Leang-leang dan Estetika Peradaban: Refleksi Perjalanan Manusia dari Seni Purba hingga Kontemporer sebagai Jejak Hidup

Galang Mario (Mahasiswa Pendidikan Seni Pascasarjana UNY)

Jauh di balik hamparan lanskap karst yang megah di Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan, tersembunyi situs bersejarah yang lebih dari sekadar gua biasa. Taman Arkeologi Leang-Leang, yang dalam bahasa Bugis-Makassar berarti “gua”, adalah monumen yang berfungsi sebagai jendela waktu, menghubungkan kita dengan kehidupan manusia prasejarah ribuan tahun lalu.

ads

Keindahan Leang-Leang terletak pada lukisan-lukisan purba yang menghiasi dinding-dinding gua, yang tidak hanya bercerita tentang masa lalu, tetapi juga mengundang kita untuk merenungkan makna hidup manusia di dunia ini.

Leang-leang sebagai jendela waktu

Leang-Leang adalah laboratorium sejarah yang berisi wawasan tentang cara hidup, kepercayaan, dan teknologi manusia prasejarah. Gua ini menjadi saksi bisu perkembangan manusia masa ke masa, terbukti dengan peninggalan arkeologis yang mengejutkan seperti alat batu yang menunjukkan tingkat kecerdasan dan kemampuan adaptasi manusia purba dalam memanfaatkan lingkungan sekitarnya.

Selain itu, Leang-Leang dikenal sebagai tempat lukisan gua tertua, lukisan tersebut terdapat di beberapa gua seperti Leang Pettae dan Leang Petta Kere, yang menggambarkan telapak tangan manusia dan hewan terutama babi rusa yang melompat.

Penemuan oleh arkeolog Belanda, van Heekeren, pada tahun 1950, menyatakan bahwa beberapa lukisan ini berusia lebih dari 40.000 tahun, menjadikannya salah satu karya seni cadas tertua di dunia. Sedangkan untuk lukisan cap telapak tangan yang berwarna merah, diyakini sebagai penanda eksistensi atau identitas dari para penghuninya pada masa itu.

Lukisan-lukisan ini lebih dari sekadar artefak fisik, tapi juga menjadi simbol yang menghubungkan kita dengan identitas para penghuninya, dan menciptakan realitas tanda simbolik yang terus hidup dalam kesadaran kolektif kita. Jean Baudrillard, dalam Simulacra dan Simulasi (1981), menjelaskan bahwa simbol atau tanda seringkali lebih penting daripada kenyataan itu sendiri.

Lukisan-lukisan tersebut tidak hanya menceritakan kisah masa lalu, tetapi juga mengajak kita untuk merenung tentang eksistensi kita sebagai individu dan bagian dari peradaban manusia. Lewat lukisan ini, kita diajak merefleksikan hidup dengan melihat lebih dalam makna dari setiap jejak yang kita tinggalkan baik sebagai individu maupun sebagai bagian dari suatu peradaban layaknya seniman purba kala itu.

Dalam pandangan Carl Jung pada karyanya The Archetypes and the Collective Unconscious (1959), simbol-simbol yang ada pada lukisan ini dapat dipahami sebagai arketipe (Pola Universal), motif universal yang diwariskan dalam ketidaksadaran kolektif. Lukisan telapak tangan di Gua Leang-Leang adalah simbol budaya yang menjadi warisan kolektif dan membentuk identitas sosial kita.

Setiap simbol, meskipun tampak sederhana, menyimpan makna yang dapat terhubung dengan pengalaman masa lalu dan membentuk cara kita memaknai dunia. Demikian Lukisan ini seperti halnya jejak yang tertinggal di gua, mengajak kita untuk merenungkan dan meresapi bagaimana budaya dan identitas terbentuk dan diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya.

Leang-Leang beserta lukisan-lukisannya, mengingatkan kita akan pentingnya melestarikan warisan sejarah, sebuah monumen yang tidak hanya menceritakan masa lalu, tetapi juga memberi inspirasi bagi masa depan. Bahwa Setiap jejak yang kita tinggalkan, baik itu dalam bentuk karya seni, budaya, atau tindakan, akan terus hidup dan menginspirasi generasi mendatang. Hal ini mempertegas bahwa kita harus menghargai dan melestarikan warisan sejarah kita, serta memperkuat identitas kebudayaan yang ada.

