M. Yunasri Ridhoh (Alumni PPNK Lemhannas RI/Dosen Universitas Negeri Makassar)

“Salus populi suprema lex esto.”
Hukum tertinggi adalah keselamatan rakyat.
— Marcus Tullius Cicero, dalam buku De Legibus
Ungkapan klasik Cicero ini lahir lebih dari dua ribu tahun lalu, tapi rasanya tetap relevan dan aktual. Ia menadaskan satu prinsip penting, bahwa segala hukum, kekuasaan, dan kedaulatan negara pada akhirnya hanya sah sejauh ia melindungi keselamatan manusia, keselamatan rakyat.
Prinsip inilah yang semestinya menjadi titik tolak dalam membaca sikap pemerintahan Presiden Prabowo Subianto yang menolak bantuan asing dalam penanganan bencana di Sumatra Utara, Sumatra Barat, dan Aceh, atas nama kemandirian dan kedaulatan negara. Sikap ini pula lah yang ingin diproblematisir dalam artikel ini.
Kemanusiaan vs kedaulatan
Bencana selalu menjadi wajah paling jujur bagi sebuah negara. Dalam situasi normal, negara dapat menutup banyak bolong-bolong kelemahannya dengan berbagai dalih prosedur birokrasi, retorika pembangunan, dan simbol-simbol kekuasaan.
Namun saat bencana datang, misalnya banjir, longsor, keterisolasian wilayah, krisis pangan dan air bersih, maka yang tersisa hanyalah satu ukuran, yaitu seberapa cepat dan seberapa serius negara menyelamatkan manusia.
Penolakan bantuan asing oleh pemerintah dalam rangkaian bencana di Sumatra dan Aceh membawa Indonesia pada persimpangan nilai yang tidak sederhana. Di satu sisi, negara ingin menegaskan kedaulatan dan kemandiriannya. Di sisi lain, warga menghadapi situasi darurat yang menuntut respons cepat, merata, dan itu melampaui kapasitas nasional yang tersedia secara efektif di lapangan.
Dalam Pancasila, ketegangan ini hadir secara eksplisit dalam relasi antara Sila Kedua “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab” dan Sila Ketiga “Persatuan Indonesia.” Dalam keadaan normal, kedua sila ini sebetulnya dan senyatanya berjalan beriringan.
Persatuan menjadi sarana untuk menjamin kemanusiaan, sementara kemanusiaan menjadi dasar moral persatuan. Namun dalam situasi krisis, relasi ini kadang diseret ke dalam situasi dilematis. Kita tahu, sila Kedua menuntut negara untuk memprioritaskan keselamatan manusia tanpa penundaan.
Sementara Sila Ketiga, jika dibaca secara kaku, sering dijadikan justifikasi untuk menolak keterlibatan pihak luar. Di sinilah pertanyaan etis muncul, apakah kedaulatan masih bermakna jika ia dijalankan dengan menunda atau mengorbankan keselamatan manusia?
Ketegangan antara kemanusiaan dan kedaulatan ini juga dapat dibaca melalui pemikiran Hannah Arendt tentang makna politik dari tindakan negara dalam situasi ekstrem. Bagi Arendt politik pada dasarnya adalah ruang untuk melindungi keberlangsungan hidup manusia secara bermartabat.
Ketika negara terlalu terikat pada logika formal kedaulatan dan prosedur, ia berisiko terjebak pada apa yang oleh Arendt disebut sebagai ‘banality of administrative reasoning”, atau kebijakan yang tampak sah secara administratif, tetapi kehilangan kepekaan moral terhadap penderitaan nyata manusia.
Dari perspektif hukum tata negara dan teori legitimasi, Lon L. Fuller berulangkali mengingatkan bahwa hukum dan kebijakan publik memperoleh legitimasi bukan karena otoritas yang mengeluarkannya, melainkan karena kemampuannya menjawab kebutuhan konkret masyarakat.
Sehingga dalam situasi bencana, legitimasi negara diuji bukan oleh pidato kedaulatan, tetapi oleh efektivitas tindakan penyelamatan. Kedaulatan yang tidak berfungsi untuk melindungi warga justru kehilangan dasar etiknya.
Dengan kata lain, negara yang bersikeras menampilkan kemandirian simbolik, dan beragam retorika kedaulan lainnya, tetapi gagal memastikan keselamatan manusia, sedang mempertaruhkan makna substantif dari persatuan itu sendiri.
Nasionalisme dan internasionalisme
Dalam teori politik klasik, kedaulatan dipahami sebagai otoritas tertinggi negara yang bebas dari intervensi eksternal. Namun sejarah modern menunjukkan bahwa negara tidak selalu mampu melindungi rakyatnya sendiri, terutama dalam situasi krisis kemanusiaan. Kesadaran inilah yang melahirkan doktrin “Responsibility to Protect” (R2P), yang menegaskan bahwa kedaulatan tidak boleh dilepaskan dari tanggung jawab melindungi warga.
Dalam kerangka R2P, kedaulatan tidak gugur ketika negara menerima bantuan, tetapi justru dipraktikkan secara bermartabat ketika negara membuka diri demi keselamatan rakyatnya. Kedaulatan yang menolak solidaritas kemanusiaan global, sementara rakyat berada dalam kondisi darurat, adalah kedaulatan yang kehilangan legitimasi moral.
Di titik ini, pemikiran Bung Karno menjadi sangat relevan. Ia pernah menegaskan, “Internasionalisme tidak dapat hidup subur kalau tidak berakar di dalam bumi nasionalisme. Begitu juga nasionalisme tidak dapat hidup subur kalau tidak hidup dalam tamansari internasionalisme.”
