Ferdhiyadi (Dosen Sosiologi UNM dan Pegiat Sejarah Komunitas)
Menjelang peringatan Hari Ulang Tahun ke-418 Kota Makassar, kita kembali dihadapkan pada sejumlah slogan optimistis tentang harmoni, kolaborasi, dan masa depan kota. Namun sebelum euforia perayaan itu memenuhi ruang publik, ada baiknya kita menengok kembali sebuah kawasan yang menjadi fondasi awal perjalanan kota ini: Tallo. Pertanyaan yang patut diajukan adalah sederhana tapi penting—apakah Makassar telah melupakan Tallo?

Tallo Lama—saat ini secara administrasi Kelurahan Tallo adalah kampung bersejarah yang sejak abad ke-14 memainkan peran sentral dalam pembentukan identitas Makassar. Sebelum pusat kekuasaan Kerajaan Gowa-Tallo dipindahkan ke Somba Opu pada masa Raja Tuma’parisi’ Kallonna sekitar abad ke-16.
Tallo lebih dulu merupakan kerajaan maritim berdaulat dengan pelabuhan Kaluku Bodoa di muara Sungai Tallo. Pelabuhan ini menghubungkan Makassar dengan wilayah barat Nusantara hingga Asia Tenggara.
Kronik Tallo bahkan mencatat Raja Tallo pertama Karaeng Loe ri Sero yang berlayar ke Jawa dan Tunilabu’ ri Suriwa—Raja Tallo kedua, istrinya berasal dari Jawa Timur (Pelras, 2006). Di titik inilah jaringan perdagangan internasional dan kosmopolitanisme Makassar bermula.
Dalam sebuah diskusi publik bertemakan “Menemukan Kembali Tallo” yang diadakan di Aula Kantor Kecamatan Tallo pada 22 Juli 2024, Muhlis Hadrawi, Guru Besar Filologi Universitas Hasanuddin menjelaskan bahwa lontaraq mencatat aktivitas perdagangan di pelabuhan Kaluku Bodoa sejak lama, termasuk masuknya komoditas kapur barus dari Sumatra. Tallo adalah simpul awal jejaring maritim, sebelum kota ini punya citra modern sebagai “kota dunia.”
Tallo juga merupakan pintu awal Islamisasi Sulawesi Selatan. Menurut cerita rakyat, Datuk ri Bandang pertama kali mendarat di Tallo pada tahun 1605 dengan perahu ajaib. Raja Tallo ke-VI saat itu—juga merupakan Tumabicara Butta (Perdana Menteri) Kerajaan Gowa-Tallo, Karaeng Matoaya Sultan Abdullah Awalul Islam, disebut mengalami perjumpaan mistikal dengan Nabi Muhammad SAW.
Ungkapan “Makkasara’mi Nabbi Muhammad ri Buttaya ri Tallo” diyakini oleh warga sebagai asal-usul nama Makassar (Sewang, 2005). Bukan hanya sejarah politik, tetapi juga sejarah spiritual kota bermula dari Tallo.
Dan tentu kita tidak boleh melupakan anak dari Karaeng Matoaya, yaitu Karaeng Pattingalloang—figur intelektual besar abad ke-17. Anthony Reid dalam bukunya Sejarah Modern Awal Asia Tenggara menyebutnya keluarga agung dari Makassar.
Pattingalloang sebagai Tumabicara Butta Kerajaan Gowa-Tallo menguasai banyak bahasa, memiliki perpustakaan besar, dan menjadi lokomotif pluralisme serta pemikiran maju yang bahkan diakui oleh orang-orang Eropa (Reid, 2004). Sulit membayangkan Makassar di pertengahan abad ke-17 menjadi pusat maritim dan perdagangan internasional tanpa Tallo yang menjadi otaknya.