Makna kehidupan dalam seni instalasi Budi Haryawan

Perkembangan seni rupa telah mengalami kemajuan seiring perkembangan teknologi. Kini yang sangat digandrungi adalah seni kontemporer dalam wujud instalasi. Seni instalasi merupakan sebuah karya seni atraktif dan interaktif dengan menyajikan visual tiga dimensi dengan pertimbangan elemen-elemen ruang, waktu, suara, gerak dan interaksi dengan audiens.

Di dunia seni kontemporer saat ini, seringkali karya seni tidak hanya berbicara tentang objek-objek visual, tetapi juga mencerminkan perjalanan sejarah dan kehidupan manusia. Salah satu contoh menarik adalah seni kontemporer dari karya instalasi Budi Haryawan sebagai respon terhadap gua leang-leang yang menjadi wahana inspirasinya dalam berkarya.

Seni Instalasi Budi Haryawan pada pemeran seni kolaboratif dan inovatif leang-leang spirit di Benteng Rotterdam, Makassar (Doc. Penulis)

Seni Instalasi ini dipamerkan pada tahun 2021 di Benteng Roterdam Makassar pada kegiatan proyek seni kolabotatif dan inovatif leang-leang spirit. Karya tersebut menampilkan susunan batu saling menopang berbentuk segitiga layaknya piramida dan menyerupai sarang kecil manusia gua. Berjumlah Sembilan buah Dari terbesar hingga terkecil. Berjejer dan saling berdekatan, dimana tiap bangunan berisikan cahaya api didalamnya.

Budi menggabungkan elemen batu, cahaya, dan bentuk piramida, menyajikan refleksi yang mendalam tentang perjalanan hidup manusia, dari yang terkecil hingga yang terbesar, yang penuh dengan semangat hidup yang kian memudar seiring berjalannya waktu. Jika diinterpretasi nampak bahwa bentuk bangunan rumah primitif yang berjejer dalam karya merupakan warisan yang masih ada sampai sekarang seperti gua leang-leang, warisan tersebut tidak hanya berupa materi.

Adapun yang bersifat nilai kebaikan seperti halnya adat budaya yang terjaga turun temurun. Pada karya terlihat ukuran bangunan nampak dari bentuk yang terkecil hingga terbesar layaknya bangunan kehidupan manusia yang berawal dari terkecil hingga besar yang kian nampak seiring waktu dalam perjalanan hidupnya. Tiap bangunan berisi api didalamnya yang dapat diartikan sebagai semangat hidup.

Bangunan yang semakin membesar namun cahaya di dalamnya kian meredup dan mati menjadi sebuah penyadaran akan fase-fase perjalanan hidup. Tak bisa dipungkiri Semangat hidup manusia kian menurun seiring waktu namun karyanya bagaian bangunan yang akan terus mewujud hingga menjadi peradaban atau jejak peninggalan selama hidup sekaligus menjadi bagian dari jejak masa depan.

Jejak tersebut menjadi warisan untuk terus dirawat atau dilanjutkan oleh generasi penerus, seperti gua leang-leang yang masih ada sampai sekarang sebagai situs bersejarah, sebuah citra manusia yang terus berbuat dan menyisakan jejak. Melalui karya seni ini, Budi Haryawan mengajak kita untuk merenungkan fase-fase kehidupan manusia yang tidak selalu mulus dan mudah.

T.S Elliot dalam The Sacred Wood (1920) menyatakan karya seni baru menciptakan perubahan simultan dalam pemahaman kita terhadap karya sebelumnya, sementara karyanya sendiri akan dipengaruhi oleh karya-karya yang muncul setelahnya. Karyanya sendiri pada gilirannya akan dipengaruhi oleh karya yang datang setelahnya.

Melahirkan dialog antara masa lalu, sekarang dan masa depan. Demikian juga dalam konsep hermeneutika Gadamer tentang “Fusion of horizon” berupa proses dialog yang dinamis antara audiens dengan karya seni itu sendiri, bahwa karya seni tidak bersifat objektif dan final, melainkan terbentuk melalui perjumpaan antara cakrawala historis karya seni dengan cakrawala interpretatif penafsir di masa kini.

