikasi antara penguasa dan warga berlangsung dalam “ruang publik rasional-kritis”—ruang di mana argumentasi mengalahkan dominasi.

Tapi hubungan antara MKD dan publik hari ini tak lagi berbasis argumentasi, melainkan berbasis pengelolaan citra. Keputusan etika disampaikan seperti rilis pers, bukan sebagai hasil dialog terbuka. Habermas menyebut keadaan seperti ini sebagai “kolonisasi dunia kehidupan” oleh sistem kekuasaan, ketika logika birokrasi menggantikan dialog moral.

MKD memang berkomunikasi—tetapi tidak berinteraksi. Mereka menjelaskan keputusan, tetapi tidak mendengar pertanyaan. Dalam komunikasi politik yang sehat, ruang publik berfungsi sebagai arena timbal balik antara warga dan lembaga.

Namun dalam kasus ini, ruang publik justru menjadi penonton, bukan mitra deliberasi. Seperti teater dengan panggung tertutup, publik hanya bisa menatap dari luar, tanpa kesempatan untuk bertanya, “Mengapa moralitas politik begitu murah harganya?”

Manuel Castells, dalam Communication Power (2009), membawa refleksi ini ke era digital. Ia menyebut bahwa kekuasaan di era jaringan terbentuk melalui framing of meaning—perebutan makna melalui komunikasi yang saling terhubung. MKD mungkin memiliki otoritas formal, tetapi publik memiliki kekuasaan naratif.

Dalam dunia yang sepenuhnya terhubung, legitimasi tidak lagi dimonopoli oleh lembaga, melainkan dinegosiasikan secara horizontal melalui opini publik. Kritik Formappi, sindiran warganet, hingga liputan media, semuanya menjadi bentuk counter-power yang mengikis otoritas MKD.

Jika kita memakai istilah Castells, MKD gagal mengelola the communication power—mereka kehilangan kendali atas narasi moralnya sendiri. Dalam situasi ini, legitimasi etika bukan lagi soal keputusan hukum, tetapi soal credibility yang dibangun melalui keterbukaan dan empati. Publik tidak menuntut MKD sempurna, tetapi menuntut kejujuran untuk mengakui bahwa kehormatan lembaga hanya berarti sejauh lembaga itu berani dikritik.

Ada ironi besar di sini, lembaga yang bernama “Mahkamah Kehormatan Dewan” justru terperangkap dalam logika saving face. Mereka menjaga “kehormatan” sebagai simbol, bukan sebagai praksis moral. Dalam pengertian Hannah Arendt dalam The Human Condition (1958), tindakan politik sejati hanya lahir dari appearance—yakni keberanian untuk tampil di hadapan publik dengan tanggung jawab atas tindakan sendiri.

Politik adalah panggung keterbukaan, bukan tempat bersembunyi. Tapi MKD, dalam kasus ini, justru menghindari penampakan moral. Mereka bertindak di balik layar prosedur, dan dalam ketertutupan itulah kehormatan mereka memudar.

Di sinilah refleksi etis kita bermuara, bahwa demokrasi yang menolak konflik berarti menolak diri sendiri. Dan ketika MKD menolak untuk mengakui konflik nilai di hadapan publik, mereka sebenarnya sedang menghapus denyut kehidupan politik itu sendiri. Yang tersisa hanyalah suara prosedur tanpa nurani—politik tanpa politik.

Menyulam ulang kepercayaan publik

Dari luka etika yang cukup menganga ini, kita perlu memulai penjahitan ulang kepercayaan publik terhadap lembaga legislatif. Demokrasi tidak bisa diselamatkan dengan pidato moral, ia harus dipulihkan melalui reformasi praksis yang nyata.

Pertama, MKD perlu menegaskan kembali mandat moralnya. Lembaga ini bukan sekadar internal ethics board yang bekerja untuk DPR, tetapi seharusnya menjadi guardian of public trust. Reformasi etik tidak cukup berhenti pada prosedur, tetapi harus mengandung prinsip transparansi deliberatif.

Misalnya, setiap proses pemeriksaan etik dapat disiarkan secara terbuka, dengan ruang partisipasi bagi masyarakat sipil. MKD harus berani menjadikan dirinya accountable to the people, bukan hanya kepada lembaga.

Kedua, lembaga legislatif perlu menumbuhkan kembali budaya ethical accountability di antara anggotanya. Hal ini bisa dimulai dengan penguatan pendidikan politik internal yang menekankan moralitas publik, bukan sekadar loyalitas partai.

Sebagaimana dikatakan oleh Pierre Rosanvallon dalam Counter-Democracy (2008), demokrasi modern tidak hanya bekerja melalui pemilihan, tetapi juga melalui mekanisme pengawasan dan evaluasi moral yang terus-menerus. Dalam konteks ini, parlemen perlu mengakui bahwa legitimasi politik tidak hanya lahir dari suara rakyat di bilik suara, tetapi juga dari perilaku sehari-hari yang mencerminkan tanggung jawab etik.

Ketiga, bagi masyarakat sipil, tanggung jawab kini lebih besar dari sebelumnya. Pengawasan kritis bukan sekadar reaksi moral di media sosial, tetapi juga harus menjadi gerakan epistemik—gerakan yang membangun pemahaman publik tentang apa itu “etika politik.”

LSM, akademisi, jurnalis, dan komunitas digital perlu menghidupkan kembali wacana politik yang rasional dan beradab, melampaui sinisme. Demokrasi tidak akan matang tanpa publik yang sabar memelihara perdebatan moralnya sendiri.

Dalam bahasa Mouffe, masyarakat sipil harus terus menjadi the adversarial partner bagi kekuasaan—menantang, bukan membenci. Dalam bahasa Habermas, masyarakat harus menjaga ruang publik tetap terbuka, agar komunikasi tidak tersumbat oleh birokrasi.

Dan dalam semangat Castells, masyarakat perlu menggunakan jaringan komunikasi untuk membangun counter-power—kekuatan moral yang menegakkan akuntabilitas melalui pengetahuan dan solidaritas digital.

Krisis etika ini, pada akhirnya, bisa menjadi momentum. Mungkin inilah saatnya kita menyadari bahwa demokrasi Indonesia sedang menua, dan seperti orang tua, ia perlu cermin baru untuk melihat wajahnya sendiri. MKD telah memperlihatkan bagaimana lembaga bisa kehilangan arah ketika etika hanya dijadikan simbol. Namun publik juga ditantang: apakah kita akan terus menjadi penonton yang sinis, atau menjadi warga yang bersuara?

Etika politik sejatinya bukan milik lembaga, melainkan milik publik. Dan selama rakyat masih berani bertanya “mengapa keadilan terasa berat sebelah?”, selama itu pula demokrasi masih bernapas. Barangkali MKD telah gagal dalam menjaga kehormatan, tetapi kegagalan itu justru memperlihatkan betapa besar harapan masyarakat terhadap politik yang bekerja—politik yang tidak sekadar berbicara, tetapi bertindak dengan nurani.

Comment