Tallo dan kenyataan hari ini
Namun hari ini, Tallo lebih sering dikenali sebagai wilayah pesisir utara di Makassar dengan beragam persoalan seperti: kemiskinan, tawuran antarwarga, dan menyusutnya ruang hidup nelayan. Situs sejarahnya terancam, kawasan estuarinya menanggung tekanan pembangunan, dan tradisi masyarakatnya terancam kehilangan ruang sosial untuk diwariskan. Bahkan dalam narasi pembangunan kota, Tallo nyaris tidak disebut sebagai simpul sejarah. Kota bergerak menuju pusat, sementara sumber peradabannya tertinggal di pinggiran.
Kondisi ini tumbuh dari kenyataan yang jauh lebih kompleks: krisis sosial-ekologis yang telah lama dialami warga. Reklamasi Pelabuhan baru Makassar New Port dan proyek penataan pesisir mempersempit ruang tangkap nelayan serta mengubah alur pasang-surut yang menjadi pengetahuan dasar mereka selama turun-temurun.
Tumpukan sampah laut yang tidak kunjung terselesaikan dan mencemari perairan tempat anak-anak belajar berenang dan para nelayan mencari nafkah. Di saat bersamaan, akses air bersih yang terbatas telah menjadi masalah menahun, membentuk ironi di kampung yang berdiri di pertemuan sungai dan laut.
Semua ini berlangsung di tengah kampung yang memegang sejarah penting dalam jejak maritim Makassar dan islamisasi di Sulawesi Selatan, tetapi hanya menerima sedikit perhatian dalam kebijakan kota. Tallo adalah ruang yang mengingat, tetapi kehidupan sehari-harinya menunjukkan bahwa kota belum sungguh-sungguh belajar dari ingatan itu.
Di sinilah ironi tematik HUT Kota Makassar tampak jelas. Harmoni tidak hadir ketika ruang yang menjadi fondasi sejarah justru terpinggirkan. Kebersamaan kehilangan makna ketika warga Tallo—penjaga tradisi ziarah, silat tradisional pamanca’, ritual panai’ panaung, pembuatan perahu, dan situs sejarahnya—tidak masuk dalam agenda utama kebudayaan kota. Merayakan ulang tahun tanpa mengingat Tallo sama seperti merayakan rumah tanpa mengakui pondasinya.
Makassar menjaga Tallo
Dalam konteks perayaan HUT Makassar, penting bagi kota ini untuk mulai menempatkan Tallo sebagai bagian integral dari arah kebudayaannya. Pelestarian situs sejarah dan pengetahuan tradisional warga perlu diperlakukan bukan sebagai folklor, tetapi sebagai bagian dari modal pengetahuan kota.
Revitalisasi kawasan Tallo Lama sebaiknya berorientasi pada pemulihan ruang hidup warga, bukan sekadar proyek estetika fisik yang merapikan tampilan tanpa menyentuh akarnya. Pemulihan Sungai dan laut, penguatan ruang sosial, dan pengelolaan situs sejarah bersama komunitas lokal dapat menghadirkan bentuk pelestarian yang lebih manusiawi dan berkelanjutan.
Kota juga dapat mempertimbangkan pembentukan ruang edukasi publik seperti museum tentang sejarah Tallo—sebuah pusat kecil yang mengarsipkan foto lama, manuskrip keluarga, peta pelabuhan, cerita lisan, serta dokumentasi ritual. Ruang semacam ini bukan hanya tempat belajar, tetapi wahana untuk merawat memori kolektif kota.
Di luar itu, narasi Tallo perlu kembali diarusutamakan melalui kebijakan pendidikan, festival kebudayaan, dan kanal resmi pemerintah. Dengan begitu, identitas Makassar tidak lagi hanya bertumpu pada pembangunan fisik dan citra modern, tetapi juga pada jejak sejarah yang menghidupi kota sejak awal.
Jika Makassar ingin benar-benar menjaga harmoni yang dirayakannya, maka ia harus mulai dari Tallo—ruang yang pertama kali membacakan sejarahnya, dan ruang yang hingga kini terus mengingat ketika kota memilih untuk lupa.
Comment