Respublica— Hari-hari ini, sekolah, siswa, dan orang tua di Indonesia tengah disibukkan oleh proses penerimaan siswa baru. Topik ini bahkan menjadi bahan obrolan hangat di berbagai tempat, mulai dari ruang rapat hingga warung kopi, yang hangatnya melebihi secangkir kopi itu sendiri.
Tahun 2024 dikenal dengan nama Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB), namun pada 2025 berubah menjadi Sistem Penerimaan Murid Baru (SPMB). Perubahan nama ini tampak remeh, tetapi menyisakan tanda tanya besar: mengapa yang diganti justru nama, bukan sistem yang diperbaiki secara substansial? Apakah perubahan ini benar-benar hasil evaluasi, atau hanya sebentuk legacy building dari pemimpin baru?
Namun, perlu digarisbawahi bahwa perubahan nama tanpa perubahan substansi justru membingungkan masyarakat. Bukankah lebih baik jika sistemnya yang diperbarui, bukan sekadar namanya? Sebut saja Google, Facebook, atau TikTok, meski terus mengembangkan fitur dan teknologinya, mereka tidak serta merta mengganti nama hanya demi kesan pembaruan. Hal serupa juga berlaku untuk posisi seperti wali kota nama abatan yang tetap meskipun kebijakan tiap pemimpin berbeda.
Saya khawatir, dan semoga kekhawatiran ini tidak benar, bahwa pergantian nama ini dilatari ego politik: semacam hasrat untuk meninggalkan “legacy” pribadi, untuk menghapus legacy pemimpin sebelumnya, bukan untuk memperbaiki sistem. Jika benar demikian, maka ego seperti ini amat berbahaya bagi kesinambungan kebijakan publik, termasuk dalam pendidikan.
Pendidikan sebagai hak, bukan sekadar prosedur administratif
Pasal 31 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa “Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan”. Dalam konteks hukum, hak adalah sesuatu yang melekat sejak lahir dan tidak boleh dibatasi secara sewenang-wenang. Maka, pendidikan merupakan hak konstitusional dan asasi setiap warga negara bukan sekadar fasilitas yang boleh diminta atau ditawar-tawarkan. Artinya kalau ia warga negara Indonesia maka melekat dalam dirinya dan menjadi nilai dalam dirinya untuk mengakses dan mendapatkan pendidik, singkatnya pendidikan adalah “keindonesiaan nya”.
Setiap tahunnya untuk memperoleh pendidikan, seorang anak harus mendaftar, sebagai gerbang masuk pendidikan. Kita memaksa siswa untuk mendaftar, mengisi formulir, mengunggah dokumen, dan mengikuti tes kognitif. Ini menimbulkan ironi besar: bagaimana mungkin hak konstitusional justru dibuka dengan pintu bernama prosedur seleksi? Ini kontradiktif dengan prinsip hak asasi: apakah hak harus diminta?
Idealnya, dalam negara yang mengedepankan keadilan sosial, negara yang aktif mendata dan mendaftarkan warga negara usia sekolah, bukan sebaliknya. Anak-anak cukup mengonfirmasi data mereka dan memilih sekolah berdasarkan lokasi dan minat, tanpa melalui proses yang menyulitkan dan melelahkan. Atas dasar ini kita perlu melakukan interupsi terhadap sistem pelaksanaan pendidikan kita, khususnya pada proses penerimaan siswa baru.
Kesenjangan kualitas
Selain soal data dan pendaftaran, setiap tahunnya, sistem penerimaan siswa baru menguras energi, menimbulkan polemik, salah satu akar persoalan utamanya adalah kesenjangan kualitas antar sekolah baik dari segi fasilitas, reputasi, maupun mutu pengajaran. Selama kesenjangan ini terus dibiarkan, sistem zonasi atau domisili yang diterapkan hanya akan menjadi pemicu kecemasan baru, bukan solusi pemerataan.
Ide utama lahirnya jalur domisili adalah penyempurnaan dari jalur zonasi yang bertujuan untuk memberikan kesempatan yang adil bagi seluruh calon murid untuk mendapatkan pendidikan berkualitas yang mudah dijangkau berdasarkan domisili mereka.
Namun, dalam menelurkan kebijakan maka ada dua pertimbangan utama yang mesti benar-benar matang, yang dilihat secara menyeluruh, yakni infrastruktur pendidikan dan infrastruktur pendukung harus dibenahi secara merata.
Memang keliru jika pemerintah membuat kebijakan tidak mempertimbangkan infrastruktur dasar dan pendukung jalanya suatu kebijakan yang di keluarkan. Jalur domisili diharapkan agar siswa tak jauh dari tempat tinggalnya, mudah mengakses sekolahnya, tidak mengendarai kendaraan di bawah umur. Tapi yang mesti kita lihat adalah apakah infrastruktur pendukung yang mesti kita perbaiki.
