Muhammad Suryadi R (Mahasiswa Pascasarjana IAIN Parepare)
Festival Budaya To Berru ke XIV yang digelar pada 23 hingga 25 November lalu kembali menghadirkan keramaian. Ribuan warga memadati alun alun, menikmati perayaan yang tahun ini dirangkai dengan Festival Aksara Lontaraq ke VI.

Tari Massal Colliq Pujie, Pertunjukan Silang Media, Instalasi Cahaya, Video Mapping, Ruang Publik Museum Colliq Pujie, Temu Karya Komunitas, hingga Workshop Integrasi Budaya dan Teknologi seolah menjadi rangkaian yang menegaskan bahwa masyarakat Barru belum kehilangan hubungan dengan akarnya.
Tetapi justru di tengah kemeriahan itu, muncul paradoks yang sulit dihindari. Kita merayakan warisan yang pelan pelan kita tinggalkan. Kita mengagungkan aksara yang nyaris tidak kita baca. Kita memuja figur yang pengetahuannya kita biarkan mengering. Festival menjadi panggung besar ingatan, tetapi pasca festival menghadirkan ruang hening yang menguji sejauh apa perayaan itu benar benar bekerja untuk masa depan.
Setiap tahun panggung dibangun dan tenda didirikan, tetapi pertanyaan mendasarnya tak pernah benar benar dijawab. Apakah festival cukup untuk menjaga warisan yang melemah dari hari ke hari. Bagaimana mungkin dentuman musik, kilau cahaya, dan ribuan unggahan media sosial dapat menggantikan literasi yang seharusnya hidup dalam ruang pendidikan. Di sinilah paradoksnya. Kita meriah ketika merayakan, tetapi mudah goyah ketika harus melestarikan.
Colliq Pujie diingat tapi tidak diwariskan
Nama Colliq Pujie selalu menjadi ikon dalam setiap gelaran budaya. Ia hadir dalam tarian, poster, sambutan, dan video dokumenter. Ia dijulang sebagai perempuan penyalin naskah besar, penyelamat I La Galigo, penjaga literasi Bugis. Namun penghormatan ini sering berhenti sebagai simbol tanpa kelanjutan. Banyak pelajar mengenalnya hanya sebagai figur seremonial, bukan sebagai pintu menuju tradisi intelektual.
Paradoks berikutnya muncul di sini. Karya Colliq Pujie telah melintasi benua, menjadi bahan kajian di Leiden dan Universitas Michigan. Para filolog internasional mengakui kontribusinya. Tetapi di kampung halamannya sendiri, kemampuan membaca Lontaraq tidak lagi menjadi keharusan dan pembiasaan. Yang bertahan hanya rasa bangga, bukan pengetahuannya.
Riset panjang Prof. Nurhayati Rahman, Guru Besar Universitas Hasanuddin, menegaskan gejala ini. Generasi muda Bugis melihat aksara Lontaraq sebagai ornamen visual bukan sebagai sistem pengetahuan. Mereka hafal lengkung hurufnya di mural, tetapi tidak menguasai struktur membaca dan tata bahasa yang membentuk literasi Bugis selama berabad abad. Padahal tanpa literasi Lontaraq, masyarakat kehilangan akses pada Pappaseng yakni ajaran nilai yang menjadi fondasi etika orang Bugis.
Di sinilah paradoks paling menonjol. Kita menyebut Colliq Pujie sebagai pewaris agung, tetapi tidak mewariskan keahliannya. Kita bangga dengan rajutan sejarah, tetapi tidak mengikatkan diri pada benang pengetahuan yang ditinggalkannya.
Aksara lontaraq dan sekat regulasi
Masalahnya tidak berhenti pada minat generasi muda. Ada sekat struktural yang membuat aksara Lontaraq selalu berada di pinggir sistem pendidikan. Permendikbud No 81A Tahun 2013 dan Permendikbud No 77 Tahun 2022 membuka ruang bagi muatan lokal, tetapi sekaligus menempatkan Lontaraq dalam kategori mata pelajaran tambahan tanpa standar kompetensi nasional.
