Makassar, Respublica— Kabupaten Luwu Timur memegang satu kekuatan yang sering luput dari perhatian: keberagaman adat, budaya yang kaya dan berlapis sejarah.
Di luar narasi tentang tambang nikel yang kerap menguasai imajinasi publik, Luwu Timur menyimpan khazanah kebudayaan. Jika digarap serius, dapat menjadi pilar baru pembangunan daerah, khususnya sektor pariwisata.

Salah satu komunitas yang menjadi atensi dalam upaya tersebut adalah etnis Wotu. Sayangnya, bahasa, ritus, seni, dan pengetahuan tradisional masyarakat Wotu kini berada pada titik nadir. Jika tidak segera diresiliensi, dikhawatirkan akan kehilangan generasi pewarisnya.
Di sinilah Pemerintah Kabupaten Luwu Timur mulai menaruh perhatian khusus, dengan berupaya menjadikan pariwisata berbasis adat sebagai jalan pelestarian budaya sekaligus penggerak ekonomi baru.
Upaya itu diwujudkan melalui kerja sama antara Badan Perencanaan Pembangunan, Riset dan Inovasi Daerah (Bapperida) Luwu Timur dan Yayasan Salam Insan Paripurna (SIP).
Keduanya telah memulai riset bertajuk Pengembangan Pariwisata Berbasis Adat di Kecamatan Wotu, yang kini memasuki tahap penting: Seminar pemaparan awal hasil riset di Hotel JL Star Makassar, Kamis (27/11/2025).
Riset tersebut dipimpin oleh Dr. Sabara Nuruddin, S.Fil., M.Fil., Peneliti di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) yang diberi mandat sebagai Ketua Tim Tenaga Ahli.

Wotu, salah satu komunitas tertua
Dalam wawancara khusus, Sabara menjelaskan alasan mengapa riset ini berfokus pada Wotu. Kata dia, secara historis dan kultural, Wotu merupakan salah satu komunitas tertua di Luwu Timur
“Saya tidak bilang satu-satunya, tapi salah satu komunitas tertua. Karena di Luwu timur itu ada Matano, ada Cerekang, dan lainnya,” ujarnya.
Selain itu, Wotu merupakan sebuah etnis yang memiliki identitas budaya yang khas, termasuk punya bahasa dan aksaranya sendiri. Kekayaan ini menunjukkan kedalaman sejarah dan kebudayaan Wotu.
Meski demikian, menurut Sabara, kondisi Wotu menunjukkan tingkat keterancaman lebih serius, terutama dari sisi bahasa, ritus, dan seni tradisi.
“Sehingga, untuk meresiliensi dan meng-empowering, mempertahankan keberlanjutan dan menguatkan kebudayaan Wotu yang terancam ini, dengan pariwisata,” ujarnya.
Potensi wisata berbasis adat Wotu
Sabara menyebut bahwa Wotu memiliki potensi wisata yang lengkap. Mulai dari sejarah, budaya, hingga ekowisata.
“Di Gunung Lampenai itu kan ada beberapa situs sejarah yang terkait dengan kerajaan Wotu. Bahkan belum ada riset ilmiah yang serius tentang kerajaan Wotu di masa lalu seperti apa,” ujarnya.
Beberapa situs yang menunggu sentuhan penelitian dan konservasi, antara lain: Situs Simpurusia, Situs Marajae, dan pusat ritus dan situs-situs kerajaan Wotu lainnya. Selain itu, terdapat ritus tradisi seperti macceratasi, serta berbagai bentuk tarian, kesenian, dan kerajinan.
Salah satunya, Tari Kajangki telah masuk dalam daftar Warisan Budaya Takbenda Nasional. Meski begitu, keberlanjutannya terancam karena generasi muda mulai menjauh dari tradisi.
“Pelakunya (Tari Kajangki), penggiatnya itu masih ada. Tapi perwarisan kebudayaan ini kan mengalami keterancaman ke Gen Z, gen Alpha. Sehingga dengan pariwisata ini bisa menjadi jalan untuk mempertahankan dan menguatkan budaya,” tegasnya.
Meski penting membuat pariwisata berbasis adat, namun Sabara menekankan bahwa pengembangan pariwisata tidak boleh menjadikan budaya Wotu sebagai komoditas yang diperdagangkan.
