Pahlawan yang tak Punya Musuh

Muhammad Suryadi R (Mahasiswa Pascasarjana IAIN Parepare)

Nama Soeharto kembali memenuhi ruang percakapan publik. Bukan karena skandal baru, melainkan karena satu rencana lama yang hidup lagi, wacana pemberian gelar pahlawan nasional. Perdebatan pun muncul seketika. Penetapan yang diberikan oleh Presiden yang bertepatan Hari Pahlawan memicu perdebatan cukup serius.

ads

Ada yang melihatnya sebagai bentuk keadilan sejarah. Soeharto dianggap berjasa membangun fondasi ekonomi, membawa listrik ke pelosok, dan menanamkan disiplin pembangunan. Namun ada juga yang menolak keras. Mereka mengingat masa kelam, pembungkaman suara, hilangnya nyawa, dan hancurnya kebebasan sipil.

Dua pandangan ini berjalan bersisian seperti dua sungai yang tak pernah bertemu. Di satu sisi ada nostalgia atas stabilitas, di sisi lain ada ingatan pahit tentang ketakutan. Dan di antara keduanya, publik seperti kehilangan kemampuan untuk mendengar dengan jernih.

Media sosial mempercepat segalanya. Dalam hitungan jam, topik itu sudah berubah menjadi arena debat. Setiap orang berpendapat dengan nada tinggi. Ada yang menulis panjang, ada yang cukup dengan satu kalimat sarkastik. Satu unggahan bisa memantik ribuan komentar. Tapi semakin ramai perbincangan, semakin kabur makna yang sebenarnya ingin dicari.

Di era digital, siapa yang sering dibicarakan mudah sekali dianggap penting. Begitu pula dengan makna pahlawan. Ia tak lagi semata soal perjuangan, tapi soal citra.

Kini narasi bisa dibuat, citra bisa diatur, dan emosi bisa dijual. Shoshana Zuboff menyebut fenomena ini sebagai kapitalisme pengawasan, di mana setiap klik, amarah, atau kekaguman dijadikan komoditas yang bernilai. Media sosial bekerja dengan logika yang sama seperti pasar, semakin tinggi emosi yang dipicu, semakin besar perhatian yang dihasilkan.

Dulu kekuasaan mengontrol makna pahlawan lewat buku sejarah dan siaran televisi. Kini kendali itu diambil alih oleh algoritma. Mesin menentukan siapa yang pantas muncul di beranda, siapa yang diabaikan. Citra kepahlawanan tidak lagi dibentuk oleh keteladanan, tetapi oleh data keterlibatan.

Maka tak heran jika perdebatan soal Soeharto terasa seperti pertarungan yang tidak pernah selesai. Bukan karena kurang bukti atau argumen, melainkan karena kita lebih sibuk bereaksi daripada memahami. Sejarah berubah menjadi panggung, dan setiap orang berlomba menjadi sutradara untuk versinya sendiri.

Kita tidak sedang berdialog, kita sedang berusaha menang. Dan dalam suasana seperti itu, yang paling kalah justru kebenaran itu sendiri.

Ingatan yang dikelola

Gelar pahlawan seharusnya menjadi penghormatan atas jasa dan keteladanan. Namun di negeri yang sering terburu-buru, penghargaan itu kerap kehilangan maknanya. Ia berubah menjadi simbol politik, bukan cermin moral.

Soeharto tentu punya jasa besar. Pembangunan infrastruktur, swasembada pangan, dan stabilitas ekonomi adalah fakta yang diakui banyak pihak. Tapi di balik keberhasilan itu, ada catatan panjang tentang represi, korupsi, dan penderitaan yang tak pernah tuntas.

Masalahnya bukan pada memberi atau tidak memberi gelar, melainkan pada cara bangsa ini mengingat. Mengakui jasa tidak berarti menghapus luka. Mengingat kesalahan bukan berarti menolak segala kebaikan. Tapi kita sering gagal menempatkan keduanya secara adil.