Di satu sisi, Provinsi Sulawesi Selatan sebenarnya telah melangkah lebih jauh dengan mengesahkan Perda Nomor 5 Tahun 2023 tentang Literasi Aksara Lontaraq, Bahasa, dan Sastra Daerah. Tetapi Perda ini berhadapan dengan realitas yang jauh lebih keras bahwa tidak ada kewajiban jam belajar, tidak ada kurikulum baku, pelatihan guru masih terbatas, dan anggaran belum memadai.
Maka regulasi daerah berubah menjadi pernyataan moral yang tidak berdaya menghadapi birokrasi pendidikan nasional. Inilah ironi lain yang kita hadapi. Lontaraq diakui sebagai kekayaan, tetapi tidak diperjuangkan sebagai kebutuhan.
Ia diinginkan secara budaya, tetapi tidak diprioritaskan secara administratif. Hasilnya dapat ditebak. Banyak sekolah meminggirkan Lontaraq karena tidak memengaruhi kelulusan, tidak masuk dalam matriks penilaian nasional, dan tidak dianggap aman secara administratif. Ia kalah oleh pelajaran yang dianggap lebih strategis.
Sementara itu, gejala global memperkuat kegelisahan kita. UNESCO memperingatkan bahwa setiap dua minggu satu bahasa punah. Data Badan Bahasa mencatat setidaknya 11 bahasa daerah di Indonesia sudah hilang dan 25 lainnya berada dalam kondisi mengkhawatirkan. Bahasa Bugis masih bertahan, tetapi literasi tulisnya khususnya kemampuan membaca naskah kuno menurun drastis.
Kita merayakan aksara, tetapi perlahan melupakannya. Kita bangga sebagai pewaris, tetapi enggan memikul tanggung jawab pewarisan.
Festival dan pasca festival
Pertanyaan yang kini mendesak adalah apa yang tersisa setelah panggung dibongkar dan lampu dimatikan. Apakah festival menjadi awal atau justru penutup dari usaha pelestarian. Jika Festival Aksara Lontaraq ingin melampaui peran seremonial, tiga langkah kritis harus diperkuat dan harus diperjuangkan bersama-sama
Pertama, pemerintah daerah perlu memperjuangkan Lontaraq sebagai mata pelajaran lokal wajib dengan standar pembelajaran yang jelas. Pelestarian aksara bukan proses spontan. Langkah ini membutuhkan kurikulum, pendidik, metode, dan keberlanjutan anggaran.
Kedua, figur Colliq Pujie harus didekatkan kembali sebagai sumber pembelajaran, bukan ikon sebuah acara semata. Ia bukan sekadar simbol perempuan cerdas dari masa lalu. Karyanya adalah pintu menuju etika, bahasa, dan cara berpikir masyarakat Bugis. Ia harus ditempatkan kembali pada ruang pendidikan sebagai bahan belajar, bukan sekadar legenda.
Ketiga, kolaborasi harus diperkuat. Sekolah tidak bisa berjalan sendiri. Komunitas budaya, peneliti, museum, dan pemerintah perlu saling mengisi. Temuan Prof. Nurhayati menunjukkan bahwa revitalisasi aksara hanya berhasil ketika pendidikan formal dan komunitas bergerak bersama, bersinergi total.
Festival bisa menjadi titik temu, tetapi pasca festival menentukan apakah semangat itu berubah menjadi gerakan nyata atau kembali hilang bersama deru keramaian.
Festival Aksara Lontaraq memberikan kita kegembiraan sesaat. Tetapi warisan budaya tidak pernah bertahan lewat perayaan semata. Identitas tidak bisa dijaga hanya dengan sorot lampu, tarian massal, dan foto bersama. Ia bertahan ketika diajarkan, dibaca, ditulis, dan dipraktikkan sehari hari.
Tanpa itu, kita hanya membangun pesta yang gemilang sambil membiarkan akar budaya perlahan rapuh. Warisan tidak sedang menunggu kita. Kitalah yang menentukan apakah ia tetap hidup atau hilang dalam ingatan yang semakin dangkal.
Comment