Ia menilai bahwa praktik komodifikasi budaya harus ditekan seminimal mungkin. Menurutnya, tujuan utamanya memastikan bahwa aktivitas pariwisata mendukung upaya pelestarian, penguatan, dan pengembangan kebudayaan Wotu.
“Jadi budaya bukan dikomersialisasikan, tapi bagaimana komersialisasi oleh pariwisata ini mendukung, menguatkan pembertahanan dan pengembangan kebudayaan. Jadi titik poinnya adalah pada pelestarian dan pengembangan kebudayaan. Impact-nya ekonomi,” jelasnya.
Riset ini mengambil fokus data di Desa Lampenai, sebuah lokasi yang dianggap paling representatif untuk menunjukkan keaslian budaya Wotu. Secara sosial dan demografis, Lampenai dinilai relatif lebih mampu mempertahankan identitas asli dibanding wilayah lain.
“Wotu itu sebuah etnis. Punya bahasa bahkan punya aksara. Ini yang masih perlu digali kembali,” ujar Sabara.
Jika pariwisata berbasis adat dikembangkan, Lampenai dan kawasan Gunung Lampenai akan menjadi pusat aktivitas wisata budaya Wotu.
Regulasi jadi kebutuhan mendesak
Sabara mengungkapkan bahwa sejumlah rekomendasi telah disusun. Salah satu yang paling utama adalah kebutuhan akan penerbitan regulasi yang lebih operasional.
Menurutnya, dokumen perencanaan seperti RPJPD dan RPJMD Luwu Timur sebenarnya sudah dapat menjadi payung kebijakan. Hanya saja perlu diterjemahkan lebih lanjut ke dalam Renstra OPD.
“Ada Perda, meskipun secara umum tidak terkhusus Wotu, tentang pelestarian situs di Luwu Timur 2021. Tadi kan perda ini belum ada turunannya di Perbup. Sehingga Perda ini masih belum bisa operasional kan. Belum ada juklak-juknisnya kan,” ujarnya.
Ia merekomendasikan penyusunan Peraturan Bupati yang secara spesifik mengatur pelestarian situs sejarah dan budaya lokal, termasuk Wotu dan komunitas adat lain.
Pariwisata bisa jadi sektor unggulan
Sabara menegaskan bahwa fokus pengembangan pariwisata berbasis budaya tidak hanya ditujukan untuk Wotu semata. Sejak awal, ia menyebut Wotu hanyalah salah satu komunitas yang menjadi perhatian, bukan satu-satunya.
Semua komunitas dan kebudayaan lokal di Luwu Timur, menurutnya, perlu mendapatkan perhatian karena masing-masing memiliki potensi wisata budaya.
“Sehingga ketika kita menyebut Luwu Timur tidak hanya identik dengan tambang nikel. Tapi juga ada kebudayaan lokal yang sangat beragam,” ujarnua.
Penguatan di Wotu diharap dapat menjadi titik awal untuk mendorong pengembangan di komunitas lain melalui prinsip bridging dan linking.
“Jadi juga Wotu itu kan dari sini kita bisa menjadi jembatan ya untuk pada komunitas-komunitas sekitar. Ada Cerekang, ada Matano dan lainnya,” ujarnya.
Ia juga melihat adanya keuntungan bagi pemerintah daerah apabila Wotu dijadikan basis pariwisata kebudayaan. Karena dampaknya bukan hanya pada pelestarian budaya, tetapi juga pada pelestarian lingkungan.
Mengingat banyak situs berada di kawasan pegunungan dan hutan. Pariwisata dinilainya dapat menjadi pemicu kemajuan daerah, memberikan dampak ekonomi, memperluas lapangan kerja, dan menghadirkan sektor unggulan selain tambang.
Dengan demikian, pendapatan asli daerah dapat meningkat dan sektor UMKM turut hidup seiring berkembangnya wisata budaya di Luwu Timur.
“Setidaknya pariwisata menjadi sektor andalan minimal kedua setelah tambang. Tadi yang saya katakan kan. Ketika mendengar Luwu Timur, tidak hanya imajinasi kita tambang nikel. Tapi juga wisata budaya yang beragam,” tutupnya.
Comment