Air, Pengetahuan, dan Dekolonisasi: Belajar dari Krisis Air Tallo

Ferdhiyadi (Dosen Sosiologi UNM dan Pegiat Sejarah Komunitas)

Seminggu terakhir ini, Makassar diguyur hujan hampir setiap hari. Air mengalir deras di selokan, jalan-jalan tergenang, dan Tallo—wilayah pesisir yang telah lama hidup dalam kerentanan—kembali bersiap menghadapi kemungkinan banjir. Namun di tengah hujan yang melimpah itu, kebutuhan paling dasar warga justru tetap tidak terpenuhi.

ads

Keran PDAM di rumah-rumah mereka sudah bertahun-tahun tidak mengalir, sehingga keluarga di Tallo harus mengisi jeriken di bak umum atau membeli air galon untuk kebutuhan harian. Sesekali truk bantuan air bersih datang dari pemerintah; di masa tertentu, caleg memanfaatkan situasi yang sama untuk menarik simpati. Hujan membawa air berlebih, tetapi bukan air bersih yang bisa mereka gunakan.

Krisis air di pesisir Tallo bukanlah sekadar persoalan teknis tentang pipa atau jaringan distribusi yang tak pernah benar-benar menjangkau rumah warga. Ia membentuk ritme hidup yang berlangsung puluhan tahun: bangun lebih awal untuk memastikan jeriken terisi, mengatur sisa air agar cukup sampai malam, dan menyesuaikan kegiatan rumah tangga dengan ketersediaan air hari itu.

Di tempat yang dikelilingi air dari segala arah—sungai, laut, dan hujan yang nyaris turun saban hari, warga justru harus menata ulang hidupnya untuk air bersih yang tidak pernah stabil. Dari pengalaman inilah tercipta ingatan kolektif, kecakapan sehari-hari, dan cara membaca lingkungan yang diwariskan antargenerasi, jauh lebih lama daripada umur proyek-proyek teknis yang sering menjanjikan perbaikan.

Namun pengalaman seperti ini jarang dilihat sebagai pengetahuan. Kota lebih sering memahami krisis air melalui angka-angka, grafik, atau laporan teknis, bukan melalui tubuh yang setiap hari mengangkat jeriken atau ingatan yang menyimpan beragam cara membaca situasi.

Padahal warga memiliki pengetahuan yang tidak tertulis di dokumen resmi—pengetahuan yang lahir dari kedekatan mereka dengan ruang hidup, dari kepekaan yang diasah oleh kebutuhan, dan dari relasi ekologis yang mereka jaga terus-menerus. Di sinilah pendekatan dekolonial memberi ruang untuk melihat ulang siapa yang sebenarnya memahami krisis.

Seperti diingatkan Linda Tuhiwai Smith (1999) dalam Decolonizing Methodologies, produksi pengetahuan modern kerap memisahkan orang dari pengalamannya sendiri, menjadikan mereka objek yang diamati, bukan subjek yang membaca dunianya. Dengan kacamata itu, krisis air Tallo bukan hanya persoalan teknis, tetapi juga persoalan epistemik: siapa yang dianggap tahu, dan siapa yang disisihkan.

Krisis air sebagai krisis pengetahuan

Jika kita duduk bersama warga Tallo, di depan bak umum, di samping jeriken kosong, atau di salah satu titik antrean di Kelurahan Kalukubodoa, Buloa, dan Tallo, kita akan menemukan bahwa krisis air tidak hanya soal ketersediaan. Ia adalah soal bagaimana sebuah kota memilih untuk mendengar sebagian warganya dan mengabaikan yang lain.

Di banyak rumah, perempuan menjadi garda terdepan dalam mengelola air: mereka mengetahui perubahan kualitas air dari rasa yang tertinggal di lidah atau dari warna yang mengendap di dasar jeriken.

Namun pengalaman ini tidak mereka tanggung sendiri. Di beberapa keluarga, terutama di Kalukubodoa, Buloa, dan Tallo, anak-anak ikut membantu sejak pagi dan sore, mendorong gerobak bersama ibu mereka menyusuri jalan-jalan sempit untuk mengisi jeriken.

Dari kegiatan yang berulang inilah mereka belajar membaca ritme air: kapan harus berangkat lebih cepat karena antrean akan panjang, kapan bak umum mulai penuh, dan kapan biasanya truk bantuan melintas. Pengetahuan seperti ini tidak pernah tertulis, tetapi hidup dalam tubuh mereka, tumbuh dari kedekatan dan kebutuhan.

Namun pengetahuan semacam ini jarang dianggap sah. Ia tidak masuk indikator teknis, tidak mengisi dokumen pemerintah, dan tidak pernah menjadi dasar kebijakan. Inilah titik ketika krisis air berubah menjadi krisis epistemik: persoalan tentang siapa yang diakui sebagai pihak yang mengetahui dan siapa yang suaranya dianggap sekadar cerita pinggiran.

