Simulakrum dan Optimisme Kearifan Lokal Nusantara

Galang Mario (Mahasiswa Pendidikan Seni Pascasarjana UNY)

Di tengah gemerlapnya dunia yang penuh citra dan ilusi, di mana budaya lebih sering diukur dengan popularitas dan keuntungan daripada kedalaman makna, kita diingatkan bahwa identitas sejati bukanlah apa yang terlihat di permukaan, tetapi apa yang tertanam di akar budaya kita. Kita hidup dalam dunia yang tidak lagi mengenal perbedaan antara yang nyata dan yang sifatnya simulasi, antara yang asli dan yang palsu.

ads

Di sinilah tantangan sesungguhnya yakni bagaimana menjaga keaslian budaya lokal di tengah arus besar budaya global yang terus berkembang. Di dunia yang serba terhubung, kearifan lokal bisa menjadi kekuatan baru yang menemukan tempatnya, tanpa mengorbankan jati dirinya.

Simulasi dalam narasi pascamodern

Dalam dunia yang semakin terhubung, fenomena budaya dari media atau dikenal sebagai budaya massa dan budaya populer menjadi pusat perhatian dalam kajian pascamodern. Menurut Jean Baudrillard, era pascamodern ditandai oleh dominasi konsumsi dan simulasi, di mana penampilan dan citra menjadi lebih penting daripada substansi atau kedalaman.

Selain itu, era ini bukan hanya soal kemajuan teknologi, tetapi juga tentang bagaimana masyarakat dibentuk oleh budaya yang lebih mengutamakan nilai tanda daripada “nilai guna. Dalam dunia yang dipenuhi oleh gambar dan simbol, kita tidak lagi bisa membedakan antara yang nyata dan yang tiruan, antara yang asli dan yang palsu.

Baudrillard menggambarkan masyarakat modern sebagai dunia yang diliputi oleh “Simulakra atau simulakrum”, reproduksi dan duplikasi dari kenyataan yang membuat batas antara fakta dan fantasi semakin kabur. Ini bukan hanya terjadi dalam film atau televisi, tetapi juga dalam media sosial yang semakin mendominasi kehidupan sehari-hari, di mana Setiap individu dapat menciptakan realitas sendiri dengan memanipulasi gambar, video, dan bahkan identitas mereka, demi menunjukkan versi terbaik diri mereka di dunia maya.

Demikian kesempurnaan visual di media sosial seperti Instagram, Facebook, TikTok dan media sosial lainnya, bisa tampak lebih nyata daripada kehidupan nyata itu sendiri, sebagai contoh di media sosial dengan realitas visual yang disajikan oleh penggunanya, seringkali lebih sempurna dan glamor daripada kenyataan yang sebenarnya.

Filter kamera yang memungkinkan penggunanya untuk menyunting foto mereka, menjadikannya lebih cantik, bersih, atau ramping. Hal ini menunjukkan betapa kuatnya pengaruh citra dalam kehidupan sehari-hari. Dalam kondisi tersebut, penampilan lebih diperhatikan daripada kualitas pribadi lainnya seperti kecerdasan, kedewasaan, atau kebijaksanaan.

Dominic Strinati dalam An Introduction to theories of Popular Culture (1995), menjelaskan awal mula budaya popular tersebut yaitu berangkat dari sejarah romawi tentang fenomena “Roti dan Sirkus” yang digunakan penyair romawi bernama Juvenal untuk menggambarkan bagaimana hiburan massal di masa itu bisa menenangkan dan mengalihkan perhatian masyarakat dari masalah sosial yang lebih besar.

Dalam konteks saat ini, budaya massa berfungsi sebagai alat untuk menghibur, mengalihkan perhatian, dan memperkuat sistem konsumsi kapitalis. Televisi, iklan, video game, media sosial, dan bahkan pusat kebugaran menjadi simbol budaya yang mencerminkan tren baru masyarakat yang lebih mementingkan tampilan, hiburan, dan konsumsi.

Terlihat jelas bahwa saat ini identitas menjadi sesuatu yang dapat dibentuk, diperbaharui, dan dipamerkan kepada dunia. Setiap individu memiliki kekuatan untuk mendefinisikan dirinya melalui gambar dan video yang disebarkan melalui media sosial.

Namun, disatu sisi ada risiko besar di baliknya yakni ketergantungan pada citra dan penampilan yang bisa mengaburkan nilai-nilai otentik yang seharusnya dipegang. Realitas yang dibangun di media sosial sering kali hanya sekadar fantasi yang tak pernah sepenuhnya terhubung dengan kehidupan nyata.