Dalam hal ini, penafsiran Budi Haryawan terhadap gua leang-leang melalui seni instalasinya membuka cakrawala lebih luas, tidak hanya berbicara tentang sejarah manusia purba yang tercermin dalam Gua Leang-Leang, tetapi juga menghubungkan kita dengan masa kini dan masa depan.

Karya ini menjadi jembatan antara apa yang telah terjadi, apa yang sedang terjadi, dan apa yang akan datang, memberi kita kesempatan untuk berinteraksi dengan simbol-simbol yang tercipta dari peradaban yang telah ada. Bangunan dalam instalasi ini, yang berbentuk piramida dengan api yang menyala di dalamnya, menggambarkan perjalanan hidup manusia yang dimulai dari sesuatu yang kecil dan terus berkembang menjadi besar.

Sedangkan Api yang ada dalam setiap bangunan simbolik tersebut kian mengecil, mengingatkan kita akan semangat hidup mulai meredup seiring bertambahnya waktu. Hal ini mengajak kita untuk merenungkan betapa kehidupan itu sendiri, seperti karya seni ini, berawal dari sesuatu yang kecil lalu berkembang menjadi besar bangunannya, tetapi api semangat yang besar setiap waktu menyusut seiring usia hingga bersisa jejak peninggalan.

Bangunan Piramida tersebut yang semakin besar tetapi semakin meredup cahaya di dalamnya menggambarkan siklus kehidupan manusia yang penuh tantangan, perjuangan, dan pencapaian, yang pada akhirnya akan meninggalkan warisan bagi generasi berikutnya.

Pada satu sisi karya seni ini juga mengingatkan kita bahwa setiap tindakan, setiap langkah dalam hidup, meskipun tampaknya kecil dan sederhana dapat berkontribusi pada sesuatu yang lebih besar menjadi sebuah warisan yang akan terus hidup dan menjadi bagian dari peradaban masa depan.

Karya seni sebagai media edukasi dan refleksi

Seni, dalam segala bentuknya, bukan hanya sebagai objek estetika, tetapi juga sebagai sarana edukasi dan refleksi yang mendalam. Karya seni, seperti seni instalasi Budi Haryawan yang terinspirasi oleh Gua Leang-Leang, memberi kesempatan bagi kita untuk merenungkan nilai-nilai kehidupan, sejarah, dan budaya. Seni memiliki kekuatan untuk membuka wawasan, merangsang pemikiran kritis, dan menghubungkan masa lalu dengan masa kini.

Menurut John Dewey, dalam bukunya Art as Experience (1934), seni adalah sarana yang penting dalam pendidikan karena memungkinkan individu untuk mengembangkan kemampuan berpikir kritis dan reflektif. Dewey mengemukakan bahwa seni memberikan pengalaman langsung yang memperkaya pemahaman kita tentang dunia di sekitar kita.

Karya seni tidak hanya dilihat sebagai objek, tetapi sebagai pengalaman yang memberi pelajaran tentang kehidupan dan makna yang terkandung di dalamnya. Melalui karya seni, kita tidak hanya diajak untuk melihat visualisasi ataupun simbol-simbolnya, tetapi juga untuk merasakan dan memahami makna yang ada di balik setiap bentuk dan simbol yang ada.

Sebagai media edukasi, seni memberikan pelajaran tentang sejarah dan budaya, seperti yang terlihat pada lukisan-lukisan purba di Gua Leang-Leang dan karya seni kontemporer seperti instalasi Budi Haryawan. Ini mengajarkan kita untuk melestarikan warisan budaya dan mengenali jejak yang kita tinggalkan.

Viktor Frankl dalam teorinya menekankan pentingnya pencarian makna dalam hidup manusia, khususnya melalui pengalaman yang melibatkan kreativitas dan ekspresi diri. Dalam bukunya, Man’s Search for Meaning (1946), Frankl mengungkapkan bahwa manusia menemukan makna dalam hidupnya melalui tindakan dan penciptaan.

