Galang Mario (Mahasiswa Pendidikan Seni Pascasarjana UNY)
Apakah seni hanya tentang menciptakan keindahan visual ataukah seni adalah sarana untuk membongkar realitas sosial yang tersembunyi? Pertanyaan ini mungkin terkesan provokatif tetapi dibaliknya mengandung tantangan sekaligus mengundang perenungan tentang peran seni dalam masyarakat terutama pada seni rupa di Makassar, sebuah kota dengan kekayaan sejarah dan budaya, namun giat kesenirupaan terjebak dalam rutinitas dan stagnasi kreatif, berupa tantangan dalam menghadirkan karya yang relevan dan transformatif.

Dalam konteks ini, seni rupa tidak hanya sekadar menjadi medium estetis, tetapi juga berperan sebagai alat untuk mencerminkan dan merespons dinamika sosial yang terus berkembang yang sekaligus merawat identitas budaya dengan keragaman simbol yang melingkupinya.
Maka yang menjadi pertanyaan selanjutnya apakah seni rupa di Makassar telah memanfaatkan potensi tersebut atau justru terjebak dalam rutinitas pengulangan simbol-simbol budaya yang ada? atau adanya kesulitan dalam merespon realitas sosial yang berkembang dan bahkan menjadi terlupakan jika tidak mampu beradaptasi dengan perkembangan zaman?
Antara tradisi dan modernitas dalam konteks sosial politik
Makassar, dengan sejarah dan budaya yang kaya, memiliki modal budaya lokal yang tercermin dalam keseniannya, namun konteks seni rupa sering kali terjebak dalam pengulangan yang stagnan, hanya memperlihatkan simbol-simbol yang sudah dikenal luas tanpa memberikan interpretasi atau pemaknaan baru yang relevan dengan kondisi sosial masa kini.
Dunia telah memasuki era postmodern, simbol budaya seperti badik, kapal pinisi, aksara Lontara dan lain sebagainya digambarkan tanpa mengkaji nilai filosofis atau makna yang terkandung di dalamnya sehingga penggambaran yang hadir hanya bentuk fisik tanpa rekonstruksi, tanpa upaya mencoba menghubungkannya dengan nilai-nilai yang diterima secara universal.
Sebuah keterjebakan yang repetitif, dengan mengulang simbol-simbol yang sudah dikenal tanpa menggali potensi yang bisa menghadirkan wacana baru dan mengundang perdebatan atau refleksi mendalam dari audiens. Karya-karya cenderung mengulang pola yang sama baik bentuk maupun tema atas nama kearifan lokal.
Hal ini menandakan kurangnya keberanian untuk menembus batas-batas konvensional dan menggali potensi budaya secara mendalam. Seperti yang diungkapkan oleh Clifford Geertz dalam interpretasi budaya, seni seharusnya bisa menangkap dinamika dan perubahan sosial yang terjadi bukan hanya mencerminkan masa lalu yang statis.
Dalam konteks ini, seni rupa bukan hanya sekedar sebuah karya estetis tapi sebuah medium yang mampu menggugah kesadaran sosial budaya. Menjadi sebuah dilema, apakah harus mempertahankan warisan budaya yang telah ada atau justru mengeksplorasi jalur baru yang lebih kontemporer dan relevan dengan masyarakat global saat ini.
Menjadi Ironi meskipun budaya lokal memiliki potensi besar, karya yang dipamerkan tidak mampu menjembatani antara tradisi dan modernitas, antara lokalitas dan globalitas. Seni rupa seharusnya lebih dari sekadar ekspresi pribadi, harus mampu menggugah kesadaran sosial budaya, sebagai alat kritik sosial yang mampu menyuarakan suara-suara yang terpinggir atau tidak terdengar dalam Masyarakat.
Karya seni yang cenderung mempertahankan simbolisme tradisional tanpa menawarkan perspektif baru menunjukkan kurangnya upaya dalam menggali potensi budaya secara kritis dan reflektif. Maka diperlukan keberanian untuk mengolah simbol-simbol budaya dalam bentuk yang lebih inovatif, bukan hanya mempertahankan cara lama yang tidak lagi relevan.
Salah satu penyebab stagnasi ini adalah terpisahnya seni dari konteks sosial dan politik yang melingkupinya. Seni seringkali dianggap sebagai bentuk ekspresi pribadi yang bebas, tanpa memperhatikan relevansi terhadap kondisi sosial politik yang ada.