Misalnya, Apakah jalanan, trotoar nyaman untuk lalui pejalan kaki sehingga anak-anak nyaman berjalan ke sekolah? Apakah fasilitas kendaraan umum tersedia dan rama untuk mereka? Apakah trotor tidak lagi berlubang yang lubangnya nyaman untuk keselamatan anak di jalanan dan apakah jalan kita rama terhada pesepeda sihingga anak-anak bisa bersepeda dengan gembira pergi dan pulang dari sekolah mereka? Kalau kita masih ragu menjawab pertanyaan ini makan jalur domisili bukan solusi justru kebijakan berbasis domisili berpotensi diskriminatif.
Yang kedua adalah, mestinya siswa sejak siswa duduk di kelas 5 SD dan 2 SMP bahkan proses pemetaan dan penyebaran siswa sudah bisa di lakukan jauh sebelum tiba masa , kenapa demikian negara punya data, punya perangkat dari RT, RW, Lurah, Camat, Dan Dinas Kependudukan, untuk setiap warganya susah bagaimana mengoordinasikan seluruh perangkat negara dan teknologi informasi yang ada hari ini, seharusnya siswa dan orang tua tidak perlu lagi bingung menjelang kelulusan mereka sudah tahu lebih awal ke mana akan melanjutkan pendidikan.
Kritik terhadap tes kognitif
Yang kedua yang mesti kita intuisi terhadap sistem penerimaan siswa baru adalah tes berdasarkan kognitif. Mengklasifikasi anak-anak semata berdasarkan angka hanya akan mereduksi kompleksitas manusia menjadi bilangan. Jika seorang anak tidak mencapai skor tertentu, bukan berarti dia gagal bisa jadi justru sistem pendidikannya yang gagal menjalankan amanat konstitusi.
Negara-negara seperti Jerman, Finlandia, dan Norwegia telah lama meninggalkan sistem seleksi berbasis tes akademik untuk masuk sekolah dasar atau menengah. Sebagai gantinya, mereka menggunakan pendekatan holistik: asesmen gaya belajar, preferensi minat, dan kondisi psikologis anak. Hasil tes ini bukan untuk menyaring, tetapi sebagai panduan bagi sekolah tujuan dan guru dalam menyesuaikan metode pembelajaran yang lebih personal dan inklusif.
Sayangnya, sistem kita masih terpaku pada angka dan ranking. Seleksi masuk didasarkan pada nilai tes kognitif, yang seolah-olah menjadi satu-satunya parameter kecerdasan anak. Ini bertentangan dengan teori Multiple Intelligences yang diperkenalkan oleh Howard Gardner (1983), yang menyatakan bahwa manusia memiliki kecerdasan yang beragam: linguistik, logis-matematis, musikal, kinestetik, interpersonal, intrapersonal, naturalis, dan visual-spasial.
Teori ini telah diadopsi secara luas dalam sistem pendidikan progresif di banyak negara. Di Australia, misalnya, asesmen awal siswa memperhatikan aspek emosional dan sosial, serta keterampilan praktis. Di Kanada, beberapa sekolah menerapkan kurikulum berbasis proyek (project-based learning) yang memberi ruang bagi berbagai bentuk kecerdasan.
Jika Indonesia sungguh ingin mencerdaskan kehidupan bangsa, maka pendekatannya harus menyeluruh dan inklusif. Maka jika teori ini diterapkan maka tidak ada anak yang bodoh yang ada adalah sistem yang belum mampu menemukan dan mengembangkan potensi unik setiap anak.
Kesenjangan sekolah negeri dan swasta: antara mutu dan akses
Intrupsi yang ketiga yang perlu diajukan adalah kesenjangan antara sekolah negeri dan sekolah swasta modern yang mengusung konsep eksklusif: fasilitas mentereng, biaya selangit, dan branding kelas atas. Saya tidak mempermasalahkan keberadaan sekolah seperti ini. Namun, ketika hanya segelintir anak dari kalangan kaya yang bisa mengaksesnya,
Ini menimbulkan segregasi sosial di dunia pendidikan, fatalnya negara melegitimasi itu yang secara tidak langsung melanggar prinsip keadilan dan pemerataan pendidikan dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Keberadaan sekolah swasta tidak perlu dihapuskan, namun negara mesti menata ulang agar sekolah tidak menjadi sistem dan bagian yang menciptakan strata sosial. Karena itu mesti ada kebijakan membuat jalur afirmatif berbasis domisili untuk anak yang kurang mampu. Misalnya dengan menetapkan kuota 10–20% bagi anak-anak dari keluarga tidak mampu untuk bersekolah di institusi-institusi modern berbasis domisili. Dengan demikian, negara hadir sebagai penyeimbang, agar rakyat miskin tidak menjadi penonton.
Comment