Demikian budaya massa kini, telah mengambil alih banyak aspek kehidupan, Realitas yang kita hadapi saat ini adalah dunia yang diliputi oleh simulakrum, berupa duplikasi dan reproduksi dari kenyataan yang membuat batas antara fakta dan fantasi semakin kabur.

Kini, kita hidup di dunia yang diisi dengan citra dan tanda-tanda yang membentuk dan mengatur cara kita melihat dunia. Demikian kehidupan-pun di media sosial semakin menjauh dari kehidupan nyata dan membentuk dunia baru yang lebih sering dipenuhi dengan ilusi dan citra yang disesuaikan.

Dalam konteks Masyarakat dan budaya Indonesia, kini telah berada di persimpangan antara kebebasan individu untuk mengekspresikan diri dan tantangan untuk mempertahankan nilai-nilai budaya aslinya. Di satu sisi, ada peluang bagi budaya lokal untuk berkembang melalui media sosial, memungkinkan orang-orang untuk memamerkan dan melestarikan tradisi mereka di mata dunia.

Namun, di sisi lain, budaya tersebut bisa menjadi komoditas yang hanya dijual untuk menarik perhatian dan mendapatkan keuntungan ekonomi, tanpa mempertimbangkan esensi dan makna yang lebih dalam.

Budaya kini meskipun massal dan populer, sebenarnya telah menghilangkan kedalaman dan substansi, sebuah bentuk budaya yang diproduksi secara massal untuk konsumsi pasif, di mana partisipasi individu terbatas hanya pada pilihan untuk membeli atau tidak membeli produk-produk yang ditawarkan. Inilah yang membawa kita pada kondisi dimana orang lebih banyak mengonsumsi budaya tanpa berpartisipasi aktif dalam penciptaannya.

Dwight MacDonald dalam A Theory of Mass Culture (1957) menyatakan dampak yang ditimbulkan selain meratakan standar atau menghapus batasan artistik dan intelektual juga memisahkan individu dengan komunitasnya.

Selain itu melalui proses atomisasi, individu yang terpapar budaya massa menjadi rentan terhadap eksploitasi dan manipulasi, karena sifatnya yang homogen atau seragam, dirancang untuk khalayak yang pasif dan tidak kritis, bertujuan untuk menghibur dan mengabaikan perbedaan individu, memperlakukan audiens sebagai objek konsumsi daripada subjek berpikir.

Kita pun kini hidup dalam dunia yang penuh dengan hiperrealitas, sebuah dunia di mana realitas yang disajikan melalui media dan hiburan tidak lagi dapat dibedakan dari kenyataan itu sendiri, semakin kabur. Dalam dunia ini, segala sesuatunya termasuk budaya telah dikomodifikasi dan disesuaikan dengan kebutuhan pasar.

Nilai tanda dan nilai simbol menggantikan nilai guna dan nilai tukar, sehingga kita sering kali terjebak dalam dunia yang lebih mengutamakan citra ketimbang substansi. Maka ada akhirnya, apa yang kita hadapi saat ini adalah dunia yang penuh dengan simulasi dan fantasi, di mana budaya lebih sering diukur dengan popularitas dan nilai komersial daripada kedalaman makna atau nilai estetika.

Masyarakat kita kini hidup dalam ekstasi komunikasi, sebuah era di mana informasi berlimpah namun miskin akan makna, dan di mana individu semakin terisolasi meski semakin terhubung. Dalam dunia inipun dimana citra menjadi utama bukan lagi makna atau suatu hal substansial yang menjadi ukuran keberhasilan.

Selain itu, jeratan dunia simulasi dan tiruan membuat kita semakin sulit membedakan antara yang asli dan yang palsu, setiap kelompok atau orang kini bisa menciptakan dirinya sendiri melalui gambar-gambar yang dibagikan di media sosial, namun dibalik citra tersebut, kita sering kali melupakan esensi dari identitas itu sendiri.

Namun, di tengah kemajuan teknologi dan media sosial, kondisi tersebut menjadi bagian dari optimisme kearifan lokal Indonesia untuk tetap memiliki peluang untuk berkembang. Adanya harapan melalui kreativitas dan pemanfaatan teknologi digital.

Sebagai inspirasi, Mengutip pernyataan Sofyan Salam dalam buku Paradigma Pemikiran Seni Filsafat Keindonesiaan (2024), kearifan lokal adalah fondasi karakter bangsa, bahwa Indonesia perlu menekankan penting menggali, memahami dan melestarikan kearifan lokal Indonesia sebab kearifan lokal bukan sekedar warisan masa lalu tetapi sumber nilai yang relevan untuk masa kini dan masa depan yang tidak dimiliki negara lain, sekaligus sebagai martabat Indonesia di mata dunia.