Padahal, seni haruslah berfungsi lebih dari sekadar bentuk individu; ia seharusnya menjadi sarana untuk menyuarakan ketegangan dan dinamika yang terjadi di masyarakat. Seni rupa seharusnya menjadi kendaraan untuk menggali isu-isu sosial, ketimpangan, dan perubahan, yang mampu memperkaya dialog sosial budaya baik di tingkat lokal maupun global.
Kritik terhadap stagnasi seni ini juga menyinggung dilema antara mempertahankan warisan budaya yang telah ada atau mengeksplorasi jalur baru yang lebih kontemporer. Sementara budaya lokal yang kaya menjadi modal kekuatan yang dapat diperkenalkan ke dunia internasional, kenyataannya seni rupa terjebak dalam penggambaran yang klise dan kurang mampu menawarkan perspektif yang lebih segar.
Menurut Pierre Bourdieu dalam konsepnya tentang habitus (1993) yang menyatakan karya seni tidak dapat dipisahkan dari “habitus” sosial yang membentuk pemikiran dan ekspresi individu, serta struktur kekuasaan yang ada dalam masyarakat.
Seni seharusnya berfungsi sebagai medium yang menanggapi situasi sosial politik yang melingkupinya, bukan terkesan seperti produk individual tanpa memperhatikan dinamika sosial yang sedang berkembang, apalagi hanya menjadi sebuah bentuk ekspresi yang terlepas dari konteks, Jika seni hanya dipandang sebagai ekspresi pribadi, maka ia tidak memiliki kekuatan untuk menembus dan mengubah batas-batas sosial yang ada.
Di sinilah keberanian seniman untuk mengolah simbol-simbol budaya dalam bentuk yang lebih inovatif dan kreatif dalam menciptakan karya yang mampu berbicara lebih lantang tentang kondisi yang terjadi. Dalam hal ini, Seni Rupa Makassar dapat berfungsi untuk menggugah kesadaran akan ketidakadilan sosial dan perubahan yang diperlukan dalam masyarakat. Melalui karya-karya seni inovatif yang berangkat dari budaya lokal, seniman bisa menciptakan ruang untuk refleksi sosial yang lebih luas.
Menurut Emile Durkheim dalam karyanya The Division of Labour in Society (1893) tentang kesadaran kolektif, menyatakan bahwa segala sesuatu yang berkontribusi pada solidaritas sosial termasuk ekspresi budaya memiliki fungsi sosial dalam memelihara tatanan Masyarakat. Ekspresi budaya seperti seni, seharusnya menjadi bagian dari komunikasi sosial yang menciptakan kesadaran kolektif dalam Masyarakat.
Ketika seni terlepas dari konteks sosial politik, maka ia kehilangan fungsi sebagai agen perubahan yang dapat memicu perdebatan dan pemikiran kritis. Demikian masyarakat yang semakin cerdas dan kritis terhadap karya seni, membutuhkan sesuatu yang lebih dari sekadar keindahan visual, mereka membutuhkan karya yang memiliki kedalaman makna dan relevansi terhadap isu-isu sosial yang lebih besar.
Seni harus mampu menjembatani kesenjangan antara tradisi dan modernitas, antara lokalitas dan globalitas, Ini adalah tantangan yang harus dijawab oleh seniman, yakni apakah mereka akan tetap terjebak dalam pengulangan masa lalu, ataukah mereka akan berani untuk mengubah seni menjadi alat untuk berbicara tentang masa depan?
Meruntuhkan kekakuan tradisi melalui reproduksi untuk inovasi
Pada satu sisi, kita bisa memahami bahwa tradisi memiliki peran yang sangat penting dalam memperkenalkan budaya lokal, namun di sisi lain, seni bukan hanya tentang mempertahankan apa yang sudah ada, tetapi juga tentang menciptakan sesuatu yang baru, sesuatu yang mengundang pemikiran. Hal inilah yang sering kali terlupakan dalam perhelatan seni rupa kita.
Seniman yang terjebak dalam rutinitas penggambaran simbol-simbol budaya secara langsung, tanpa mencoba mengolahnya dalam bentuk yang lebih inovatif. Demikian jika menengok teori seni kontemporer, kita akan menemukan bahwa seni seharusnya bukan hanya sebuah pengulangan, tetapi sebuah ruang untuk eksperimentasi dan dialog antara masa lalu dan masa depan.