Menurut saya, pernyataan Bung Karno itu menunjukkan pesan yang teramat jelas bahwa nasionalisme dan internasionalisme bukanlah dua kutub yang saling meniadakan, melainkan dua prinsip yang saling menguatkan.
Nasionalisme tanpa internasionalisme akan mengering menjadi chauvinisme dan ketakutan terhadap dunia luar. Sebaliknya, internasionalisme tanpa nasionalisme akan kehilangan arah dan tanggung jawab.
Dalam konteks bencana, menerima bantuan kemanusiaan internasional justru merupakan bentuk internasionalisme yang berakar kuat pada kepentingan nasional paling mendasar, yaitu menyelamatkan rakyat.
Penolakan bantuan asing atas nama kedaulatan dalam bencana di Sumatra dan Aceh menunjukkan apa yang dalam studi politik disebut sebagai nasionalisme defensif, yaitu nasionalisme yang lebih sibuk menjaga citra kemandirian daripada memastikan perlindungan manusia. Nasionalisme semacam ini tidak memperkuat negara, melainkan menjauhkan negara dari nilai-nilai kemanusiaan yang menjadi dasar kelahirannya.
Selain itu, pengalaman berbagai negara menunjukkan bahwa bantuan kemanusiaan internasional dapat dikelola tanpa mengorbankan otoritas dan wibawa negara, sepanjang ada kepemimpinan nasional yang kuat dan kerangka koordinasi yang jelas. Negara tetap menjadi aktor utama, sementara komunitas internasional berperan sebagai mitra solidaritas.
Dengan demikian, perdebatan antara nasionalisme dan internasionalisme dalam konteks bencana seharusnya tidak berhenti pada dikotomi menerima atau menolak bantuan asing. Pertanyaan yang lebih penting adalah bagaimana negara menggunakan jejaring global untuk memperkuat perlindungan warganya, mempercepat pemulihan, dan membangun ketangguhan jangka panjang.
Kedaulatan yang matang bukanlah kedaulatan yang menutup diri, melainkan kedaulatan yang mampu berdialog dengan dunia demi martabat dan keselamatan manusia.
Sila kedua di tengah krisis
Sila Kedua Pancasila menempatkan manusia sebagai pusat etika bernegara. Dalam kondisi bencana, sila ini tidak lagi bersifat simbolik, melainkan operasional. Hak hidup, akses pangan, air bersih, layanan kesehatan, dan perlindungan kelompok rentan tidak dapat ditunda oleh klaim kesiapan negara yang tidak sejalan dengan realitas lapangan.
Konsep human security memperjelas persoalan ini. Keamanan tidak lagi dipahami semata-mata sebagai perlindungan wilayah negara, tetapi sebagai perlindungan manusia dari ancaman paling mendasar, yaitu kelaparan, penyakit, keterisolasian, dan ketelantaran.
Negara yang gagal menjamin human security sedang menjalankan apa yang oleh Johan Galtung disebut sebagai kekerasan struktural, yaitu penderitaan yang muncul akibat kelalaian sistemik dan kegagalan kebijakan.
Pemerintah sering bersembunyi di balik argumen bahwa negara memiliki sumber daya internal yang memadai, termasuk melalui Operasi Militer Selain Perang (OMSP). Secara normatif, hal ini benar. Namun persoalan utama bukan pada ketersediaan sumber daya, melainkan kepemimpinan, koordinasi, dan kecepatan eksekusi. Kapasitas tanpa manajemen krisis adalah potensi yang lumpuh.
Dalam teori negara, kondisi ini mendekati “sectoral state failure”, atau negara tidak runtuh secara keseluruhan, tetapi gagal menjalankan fungsi vitalnya pada sektor tertentu. Menutup pintu bantuan internasional dalam kondisi seperti itu justru memperbesar risiko kegagalan dan penderitaan rakyat.
Pancasila bukan hanya dasar negara dalam situasi normal, tetapi juga kompas etis dalam keadaan darurat. Dalam hierarki moral Pancasila, kemanusiaan adalah fondasi, persatuan adalah sarana, dan kedaulatan adalah instrumen. Ketiganya tidak sejajar secara moral.
Sila Ketiga tidak pernah dimaksudkan untuk meniadakan Sila Kedua. Persatuan Indonesia kehilangan makna jika rakyatnya dibiarkan menderita oleh penderitaan yang dapat dicegah dan diatasi. Kedaulatan kehilangan martabat jika ia dijalankan dengan mengorbankan keselamatan manusia.
Penolakan bantuan asing dalam bencana di Sumatra Utara, Sumatra Barat, dan Aceh menunjukkan bagaimana Pancasila berisiko direduksi menjadi slogan. Kedaulatan ditegaskan, tetapi kemanusiaan ditunda.
Kembali pada Cicero, “Salus populi suprema lex esto.” Jika keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi, maka seluruh klaim kedaulatan, nasionalisme, kemandirian dan kehormatan negara harus tunduk padanya.
Pancasila diuji bukan ketika negara kuat dan stabil, tetapi ketika negara berada dalam keterbatasan. Dan dalam ujian itu, sebagaimana diingatkan Bung Karno, nasionalisme hanya akan hidup subur jika ia berakar pada kemanusiaan dan tumbuh dalam tamansari solidaritas internasional. Tanpa itu, kedaulatan hanya akan menjadi kebanggaan kosong, tidak menyelamatkan siapa pun.
Comment