Muh.Fadli (Ketua KPC HMI Palopo)
Tulisan dari Ahmad Nurfajri Syahidallah berujudul “Pengader, Khittah Perjuangan, dan Benteng Nalar di Era Implosi Pengetahuan” merupakan contoh sempurna dari apa yang ia sendiri sedang kritik berkenaan HMI: implosi pengetahuan yang berujung pada masturbasi intelektual tanpa praksis.

Ironinya cukup menyakitkan, seorang Ketua Koordinator Korps Pengader Nasional (KPN) yang begitu fasih membicarakan “kematian intelektual”, “dialektika epistemik”, dan “integritas moral”, ternyata gagal menjalankan tugas paling mendasar ide-ide besar di internal HMI dengan gagal melakukan pengawalan pendistribusian hasil-hasil kongres dan grand tema PB HMI kepada cabang-cabang.
Onani intelektual yang steril
Tulisan yang Ahmad buat sarat dengan jargon filosofis yang dipinjam dari Yasraf Amir Piliang seperti “implosi pengetahuan”, “filter bubble“, “slow thinking“, dengan seolah-olah menguasai teori canggih adalah pengganti dari kerja konkret.
KPN tersebut sibuk membangun menara gading konseptual tentang bagaimana Pengader harus menjadi “intelektual penyelamat” dan “garda terdepan”, tetapi hampir sebulan pasca-pelantikannya, fungsi paling dasar sebagai koordinator distribusi pengetahuan organisasi justru diabaikan.
Hal ini tidak layak disebut dialektika melainkan hipokrisi. Bagaimana mungkin berani berbicara tentang “transformasi nilai” dan “fasilitator dialektika epistemik” ketika grand tema kongres yang seharusnya menjadi bahan tafsir dan diskusi di cabang-cabang malah menguap dalam kekosongan operasional?
Khittah Perjuangan sebagai topeng, bukan kompas
Penulis bahkan dengan sombongnya menempatkan Khittah Perjuangan sebagai “mercusuar ideologis” dan “kontrak etik”. Namun, apa gunanya mercusuar jika kapal yang dipimpin justru terombang-ambing tanpa navigasi?
Kegagalan mendistribusikan hasil Kongres adalah pengkhianatan terhadap Khittah Perjuangan itu sendiri yang isinya syarat pada penekankan independensi intelektual dan supremasi nalar melalui akses terhadap pengetahuan organisasi.
Cabang-cabang yang seharusnya menjadi ruang “rekonsiliasi intelektual” membincang apa yang dimaksud “Intergari HMI” ala PB malah justru dibiarkan kelaparan tanpa materi diskusi berkenaan mau dibawa ke mana HMI secara internal. Grand tema yang seharusnya ditafsirkan ulang sesuai konteks lokal malah tidak pernah sampai. Ini bukan independensi ini penelantaran struktural.
Pengader yang gagal menjadi pengader
Lagi-lagi penulis dengan percaya diri menyatakan: “Komitmen dan kualitas personal setiap Pengader adalah kunci terhadap keberhasilan HMI MPO.” Oleh karena itu, mari kita ukur dengan standar yang ia sendiri tetapkan:
- Transformasi Nilai? Gagal. Nilai tanggung jawab operasional tidak diinternalisasi.
- Fasilitator Dialektika Epistemik? Gagal. Tidak ada materi untuk didialektikakan di cabang khususnya berkenaan “Integrasi HMI” yang dimaksud PB.
- Penjaga Integritas Moral? Gagal. Kompromi terhadap kelalaian administratif adalah bentuk pragmatisme terburuk.
Penulis menuntut Pengader menjadi “representasi visual dari nilai-nilai” Khittah Perjuangan. Representasi visual yang ditampilkan saat ini adalah ketidakbecusan yang dibungkus retorika megah yang menggelikan.
Dari “intelektual penyelamat” menjadi “birokrat pelupa”
Dalam tulisannya Ketua KPN tersebut mengklaim Pengader harus menjadi “Intelektual Penyelamat” yang membentengi kader dari kedangkalan zaman. Namun realitasnya? Pengader yang tidak mampu menjalankan fungsi administrasi dan koordinasi dasar justru memperdalam krisis organisasi.
Contoh paling kongkret adalah komunikasi awal yang dilakukan di cabang-cabang adalah pengecekan adanya KPC bukan memberikan draft arah perkaderan kita mau dibawa ke mana, artinya ia lebih menghawatikan kuantitas SDM ketimbang kualitas SDM.
Perlu diingat Kembali kematian intelektual yang paling berbahaya bukan datang dari TikTok atau media sosial tetapi dari pemimpin yang lebih suka sok berfilsafat daripada bekerja, yang lebih nyaman menulis esai panjang tentang “slow thinking” daripada memastikan hasil-hasli kongres dan penjabaran Grand Tema yang diusung PB HMI sampai ke tangan kader di daerah.
Kesimpulan: Ludahi diri sendiri dengan tinta
Tulisan dari Ahmad adalah cermin retak dari kepemimpinan yang gagal. Setiap kalimat tentang integritas, disiplin intelektual, dan komitmen moral menjadi cemoohan terhadap diri sendiri ketika dihadapkan pada fakta: hampir sebulan, hasil kongres masih mengambang, grand tema tidak ditafsirkan, cabang-cabang tidak terkoneksi dengan pusat pemikiran organisasi.
Anda tidak bisa mengkritik “implosi pengetahuan” sambil menjadi pelaku utamanya. Anda tidak bisa menuntut kader “memamah buku layaknya sepotong pizza” ketika Anda sendiri tidak mampu mengirimkan buku ke meja mereka.
Khittah Perjuangan mengajarkan independensi dan supremasi nalar. Yang dibutuhkan HMI MPO saat ini bukan filosofi tambahan, tetapi pengader yang bekerja, yang konsisten, yang menjaga janji operasionalnya. Sisanya hanya retorika kosong yang meludahi wajah organisasi sendiri. Pesan untuk KPN: Berhenti menulis, mulai bekerja. Atau mundur, dan biarkan yang lebih becus menjalankan amanah.
Comment