Demikian juga yang menarik dari pernyataan Ki Hajar Dewantara, bahwa Setiap bangsa harus mampu memelihara budaya dan jati diri, namun harus tetap terbuka untuk belajar dari peradaban lain.

Kita berada di titik di mana kita harus memilih untuk tetap mempertahankan akar budaya kita, sambil mengadaptasi elemen-elemen global yang dapat memperkaya budaya lokal kita tanpa kehilangan identitas. Ini adalah tantangan besar bagi kita, tetapi juga kesempatan untuk menunjukkan kepada dunia bahwa kearifan lokal tetap relevan dalam dunia yang semakin terhubung dan terkomodifikasi.

Tantangan dan peluang budaya lokal di tengah dominasi budaya populer

Di tengah derasnya arus globalisasi yang diproduksi oleh media massa dalam bentuk digital kini, kearifan lokal Indonesia menghadapi tantangan besar. Budaya populer yang digerakkan oleh konsumsi dan penampilan sering kali mendominasi ruang sosial, mengalihkan perhatian dari nilai-nilai tradisional yang telah lama menjadi akar masyarakat.

Nilai-nilai seperti gotong royong, adat istiadat, dan kesenian daerah yang memiliki kekayaan filosofis dan estetika, terkadang terpinggirkan oleh gaya hidup yang lebih fokus pada konsumsi dan citra diri yang sempurna.

Dalam kajian budaya pascamodern, fenomena ini tidak dapat dipandang secara sepihak. Seperti yang dijelaskan oleh Zygmunt Bauman dalam Liquid Modernity (2000) berupa Modernitas Cair tahun 2000, dalam masyarakat pascamodern, identitas menjadi lebih cair, fleksibel, dan tergantung pada konsumsi serta teknologi, bahwa identitas individu kini lebih terbentuk oleh konsumsi budaya yang cepat berubah, di mana pencarian akan kebahagiaan sering kali digantikan oleh pencarian akan citra diri yang sempurna.

Dalam konteks Indonesia, fenomena ini tampak dalam banyaknya generasi muda yang lebih mengutamakan gaya hidup urban dan konsumsi media sosial daripada melestarikan tradisi. Bauman menyebut hal ini sebagai “kerawanan eksistensial”, di mana individu merasa terasingkan dalam dunia yang serba sementara dan cenderung berbasis pada penampilan.

Di sisi lain, fenomena budaya berupa hibriditas juga terjadi di era saat ini dalam budaya populer ini menjadi menarik untuk kita cermati. Homi K. Bhabha dalam The Location of Culture (1994) pada konsep Third Space atau ruang ketiga menjadi hal menarik sebab memberi pandangan terkait jika dikaitkan dengan kondisi saat ini, tentan bagaimana budaya lokal dan budaya global dapat bercampur dan menghasilkan sesuatu yang baru, atau hibrida.

Ia menekankan bahwa dalam globalisasi, tidak ada budaya yang terisolasi atau murni, melainkan selalu tercipta ruang untuk pertukaran dan penciptaan identitas budaya yang baru. Dalam hal ini, media sosial dan budaya populer tidak hanya mengancam, tetapi juga membuka kemungkinan bagi terciptanya bentuk-bentuk budaya baru yang mencampurkan elemen-elemen lokal dengan global.

Hal ini terlihat jelas dalam musik pop, mode, hingga kuliner, yang menggabungkan elemen budaya tradisional dengan pengaruh barat, misalnya dalam musik kekinian Indonesia yang sering kali menggabungkan genre musik pop barat.

Meskipun demikian, hibriditas ini juga sering kali menghasilkan bentuk-bentuk yang dikritik sebagai kehilangan otentisitas budaya. Namun walau demikian, kebermanfaat dari sisi lain dari proses hibridisasi ini harus dilihat sebagai proses kreatif yang dapat memperkaya budaya lokal, bukan sekadar pemurnian atau pelestarian tradisi.

Selain itu, konsumerisme dan komoditas budaya pada masyarakat merajalela, Jean Baudrillard dalam karya The Consumer Society (1970), relevan dalam melihat fenomena budaya populer yang kini menjadi bagian dari industri besar yang didorong oleh kapitalisme.