Seni, sebagai bentuk ekspresi kreatif, adalah salah satu saluran yang memungkinkan individu untuk mengungkapkan pemahaman mereka tentang dunia, tantangan hidup, dan tujuan mereka. Karya seni, seperti instalasi Budi Haryawan, memungkinkan kita untuk berinteraksi dengan makna-makna ini secara langsung, menggugah kesadaran kita tentang perjalanan hidup, dan mendorong kita untuk mencari makna dalam kehidupan kita sendiri.

Sedangkan karya seni Sebagai media refleksi, dimana seni mendorong kita untuk mempertanyakan makna hidup dan keberadaan kita di dunia ini. Setiap karya seni mengundang kita untuk merenung, menggali makna yang lebih dalam, dan mengeksplorasi identitas pribadi dan kolektif. Karya seni seperti instalasi budi haryawan yang menghubungkan peradaban manusia purba dengan dunia modern, berfungsi sebagai cermin yang memantulkan refleksi sosial dan budaya.

Maka melalui seni, kita dapat meresapi perjalanan hidup kita sendiri, memperhatikan jejak yang telah kita buat, dan memikirkan warisan yang akan kita tinggalkan bagi generasi mendatang. Demikian, karya seni bukan hanya tentang menciptakan keindahan, tetapi juga tentang membangkitkan kesadaran dan memperkaya pemahaman kita terhadap dunia yang lebih luas, baik itu dalam konteks sejarah, budaya, maupun kehidupan pribadi kita.

Refleksi tentang perjalanan hidup dan warisan yang ditinggalkan

Setiap manusia, seperti halnya manusia purba di Gua Leang-Leang atau karya seni instalasi Budi Haryawan, meninggalkan jejaknya di dunia. Jejak-jejak ini menjadi tanda bahwa kita ada, dan bahwa perjalanan hidup kita berkontribusi pada peradaban yang ada.

Maka, pertanyaan besar bagi kita adalah, apakah kita akan menjadi seperti mereka, yang meninggalkan jejak peradaban yang masih ada hingga kini? Jejak apa yang dapat kita titipkan, yang akan bertahan sepanjang waktu, seperti jejak tangan di gua atau keindahan rumah gua yang masih ada sampai sekarang? Apakah jejak yang kita tinggalkan akan bermanfaat bagi peradaban berikutnya?

Sebagaimana karya seni Budi Haryawan, kita diingatkan bahwa setiap perjalanan hidup, sebesar apapun itu, akan membentuk warisan yang dapat dilihat oleh generasi yang akan datang. Kita memiliki pilihan untuk menciptakan jejak yang penuh makna, bukan hanya untuk diri kita sendiri, tetapi juga untuk dunia yang kita tinggalkan.

Erving Goffman, dalam bukunya The Presentation of Self in Everyday Life (1959), mengungkapkan bahwa identitas manusia dibentuk melalui interaksi sosial dan merupakan cermin dari bagaimana kita berinteraksi dengan orang lain, budaya, dan lingkungan sekitar. Seperti jejak di Gua Leang-Leang, identitas kita terbentuk melalui pengalaman dan interaksi dengan dunia di sekitar kita.

Karya seni Budi Haryawan, dengan simbolisme yang kuat tentang perjalanan hidup dan peradaban, mengajak kita untuk lebih sadar akan identitas kita yang terus berkembang serta dampaknya terhadap generasi yang akan datang. Sebagaimana jejak-jejak yang ditinggalkan oleh manusia purba, kita pun memiliki kesempatan untuk meninggalkan warisan yang akan dikenang dan memberi dampak positif bagi peradaban masa depan.

Arendt dalam esainya Truth and Politich (1967) berargumen bahwa kebenaran faktual, hal-hal benar-benar terjadi sangatlah rapuh, fakta saja tidak selalu cukup untuk menggerakkan atau memberikan pemahaman yang utuh karena manusia sangat dipengaruhi oleh narasi, ideologi, dan persepsi. Dalam hal ini, narasi yang kita bangun melalui tindakan dan jejak yang kita tinggalkan menjadi sangat penting.

Jejak yang kita ciptakan bukan hanya sekadar fakta, tetapi sebuah cerita yang memberi makna lebih dalam bagi peradaban berikutnya. Narasi tentang siapa kita, apa yang kita tinggalkan, dan bagaimana kita berinteraksi dengan dunia ini akan terus berkembang dan membentuk pemahaman baru bagi generasi yang akan datang.

Comment