Dalam banyak hal, bangsa ini lebih suka melupakan daripada berdamai. Kita cepat menutup luka dengan kata maaf, tanpa benar-benar menatap bekasnya. Kita ingin sejarah terasa ringan dibaca, padahal sebagian hal memang seharusnya berat diingat.

Sejarah tidak bisa dipoles agar terlihat rapi. Ia harus dibiarkan berantakan, supaya kejujuran tetap hidup di dalamnya. Mungkin di zaman ini pahlawan tidak selalu berada di panggung besar. Mereka tidak memegang kekuasaan, tidak diabadikan di monumen, bahkan mungkin tidak dikenal sama sekali.

Pahlawan masa kini bisa jadi seorang guru di desa terpencil yang setiap hari berjalan jauh untuk mengajar muridnya membaca. Atau jurnalis yang tetap memverifikasi data di tengah tekanan opini publik. Bisa juga warga biasa yang memilih diam ketika semua orang ingin marah, dan membaca dulu sebelum ikut membagikan kabar.

Kepahlawanan kini bukan lagi soal keberanian melawan penjajah, tapi keberanian untuk tetap jujur di tengah kebisingan. Menahan diri agar tidak terbawa arus amarah, berpikir sebelum menulis, dan mendengarkan sebelum menilai adalah bentuk baru dari perjuangan.

Byung Chul Han menyebut masyarakat kita kini hidup dalam kelelahan. Kita terus berbicara tanpa berhenti, bereaksi tanpa berpikir, dan merasa terlibat tanpa benar-benar peduli. Di tengah situasi itu, mereka yang mampu diam sejenak dan merenung sesungguhnya sedang melakukan perlawanan.

Makna kepahlawanan yang baru

Peringatan Hari Pahlawan setiap tahun sering kali berhenti pada upacara dan tabur bunga. Padahal semestinya ia menjadi saat untuk bertanya kembali, perjuangan seperti apa yang masih relevan hari ini.

Jika dulu pahlawan berjuang merebut kemerdekaan fisik, maka kini kita perlu berjuang merebut kesadaran. Dunia digital membuat kita mudah dikelabui, terpecah, dan kehilangan arah. Tantangannya bukan lagi penjajahan dari luar, tetapi kehilangan kendali atas pikiran sendiri.

Di tengah derasnya arus informasi, tindakan paling heroik mungkin adalah menjaga akal sehat. Tidak mudah percaya, tidak mudah membenci, dan tidak mudah mengagungkan.

Maka ketika nama Soeharto kembali diperdebatkan, mungkin yang perlu kita lakukan bukan sekadar memilih setuju atau menolak, tetapi menata ulang cara kita memandang sejarah. Pahlawan sejati tidak selalu suci, dan manusia besar tidak selalu benar.

Kita perlu belajar untuk menilai masa lalu dengan jujur tanpa terjebak pada kebencian atau glorifikasi. Karena bangsa yang berani mengingat dengan jernih, adalah bangsa yang sedang tumbuh dewasa.

Di zaman ketika kecerdasan buatan mampu menulis berita, membuat gambar, bahkan memalsukan wajah tokoh sejarah, batas antara nyata dan rekayasa semakin kabur. Dalam dunia seperti ini, kemampuan untuk tetap manusiawi adalah bentuk kepahlawanan yang sesungguhnya.

Empati menjadi teknologi paling mahal. Kejujuran menjadi komoditas langka. Dan keraguan justru menjadi tanda bahwa nurani masih bekerja. Pahlawan masa kini tidak butuh gelar. Mereka hanya perlu terus menjaga kemanusiaan agar tidak dikendalikan oleh mesin dan kebencian.

Soeharto, dengan segala jasanya dan dosanya, akan selalu menjadi bagian dari kisah bangsa ini. Namun pahlawan sejati bukan yang namanya dikenang, melainkan yang tindakannya membuat manusia lain tetap percaya pada kebaikan. Dan di tengah dunia yang semakin bising, pahlawan yang tak punya musuh adalah mereka yang masih mau mendengarkan.

Comment