Menegaskan bahwa dalam masyarakat konsumsi, barang dan budaya tidak lagi memiliki nilai intrinsik, melainkan hanya nilai tanda (sign-value) yang berfungsi sebagai simbol status atau identitas. Dalam kerangka ini, barang dan budaya dikomersialisasi dan dijadikan objek konsumsi yang tak hanya memenuhi kebutuhan dasar tetapi juga keinginan untuk berpenampilan sesuai tren global.

Pada budaya Indonesia sangat terlihat dalam fenomena “Instagrammable” dan tempat wisata yang mengusung tema-tema budaya lokal namun dipresentasikan dalam format yang lebih mengarah pada komodifikasi. Sebagai contoh, upacara adat atau festival budaya sering kali dikemas dengan elemen-elemen visual yang menarik untuk media sosial, diubah menjadi komoditas visual yang mudah dikonsumsi oleh pengikut di dunia maya.

Ini adalah contoh jelas dari simulakrum, berupa kenyataan yang dibentuk melalui citra dan simulasi. Menggambarkan bagaimana budaya lokal yang seharusnya memiliki makna yang dalam, diubah menjadi konsumsi visual yang disesuaikan dengan kehendak pasar global.

Namun di tengah gempuran budaya massa dan populer, ada peluang bagi budaya lokal untuk tetap bertahan dan berkembang. Salah satu contoh nyata dari peluang ini adalah melalui media sosial. Misalnya, seni tradisional Indonesia yang sering kali terpinggirkan dalam kehidupan urban kini mendapat tempat di media sosial, di mana seni dan budaya daerah seperti kesenian tradisional dapat ditemukan oleh audiens global.

Media sosial memberikan ruang bagi generasi muda untuk mengenal dan merayakan kembali budaya loka mereka dengan cara yang lebih relevan dengan perkembangan zaman. Tapi di balik peluang tersebut, juga terdapat ancaman dari proses komodifikasi. Budaya lokal yang seharusnya mengandung nilai-nilai mendalam, bisa berubah menjadi produk budaya yang hanya dijual untuk tujuan komersial.

Ini adalah tantangan besar bagi kita untuk menjaga agar budaya lokal tidak tergerus oleh arus besar budaya massa yang didorong oleh pasar global, dalam realitas pascamodern ini, di mana segala sesuatunya disulap menjadi produk komoditas yang dapat dikonsumsi, penampilan menjadi tujuan utama. Budaya massa lebih mengutamakan simbol status dan kesenangan instan daripada kedalaman makna atau kebermanfaatan.

Penekanan pada penampilan dan citra yang sempurna menjadi ciri khas budaya populer saat ini, yang dihasilkan oleh industri hiburan dan media sosial yang menggempur masyarakat dengan berbagai produk budaya yang terus berkembang. Sebuah proses yang mengubah masyarakat menjadi lebih homogen dan terhubung melalui konsumsi, meskipun pada saat yang sama, mengikis keunikan dan otentisitas budaya lokal.

Peran media sosial dalam menjembatani kearifan lokal

Namun, di sisi lain, perkembangan media sosial juga memberikan peluang bagi kearifan lokal untuk bertahan dan berkembang. Melalui platform seperti Instagram, YouTube, dan TikTok, banyak individu dan komunitas yang mulai memanfaatkan teknologi untuk memperkenalkan dan melestarikan tradisi serta budaya lokal.

Misalnya, seni tari, musik, dan kerajinan tangan yang berasal dari berbagai daerah Indonesia kini dapat dijangkau oleh khalayak global, memberikan kesempatan bagi generasi muda untuk kembali mengenal dan menghargai warisan budaya mereka. Di sinilah peran penting media sosial sebagai ruang untuk beradaptasi dengan globalisasi tanpa harus mengorbankan identitas lokal.

Fenomena ini menunjukkan adanya dinamika antara globalisasi dan pelestarian kearifan lokal. Dalam era pascamodern yang serba hiperrealitas dan konsumtif, tantangan terbesar adalah bagaimana menjaga keseimbangan antara kemajuan teknologi dan pelestarian nilai-nilai budaya yang otentik.

Apakah Indonesia mampu mempertahankan dan mengembangkan kearifan lokal dalam wajah global yang semakin homogen? Jawabannya bergantung pada kemampuan masyarakatnya untuk menyikapi budaya populer secara kritis, sekaligus memanfaatkan media digital untuk mempromosikan dan menghidupkan kembali kekayaan budaya yang ada.

