Dikepung Bencana Ekologis

Yunasri Ridhoh (Alumni PPNK Lemhannas RI/Dosen Universitas Negeri Makassar)

Bencana ekologis yang melanda pulau Sumatera dalam beberapa hari terakhir menyedot perhatian dan empati publik. Kita tentu berduka. Dalam hitungan jam, bencana mengepung, banjir bandang, tanah longsor, dan gelombang air yang menghancurkan permukiman serta lahan pertanian warga.

ads

Update informasi per 02 Desember 2025, dari laman Kompas.com, bencana Sumatra terdapat 659 korban meninggal dunia, 475 masih hilang, serta ratusam hektar lahan perkebunan lenyap disapu banjir. Luapan air itu menyebabkan 12.586 Kepala Keluarga (KK) atau  diperkirakan puluhan ribu jiwa harus mengungsi akibat bencana tersebut di tiga provinsi, yakni Sumatra Utara, Sumatra Barat dan Aceh.

Angka di atas hanya sebagian. Data keseluruhan berdasarkan dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat sepanjang 1 Januari hingga 28 November 2025, terdapat 2.942 bencana alam yang terjadi di Indonesia dengan lebih dari 70% di antaranya merupakan banjir dan cuaca. Apakah ini sekadar statistik?, itulah pertanyaan pentingnya.

Bencana ekologis

Temuan para ahli ITB dan BMKG mengungkap bahwa Siklon Tropis Senyar memicu anomali cuaca, di mana suplai uap air meningkat, pembentukan awan hujan menguat, dan presipitasi ekstrem terjadi secara singkat namun mematikan. Namun faktor atmosfer saja tidak menjelaskan seluruh tragedi.

Tanah di banyak wilayah Sumatera telah kehilangan penyangga alaminya, lihatlah hutan ditebang, lahan berubah fungsi, dan kawasan resapan air hilang. Kombinasi cuaca ekstrem + degradasi lingkungan menjadikan setiap curah hujan sebagai ancaman langsung bagi kehidupan warga.

Tragedi Sumatera menjadi alarm keras bahwa Indonesia, sebagai negara dengan keanekaragaman hayati besar dan kerentanan iklim tinggi, membutuhkan perubahan paradigma yang lebih fundamental, yakni perubahan yang salahsatunya menyentuh dimensi kewargaan, kebijakan publik, dan terutama tanggung jawab etis antar generasi.

Bencana yang menyapu Sumatera tidak dapat dipahami semata sebagai “musibah” atau “bencana alam”. Dalam kajian ilmiah, istilah yang lebih tepat adalah bencana ekologis, atau bencana lingkungan, sebuah kejadian ekstrem yang muncul akibat interaksi antara dinamika alam dan intervensi “tangan” manusia.

Siklon Senyar memang memicu hujan ekstrem, tetapi kemampuan alam untuk menyerap air sudah jauh berkurang. Hilangnya tutupan hutan membuat air tidak meresap ke tanah, melainkan meluncur cepat ke hilir sebagai banjir bandang.

Peradaban modern kerap lupa bahwa lingkungan memiliki kapasitas dukung. Ketika daya dukung itu dilampaui, alam memberi respons yang keras. Banjir dan longsor, dalam perspektif ini, bukan hanya peristiwa fisik, tetapi sinyal bahwa kita sedang melampaui batas ekologis yang semestinya dijaga. Relasi manusia dengan alam telah berubah dari hubungan saling menjaga menjadi hubungan yang eksploitatif.

Pembangunan tanpa tata ruang yang ketat, ekstensifikasi lahan tanpa konservasi, dan lemahnya pengawasan terhadap eksploitasi sumber daya alam memperburuk kondisi. Dalam banyak kawasan, sungai menyempit akibat sedimentasi, lereng bukit kehilangan vegetasi, dan daerah tangkapan air berubah menjadi permukiman. Ketika hujan ekstrem datang, bencana nyaris tak terelakkan.

Kita harus mengakui kenyataan ini: krisis ekologis bukan semata fenomena alamiah. Ia merupakan produk dari keputusan manusia, kebijakan publik, dan pola pembangunan yang tidak berkelanjutan. Bencana Sumatera adalah refleksi dari model kemajuan yang abai terhadap keseimbangan lingkungan.

Kewargaan ekologis

Menghadapi realitas bencana ekologis, Indonesia membutuhkan pendekatan baru dalam memahami peran warga negara. Di sinilah gagasan “green citizenship” menjadi penting, sebuah konsep kewargaan ekologis yang menempatkan keberlanjutan lingkungan sebagai inti dari praktik kewargaan.

Dalam konsepsi ini, warga tidak hanya diandaikan sebagai pemilih dalam pemilu atau pengguna layanan publik, tetapi juga sebagai penjaga sekaligus bagian dari hak ekologis yang memiliki tanggung jawab terhadap kualitas lingkungan hidup.