Gagasan dekolonial Linda Tuhiwai Smith memberi bahasa bagi apa yang selama ini kita lihat tetapi jarang kita sebut. Ia menantang cara penelitian modern yang kerap lahir dari tradisi kolonial yang menempatkan warga sebagai objek, bukan sebagai pemilik pengetahuan. Konsep storying dari Smith sangat relevan untuk memahami Tallo.

Storying bukan sekadar bercerita; ia adalah cara komunitas menyusun dunia melalui pengalaman, rasa, tubuh, dan ingatan. Ketika seorang ibu berkata bahwa antrean air masa kecilnya kini dialami kembali oleh anaknya—yang sekarang ikut mendorong gerobak—itu bukan nostalgia. Itu adalah teori hidup tentang bagaimana krisis ekologis diwariskan antargenerasi.

Begitu pula dengan konsep reframing, yang mengajak kita memindahkan pusat pemaknaan dari institusi teknis menuju pengalaman komunitas. Dengan reframing, warga tidak lagi ditempatkan sebagai data pendukung, tetapi sebagai pusat analisis. Pengetahuan mereka bukan anti-sains; ia adalah pengetahuan yang hidup, adaptif, dan menangkap detail-detail yang luput dari perhitungan teknokratik.

Dalam konteks Tallo, dekolonisasi bukan menolak pengetahuan modern, tetapi mengembalikan nilai epistemik pada pengalaman warga—termasuk pengalaman anak-anak yang tumbuh sambil belajar membaca tanda-tanda air.

Membaca ulang ilmu sosial dari pengalaman warga

Krisis air Tallo membuka ruang bagi kita—peneliti, pengajar, penulis, atau siapa pun yang bekerja dengan pengetahuan, untuk kembali melihat bagaimana ilmu sosial selama ini memahami kehidupan sehari-hari.

Banyak penelitian sosial tumbuh dari teori yang mapan dan metode teknis yang dirumuskan dari jarak tertentu. Namun pengalaman warga di Tallo menunjukkan bahwa ada cara mengetahui lain yang bekerja dalam keseharian: cara membaca lingkungan yang muncul dari kebutuhan, kedekatan, dan ingatan.

Tidak ada yang salah dengan teori besar atau kerangka metodologis. Tetapi pengalaman warga memperlihatkan bahwa pengetahuan juga dapat tumbuh dari hal-hal yang sering dianggap terlalu biasa: dari antrean dini hari, dari perubahan rasa air, dari lelah yang diulang setiap hari, atau dari dinamika kecil yang tidak tertangkap oleh instrumen teknokratik.

Pengalaman semacam ini memperkaya cara kita melihat kenyataan, bukan sebagai data tambahan, tetapi sebagai pintu masuk lain untuk memahami bagaimana masyarakat merespons krisis.

Refleksi ini tidak bermaksud menyudutkan teori, tetapi mengajukan kemungkinan: bahwa ilmu sosial dapat berkembang lebih kuat ketika ia membuka ruang bagi pengalaman warga sebagai sumber pengetahuan.

Ketika tubuh warga, ingatan warga, dan cara mereka membaca lingkungan menjadi bagian dari analisis, kita menemukan bahwa pengetahuan tidak hanya datang dari luar, tetapi juga tumbuh dari tempat-tempat yang selama ini berada di pinggir.

Dalam pengertian ini, membaca ulang ilmu sosial berarti memberi tempat pada keragaman cara mengetahui. Dekolonisasi bukan tentang menolak sains atau metode modern, tetapi tentang memperluas siapa yang diizinkan berbicara dan pengalaman siapa yang diakui sebagai dasar pemahaman.

Krisis air Tallo mengingatkan bahwa warga yang setiap hari berhadapan dengan persoalan justru memiliki kepekaan yang tidak dimiliki oleh dokumen atau laporan teknis. Dengan mendengarkan mereka, ilmu sosial tidak hanya menjadi lebih adil, tetapi juga lebih jujur pada kenyataan yang ingin dipahaminya.

Dan dari sinilah kita dapat melihat bahwa pengetahuan yang paling jernih sering justru lahir dari pengalaman yang paling sunyi.

Pada akhirnya, warga Tallo mengingatkan kita bahwa pengetahuan tidak selalu lahir dari ruang-ruang yang terang dan terukur. Ia tumbuh dari lorong-lorong basah, dari jeriken yang diisi berulang, dari tangan anak-anak yang mendorong gerobak bersama ibunya.

Dari tubuh yang bertahun-tahun menanggung absennya negara, mereka membangun cara membaca dunia yang tak pernah tercatat dalam dokumen teknis. Jika kita sungguh ingin memahami krisis air—dan mungkin memahami diri kita sebagai kota, maka kita harus mulai dari sini: dari mereka yang paling dekat dengan air, tetapi paling jauh dari janjinya.

Comment