Dalam kajian tentang media baru, kita dapat merujuk pada Media Ecology (1968) dari Neil Postman yang mengamati bagaimana teknologi informasi mengubah cara kita berinteraksi dengan dunia, dan dalam konteks ini, juga mempengaruhi cara kita merespons budaya.

Media sosial—seperti Instagram, TikTok, YouTube dan media sosial lainnya telah menjadi tempat budaya lokal Indonesia dipertontonkan dalam bentuk baru yang lebih terhubung dengan audiens global. Demikian buku Technopoly (1992), Postman berargumen bahwa teknologi bukan hanya alat, tetapi juga sistem nilai yang mendominasi pola pikir dan perilaku masyarakat.

Media sosial kini menjadi platform penting untuk merayakan budaya lokal, baik dalam bentuk wisata budaya, makanan tradisional, atau pakaian daerah yang digabungkan dengan tren global. Namun, seperti yang ditegaskan oleh Marshall McLuhan dalam teori Global Village (1962), meskipun media sosial memungkinkan pertemuan antarbudaya yang lebih intens, ini juga berpotensi menciptakan homogenisasi budaya yang mengancam keunikan budaya lokal.

McLuhan mengamati bahwa dalam dunia yang semakin terhubung, identitas dan perbedaan budaya mulai kabur, dan masyarakat dihadapkan pada tantangan untuk menjaga keaslian budaya mereka di tengah gempuran informasi dan budaya global.

Kearifan lokal sebagai bentuk resistensi terhadap globalisasi

Sementara itu, ada pandangan yang lebih optimis mengenai potensi kearifan lokal untuk bertahan dan bahkan berkembang di era digital. Dalam buku The Globalization of Nothing (2006), George Ritzer berargumen bahwa meskipun ada kecenderungan globalisasi untuk menciptakan keseragaman budaya, ada juga resistensi yang muncul dari dalam budaya lokal itu sendiri.

Ritzer menyebut fenomena ini sebagai “glocalization” proses di mana elemen-elemen global diadaptasi dan diterjemahkan ke dalam konteks lokal yang spesifik. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun media sosial dan budaya global menguasai ruang publik, ada ruang untuk adaptasi dan kreativitas budaya lokal yang terus berkembang seiring dengan perubahan zaman.

Sebagai contoh, seni pertunjukan tradisional Indonesia seperti wayang kulit dan tari tradisional kini dapat ditemukan di platform digital dengan adaptasi yang kreatif, misalnya dalam bentuk video pendek di TikTok atau streaming di YouTube.

Gerakan ini bukan hanya untuk mempertahankan eksistensi budaya lokal, tetapi juga untuk memperkenalkan keindahan dan nilai-nilai tradisional kepada generasi muda yang lebih terbiasa dengan budaya populer.

Demikian dalam menghadapi gelombang budaya populer yang mengglobal, budaya lokal Indonesia berada di persimpangan antara pelestarian dan adaptasi. Era pascamodern yang serba simulasi dan konsumsi menguji sejauh mana kita mampu menjaga nilai-nilai tradisional tanpa tergerus oleh perubahan zaman.

Namun, di tengah tantangan besar ini, kearifan lokal Indonesia tidak harus terpinggirkan. Justru, dengan memanfaatkan teknologi dan media sosial sebagai platform baru, budaya lokal bisa menemukan ruang baru untuk tumbuh dan dikenal oleh dunia.
Proses hibridisasi, di mana budaya lokal dan budaya global berinteraksi, membuka peluang bagi terciptanya bentuk budaya baru yang tetap menghargai akar tradisi.

Sementara itu, melalui kreativitas dan adaptasi, masyarakat Indonesia mampu menggali potensi budaya mereka dalam cara yang relevan dengan era digital. Dengan demikian, budaya Indonesia tidak hanya akan bertahan, tetapi juga berkembang, menjembatani masa lalu dan masa depan, serta merayakan kekayaan lokal dalam panggung dunia yang semakin terhubung.

Seperti yang dikatakan oleh salah satu tokoh budaya Indonesia, Ki Hajar Dewantara, “Setiap bangsa harus mampu memelihara budaya dan jati diri, namun harus tetap terbuka untuk belajar dari peradaban lain.”

Pernyataan ini menegaskan bahwa meskipun kita harus menjaga dan melestarikan kearifan lokal, kita juga perlu membuka diri terhadap pengaruh global yang dapat memperkaya budaya kita, tanpa mengorbankan identitas asli, dengan harapan bahwa kearifan lokal Indonesia akan tetap menjadi kekuatan identitas yang mampu bersaing, beradaptasi, dan memberikan kontribusi pada peradaban global.

Comment