Dengan kata lain, green citizenship menuntut kesadaran bahwa tindakan personal selalu akan memiliki dampak kolektif, apalagi kalau itu tindakan struktural. Misalnya cara kita mengelola sampah, memilih dan mengelola moda transportasi, memanfaatkan energi, atau mengonsumsi produk yang berasal dari lahan-lahan eksploitatif akan menentukan jejak ekologis yang berdampak pada orang lain.

Selain itu, lebih substantif lagi, green citizenship tidak berhenti pada etika personal. Tetapi juga secara struktural dan politis. Karena itu warga ekologis perlu menjadi bagian dari pengawasan publik terhadap kebijakan negara, misalnya mengawal tata kelola ruang, mengkritisi kebijakan yang merusak hutan, menuntut transparansi izin lingkungan, mengadvokasi anggaran penanggulangan bencana yang terus dipangkas, atau mendukung kebijakan mitigasi iklim yang adil.

Dalam kerangka inilah partisipasi publik menjadi aktif, bukan pelengkap, melainkan syarat utama keberlanjutan. Inilah kewargaan lingkungan, atau kewargaan hijau, atau kewargaan ekologis. Bencana di Sumatera adalah contoh paling kongkret bahwa lemahnya pengawasan terhadap aktivitas perusakan lahan berdampak langsung pada kerentanan bahkan kerusakan ekologis.

Di tingkat mikro, green citizenship ini berfungsi untuk mendorong aksi kolektif, gerakan reboisasi, rehabilitasi sungai, sekolah alam, komunitas energi bersih, hingga forum warga yang mengawal risiko bencana, dan lain sebagainya, dan lain seterusnya.

Ketahanan ekologis ini perlu dibangun dari segala sisi, dari atas, bawah, dan semua sisi-sisi lainnya, ia memerlukan kesadaran dari ruang hidup sehari-hari warga negara. Dengan demikian, kewargaan ekologis sesungguhnya bentuk kewargaan yang menjembatani negara, masyarakat, dan lingkungan. Ia menandaskan bahwa keberlangsungan bangsa tidak mungkin dicapai tanpa keberlangsungan ekologis. Itu dalilnya.

Keadilan antar generasi

Krisis iklim dan bencana ekologis pada akhirnya membawa kita pada pertanyaan mendasar, warisan apa yang ingin kita tinggalkan bagi generasi mendatang? Apakah kita akan mewariskan tanah-tanah gundul, sungai-sungai yang tercemar, udara penuh polusi, dan musim yang tak lagi dapat diprediksi? Ataukah kita ingin mewariskan sistem ekologis yang sehat, seimbang, dan mampu menopang kehidupan?

Di sinilah pentingnya prinsip keadilan antar generasi. Generasi hari ini memiliki tanggung jawab etis untuk tidak menghabiskan sumber daya dan ruang hidup yang dibutuhkan oleh generasi berikutnya. Hak generasi mendatang untuk hidup di lingkungan yang layak sama pentingnya dengan hak generasi sekarang. Sehingga saat hutan dihancurkan atau tata ruang diabaikan, kita bukan hanya merugikan diri kita, tapi kita  merampok masa depan mereka yang belum lahir.

Keadilan antar generasi juga berarti memastikan bahwa mitigasi dan navigasi perubahan iklim tidak menjadi beban sepihak. Mereka yang paling rentan, seperti masyarakat adat, petani kecil, dan keluarga berpenghasilan rendah, sering menjadi korban paling berat dari bencana ekologis.

Karena itu, kebijakan publik harus memastikan bahwa mereka mendapat perlindungan dan akses terhadap sumber daya adaptasi. Bencana Sumatera menunjukkan bahwa ekosida atau kejahatan ekologis hari ini adalah hutang moral yang akan diwariskan kepada generasi berikutnya.

Jika kita terus menunda tindakan, krisis akan semakin sulit diatasi, dan beban itu akan menjadi milik anak-anak kita. Karena itu, setiap langkah kecil menuju keberlanjutan, dari tingkat rumah tangga hingga kebijakan nasional, bukan sekadar tindakan ekologis, tetapi bentuk tanggung jawab etis.

***

 

Bencana ekologis di Sumatera adalah fakta paling telanjang dari keroposnya relasi kita dengan alam. Siklon Senyar mungkin pemicunya, tetapi ekosida dan degradasi lingkungan adalah penyebab struktural yang memperbesar dampaknya.

Konsep kewargaan ekologis mengajukan tawaran jalan untuk membangun kembali etika kewargaan yang berakar pada kepedulian ekologis, sedangkan prinsip keadilan antar generasi menyadarkan kita bahwa keputusan hari ini akan menentukan nasib anak cucu dan para generasi yang akan datang.

Di tengah kepungan krisis yang semakin sering datang, pilihan kita hanya dua: terus membiarkan lingkungan hancur perlahan, atau mulai membangun dengan kesadaran baru, sebuah kesadaran bahwa menjaga bumi adalah bagian dari menjaga diri dan bangsa itu sendiri.

Setiap warga, setiap kebijakan, dan setiap tindakan ekologis adalah investasi untuk masa depan. Dan dari tragedi inilah, kita harus belajar bahwa bumi dapat marah, dan haruskah kita membiarkan kemarahan terus dapat silih berganti

Comment