Asratillah (Direktur Profetik Institute)
Paris di gang-gang kita
“Selama masih ada kebodohan dan kemiskinan di dunia, buku-buku seperti ini tidak akan sia-sia. Kegelapan melahirkan kejahatan; dan bila engkau hendak melenyapkan kejahatan, lenyapkanlah kegelapan.”

Kalimat itu tertoreh di Les Misérables (1862), karya besar Victor Hugo yang tak mudah dilupakan waktu. Hugo menulis tentang Paris abad ke-19, tentang orang-orang kecil yang hidup di antara debu jalan dan dingin tembok kota, tentang barikade-barikade yang dibangun bukan dari batu, melainkan dari keputusasaan dan harapan. Kota, dalam pandangan Hugo, adalah jantung kemanusiaan—dan jantung itu selalu berdegup lewat penderitaan orang-orang kecil.
Di balik romantika kisahnya, Les Misérables bagi saya dalam kadar tertentu bisa dianggap sebagai kitab politik urban, kisah tentang rakyat kota yang lelah-sangat menegakkan keadilan tatkala negara tak lagi peduli. Ketika Jean Valjean melawan hukum yang tidak adil, ketika Gavroche mati di atas barikade sambil menyanyikan lagu perlawanan, Hugo sedang menulis tentang demokrasi yang tak menunggu izin, demokrasi yang dirajut di jalanan.
Dua abad kemudian, gema itu terdengar di jalan-jalan Indonesia. Jakarta 1998 adalah Paris versi tropis. Mahasiswa dan rakyat miskin kota membangun barikade moral di depan gedung parlemen, menolak kekuasaan yang menindas. Tak ada Hugo di antara mereka, tapi semangatnya sama, keyakinan bahwa kota harus menjadi ruang bagi manusia, bukan mesin bagi kekuasaan.
Di Bandung, dua dekade kemudian, warga Tamansari mempertahankan rumah mereka dari penggusuran. Mereka memasak di tenda-tenda, bergantian berjaga malam, dan menolak pindah. Seperti rakyat miskin Paris, mereka tahu bahwa kota tanpa keadilan bukanlah tempat tinggal, melainkan penjara yang disamarkan. “Barikade bukan sekadar tembok batu,” tulis Hugo, “melainkan tembok hati.” Tamansari membuktikannya.
Makassar pun punya kisahnya. Di Mariso, komunitas miskin kota menolak digusur, membentuk koperasi warga, dan membangun dapur solidaritas. Di sana, demokrasi tidak datang dari ruang sidang, melainkan dari obrolan di teras rumah, dari keputusan bersama tentang siapa yang harus dibantu dulu. Hugo mungkin akan mengenali mereka sebagai “manusia yang disebut hina, padahal di situlah dasar kemanusiaan tumbuh.”
Yogyakarta dan Surabaya melanjutkan babnya sendiri. Warga kota mengorganisir perpustakaan jalanan, kampung hijau, hingga forum lingkungan. Barikade tak lagi berdiri di jalanan, tapi dalam bentuk gotong royong, dapur umum, dan forum warga. Demokrasi di sini bekerja secara senyap—ia bukan upacara politik, melainkan kebiasaan hidup bersama.
Hugo menulis, “Paris adalah jantung dunia. Bila jantung itu berdegup, seluruh bumi mendengar getarannya.” Hari ini, barangkali kita bisa mengatakan, Indonesia adalah paru-paru demokrasi urban. Ia belum sempurna, sering sesak, tapi masih bernapas—karena rakyat kecil terus menjaga napas itu.
Dari Jakarta hingga Makassar, dari Surabaya hingga Yogyakarta, kita menyaksikan demokrasi yang bekerja tanpa gembar-gembor, rakyat yang membangun barikade dalam bentuk solidaritas, bukan kekerasan. Namun, sebagaimana dalam novel Hugo, di balik romantisme perlawanan itu selalu ada statistik yang dingin—angka-angka yang menunjukkan seberapa jauh cita-cita itu benar-benar hidup di tubuh kota.
Statistik kota dan nafas demokrasi
Statistik Indonesia 2025, terbitan resmi Badan Pusat Statistik, mungkin tampak kering di mata sebagian orang. Tapi di balik tabel dan grafiknya, tersimpan kisah yang bisa kita rajut, tentang denyut demokrasi di perkotaan Indonesia—kisah yang tak jauh dari dunia yang dilukiskan Hugo.
Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) tahun 2024 yang tercatat dalam laporan itu menunjukkan nilai nasional sebesar 76,54, dengan skor tertinggi berasal dari wilayah perkotaan: DKI Jakarta mencapai 82,30, Jawa Barat 78,62, Jawa Timur 77,89, dan Sulawesi Selatan 77,02.
Angka ini menunjukkan bahwa kota masih menjadi pusat ekspresi politik, ruang di mana kebebasan berpendapat, berkumpul, dan berorganisasi relatif lebih hidup. Namun, di balik itu, dimensi kepercayaan terhadap lembaga demokrasi menurun—khususnya DPRD dan partai politik—dengan rata-rata nasional hanya 62,15. Artinya, warga kota lebih bebas bersuara, tetapi semakin ragu apakah suara itu didengar.
Tingkat partisipasi pemilih di daerah perkotaan juga memperlihatkan paradoks serupa. Pada Pemilu 2024, tingkat partisipasi di wilayah urban besar seperti DKI Jakarta hanya 78,1%, turun dibanding Pemilu 2019 yang mencapai 82,4%.
Sebaliknya, partisipasi dalam Pilkada lokal justru naik, di Makassar mencapai 74,8%, di Bandung 76,3%, dan di Yogyakarta 78,5%. Ini menandakan bahwa demokrasi kota mulai bersifat lokal deliberatif, warga lebih peduli pada isu yang langsung menyentuh hidup mereka—air bersih, penggusuran, harga sewa, dan transportasi publik—ketimbang politik nasional yang terasa jauh.
Namun data lain menunjukkan betapa rapuhnya fondasi itu. Tingkat kepercayaan warga terhadap pemerintah daerah menurun dari 70,5% (2023) menjadi 66,7% (2024). Di kota-kota besar, angka kepercayaan terhadap aparat penegak hukum bahkan lebih rendah, 61,9%. Makin banyak warga yang merasa keputusan publik diambil tanpa partisipasi mereka.
Ketimpangan juga jadi luka terbuka demokrasi perkotaan. Gini ratio perkotaan Indonesia mencapai 0,395, jauh lebih tinggi dibanding perdesaan yang 0,317. Artinya, di kota, demokrasi tumbuh di atas tanah yang tidak rata—di mana yang kaya punya lebih banyak akses terhadap ruang politik, sementara rakyat miskin kota hanya menjadi penonton pembangunan.
Namun tidak semua data muram. Dalam bab tentang kelembagaan sosial, BPS mencatat bahwa jumlah organisasi kemasyarakatan dan kelompok warga meningkat signifikan dalam lima tahun terakhir. Hingga 2024, terdapat lebih dari 96.000 organisasi lokal di wilayah perkotaan—dari RT/RW, karang taruna, komunitas lingkungan, hingga forum literasi. Angka partisipasi dalam kegiatan sosial di perkotaan naik menjadi 46,7%, dari 41% pada 2020.
Di tengah penurunan kepercayaan terhadap lembaga formal, warga kota justru membangun lembaga sosial alternatif. Ini bentuk baru dari barikade moral yang dulu dilukiskan Hugo—bukan lagi melawan dengan senjata, tapi dengan solidaritas sipil. Dengan demikian, data Statistik Indonesia 2025 memperlihatkan wajah ganda demokrasi kota.
Ia hidup, tapi pincang; tumbuh, tapi tidak merata. Ia kuat dalam kebebasan, namun rapuh dalam kepercayaan. Dan di situlah refleksi politik Hugo menemukan kembali relevansinya di abad ke-21. Demokrasi sejati tidak diukur dari institusi yang ada, melainkan dari moralitas warga yang menjaganya.
Sekali lagi, everyday politics
Dalam Everyday Politics (2004), Harry C. Boyte menulis bahwa demokrasi bukan sekadar urusan pemilihan umum atau lembaga formal; ia adalah “the politics of everyday life”—politik yang dikerjakan di dapur, di tempat kerja, di taman, di sekolah, di mana warga biasa bernegosiasi, berkolaborasi, dan berbuat sesuatu untuk kebaikan bersama.
