Narasi Kritik Keras

Muh. Reza Syafaat (Mahasiswa Syariah UIN Palopo)

Berangkat dari sebuah kalimat bahwa mahasiswa adalah wadah ideal untuk manusia-manusia dewasa, aku justru melihat ironi besar ketika menyaksikan manusia yang satu ini. Dia tidak ideal. Dia bahkan sangat buruk dalam berbagai konsep, prinsip, dan teori kepemimpinan.

ads

Aku suka membaca buku tentang kepemimpinan dan dari semua buku yang kubaca, tidak ada satu pun indikator yang dapat mengukur bahwa orang ini adalah seorang pemimpin. Maaf sebelumnya, kritik ini bukan ditujukan kepada dirinya sebagai pribadi, melainkan kepada jabatannya sebagai Ketua DEMA Fakultas Syariah UIN Palopo.

Kesalahan paling awal dan paling fatal adalah ketika dia dengan enteng mengubah nama fakultas menjadi “Fakultas pergerakan”. Sebuah tindakan gegabah yang menjadi cikal bakal bagaimana ia menunjukkan kejatuhan kualitas kepemimpinannya.

Ini bukan inovasi; ini adalah bentuk ketidakmampuan memahami batas kewenangan. Dalam teori administrasi publik, tindakan seperti ini termasuk pelanggaran etik kelembagaan, sebab mengubah identitas institusi bukan hanya tidak memiliki dasar normatif, tetapi juga merusak stabilitas simbolik fakultas.

Kekacauan semakin tampak pada sebuah event yang diinisiasi oleh Fakultas Syariah sebuah event yang kacau balau, jauh dari kata baik. Bahkan, menurutku, anak SD pun bisa bekerja lebih rapi daripada apa yang terjadi saat itu.

Pertama, panitia sudah lengkap: ada ketua, sekretaris, dan bendahara. Ironisnya, pengelolaan uang tidak dilakukan oleh bendahara yang sah, tetapi justru oleh Ketua DEMA sendiri.

Setelah berbincang dengan bendahara panitia, terungkap bahwa ada dana yang diambil tanpa penjelasan peruntukan. Ketika bendahara meminta nota pertanggungjawaban, tidak pernah ada respons. Yang ada justru ancaman akan dipecat dari mengurus dema jika terus bertanya.

Kemudian, Ketua DEMA ini mengaku menombok uang pribadi sebesar satu juta rupiah. Namun ketika seorang peserta forum bertanya apakah masih ada dana di bendahara saat ia “menombok”, dia langsung menjawab bahwa masih ada dana empat juta. Dan dia terlihat pusing dan panik setelah jawabannya sendiri terbongkar—sebuah blunder psikologis yang sangat jelas.

Logikanya sederhana, bahkan terlalu sederhana:
Mana mungkin seseorang menombok, sementara dana panitia masih ada empat juta? Ini bukan hanya tidak masuk akal. Ini bentuk kegagalan logika dasar dalam manajemen organisasi.

Nota-nota banyak yang tidak sesuai, perhitungan kacau, dan hingga malam puncak dana hanya tersisa satu juta rupiah—padahal hadiah lomba belum disiapkan. Panitia akhirnya meminjam uang sekitar empat juta rupiah untuk menutup hadiah lomba.

Pada malam puncak, seorang peserta memprotes hadiah karena ketidaksesuaian anggaran. Itu wajar, dan itu memicu peserta lain untuk datang ke rumah Ketua DEMA. Di sana disepakati bahwa uang akan dikembalikan setelah ia pulang dari Jawa.

Namun sepulang dari Jawa, uang tersebut tidak ada sampai hari ini. Utang empat juta pun belum dibayar.
Dan yang paling ironis: Ketua DEMA tidak mau bertanggung jawab.

Padahal saat pembentukan panitia, dia diberi amanah langsung oleh dekan. Amanahnya ke mana? Mungkin amanah itu dipakai untuk hal-hal yang bahkan dia sendiri tidak bisa pertanggungjawabkan.

Kini dia menjadi bahan pembicaraan di seluruh Fakultas Syariah. Orang bertanya-tanya: Dia orang gila? Atau seseorang yang tidak tahu bagaimana menjadi manusia yang memanusiakan manusia?

Aku kasihan melihat hanya sebagian panitia yang berjuang melunasi utang itu, sementara Ketua DEMA yang bejat itu hilang tanpa jejak, seolah tidak pernah ada tanggung jawab yang dipikulnya.

Hari ini kita harus memberikan “sanksi tegas” untuk regenerasi dan reputasi lembaga mahasiswa di Fakultas Syariah. Karena jika tidak, maka kita sedang membiarkan sebuah preseden buruk tumbuh di kampus: bahwa amanah bisa dilanggar, tanggung jawab bisa ditinggalkan, dan jabatan bisa dipakai untuk kepentingan sendiri.

Kami akan mencarimu sampai jalur hukum pun menanti. Salam dari kami—orang-orang yang engkau khianati. Khusus mahasiswa Syariah.

Comment