Boyte menolak pandangan bahwa politik hanya milik negara atau partai. Ia memulangkan politik kepada warga, kepada tindakan-tindakan kecil yang, meskipun tampak remeh, sesungguhnya menjaga republik tetap hidup. Politik, dalam arti itu, adalah kerja sipil. Jika kita melihat kembali kisah Les Misérables dan data dari Statistik Indonesia 2025, kita menemukan gambaran yang sama: warga perkotaan sedang berjuang untuk mengerjakan politiknya sendiri.
Di Tamansari, warga mengubah tenda penggusuran menjadi ruang deliberasi. Di Mariso, rakyat miskin kota membangun koperasi sebagai bentuk kedaulatan ekonomi. Di Yogyakarta, kelompok muda mengelola perpustakaan jalanan. Semua ini adalah contoh everyday politics, politik yang bukan diatur oleh ideologi besar, tetapi oleh kebutuhan dan solidaritas.
Namun Boyte juga memperingatkan, politik yang dikerjakan ini mudah mati bila negara tidak mengakuinya. Ketika warga kehilangan kepercayaan pada pemerintah, atau ketika partisipasi mereka dianggap ancaman, politik sehari-hari itu akan menyusut menjadi apatisme.
Data BPS yang menunjukkan penurunan kepercayaan dan ketimpangan partisipasi adalah tanda-tanda awal dari proses itu. Di titik ini, kita harus kembali pada semangat Hugo, bahwa demokrasi bukanlah hadiah dari atas, tapi perjuangan moral dari bawah. Dalam konteks Indonesia, perjuangan itu menuntut dua hal.
Pertama, negara harus menata ulang cara mendengar. Pemerintah kota perlu membangun mekanisme partisipasi yang bukan sekadar formalitas—musyawarah yang benar-benar deliberatif, bukan ceremonial.
Kedua, warga harus menghidupkan kembali etos kerja politik sipil yang dikatakan Boyte, bahwa politik bukan profesi, melainkan tanggung jawab bersama. RT yang aktif, forum warga, komunitas literasi, kelompok lingkungan—semuanya harus dilihat bukan sebagai aktivitas sosial, tetapi sebagai fondasi demokrasi yang hidup.
Boyte menulis, “Democracy is a work to be done, not a structure to be admired.” Demokrasi adalah pekerjaan, bukan tugu. Ia dikerjakan dengan tangan yang kotor oleh warga biasa, bukan dirayakan dalam pidato pejabat.
Maka, demokrasi perkotaan Indonesia akan tumbuh bukan ketika kita memiliki undang-undang baru, tetapi ketika warga di Tamansari, Mariso, dan Kampung Kota Jakarta merasa bahwa tindakan mereka—betapa pun kecil—adalah bagian dari republik yang lebih besar.
Hugo memberi kita alegori moral; Boyte memberi kita kerangka kerja. Yang pertama mengajarkan empati, yang kedua mengajarkan aksi. Dan bila keduanya dijahit dalam konteks Indonesia, kita mendapat satu pesan yang sama: bahwa barikade sejati hari ini bukan lagi di jalanan, tapi di kesadaran kita—bahwa kota tanpa partisipasi warga hanyalah panggung, bukan rumah.
Kota selalu berisik, penuh polusi, tapi juga penuh kehidupan. Di dalam kebisingan itulah demokrasi bekerja—bukan di ruang sunyi kekuasaan, melainkan di percakapan, di musyawarah, di tangan-tangan warga yang menolak berhenti peduli.
Victor Hugo menulis Les Misérables untuk mengingatkan Eropa bahwa kemanusiaan harus diselamatkan dari sistem yang dingin. Harry C. Boyte menulis Everyday Politics untuk mengingatkan Amerika bahwa demokrasi harus diselamatkan dari apatisme warga. Indonesia, hari ini, berada di antara keduanya, negara yang sedang belajar bahwa sistem tanpa etos sipil akan kosong, dan moral tanpa partisipasi akan lumpuh.
Data Statistik Indonesia 2025 hanya menegaskan apa yang telah mereka katakan dengan cara lain, demokrasi perkotaan kita hidup, tapi lelah. Ia perlu dirawat bukan dengan proyek besar, tapi dengan tindakan kecil yang terus-menerus. Karena, seperti yang ditulis Hugo, “Tidak ada bunga yang tumbuh di atas lumpur tanpa terlebih dahulu meminum kegelapan.”
Dan mungkin, di bawah debu dan banjir kota, di antara baliho dan suara bising politik, demokrasi kita sedang tumbuh—pelan, tapi pasti—dari tangan-tangan yang kotor itu.
Comment