Menurut Julia kristeva dalam istilah “intertextuality” (1960-an) menekankan bahwa setiap karya seni adalah sebuah “kutipan” dari budaya yang lebih besar, yang dapat diinterpretasikan kembali dan diletakkan dalam konteks baru. Dalam hal ini, seniman bisa memanfaatkan simbol-simbol budaya lokal tidak sekedar mengulanginya, tetapi untuk menghubungkannya dengan isu sosial, politik, atau global yang lebih luas saat ini.
Salah satu tantangan utama kita yakni kecenderungannya untuk menggambarkan simbol budaya yang hanya sebatas permukaan, simbol tersebut sering tampil sebagai objek apa adanya, tanpa menyelami nilai-nilai, identitas, atau kekuatan yang terkandung di dalamnya, serta tanpa eksplorasi konsep, atau eksperimentasi bentuk-bentuk menarik untuk ditawarkan.
Seniman perlu mengubah cara pandang terhadap simbol-simbol ini, agar dapat menjadikannya lebih dari sekadar gambar visual, tetapi sebagai alat untuk menggugah pemikiran tentang kondisi sosial budaya yang ada saat ini. Sebuah kritik terhadap pendekatan ini dapat dilihat melalui estetika kontemporer yang menganggap bahwa seni harus mampu mengubah persepsi kita tentang dunia.
Menurut Theodor Adorno, dalam konsep Culture Industry (1947), seni yang terjauh dari peran reflektif sosial dan hanya berfungsi untuk hiburan atau konsumsi komersial akan kehilangan fungsi kritisnya sebagai alat untuk mempertanyakan dan mengkritisi struktur sosial yang ada. Seni bisa melampaui sekadar keindahan visual dan berperan sebagai medium untuk menantang pemikiran kita tentang dunia.
Dalam konteks ini, seni rupa makassar bisa memanfaatkan simbol-simbol budaya lebih dari sekadar objek estetik, tetapi juga untuk menyuarakan nilai perjuangan, identitas yang terus berkembang, serta kekuatan yang dapat diinterpretasikan dalam konteks yang lebih modern dan relevan. Demikian seni seharusnya memiliki potensi untuk menantang pemikiran kita tentang realitas sosial, dan memberikan perspektif baru yang belum pernah terpikirkan sebelumnya.
Menyuarakan perubahan melalui seni untuk menemukan kesadaran barunya
Pertanyaan menarik, Bagaimana Kita Bisa Memanfaatkan Seni untuk Menciptakan Perubahan? Dalam konteks sosial budaya, seni rupa harus berani merespons perubahan-perubahan besar yang sedang terjadi, baik di tingkat lokal maupun global. Misalnya, krisis iklim atau perubahan ekosistem lingkungan yang mempengaruhi kehidupan banyak orang. Namun jarang mengangkat isu-isu tersebut dengan serius.
Keterputusan antara seni dan realitas sosial yang ada menunjukkan bahwa seni masih dipandang sebagai sesuatu yang terpisah dari kehidupan sehari-hari. Seni harus mampu menggambarkan ketegangan sosial yang muncul akibat perubahan lingkungan dan ketimpangan sosial, dan menjadi sarana untuk merefleksikan dan mendorong audiens untuk berpikir lebih kritis tentang dampaknya.
Dengan Pemanfaatan simbol-simbol budaya lokal dan cerita rakyat sebagai titik tolak untuk mengkritik kondisi sosial yang ada, menciptakan karya yang tidak hanya relevan, tetapi juga transformatif.
Demikian untuk mendalami fenomena tersebut, kita dapat merujuk pada konsep “seni sebagai perlawanan” dari Herbert Marcuse dalam karyanya One-Dimensional Man (1964), baginya seni harus berfungsi sebagai alat untuk memperlihatkan dan memperdebatkan kondisi sosial yang ada, bukan sekadar sebagai alat untuk menyenangkan estetika atau memenuhi permintaan pasar.
Dalam konteks seni rupa makassar, harus mampu menggunakan simbol budaya lokal bukan hanya sebagai representasi visual, tetapi sebagai alat untuk mengkritisi, mengomentari, dan menawarkan solusi terhadap masalah-masalah sosial yang ada di masyarakat. Seni harus memiliki potensi untuk membebaskan pemikiran kita dan memperkenalkan perspektif baru yang dapat menggugah kesadaran kritis.
Seni bukan hanya untuk mempercantik dunia, tetapi untuk memprovokasi perubahan. Seni Rupa Makassar dapat menerapkan prinsip ini dengan mengaitkan simbol budaya lokal dengan permasalahan sosial dan politik terkini, memberi ruang untuk dialog yang lebih relevan dengan masa kini. Maka menjadi sebuah refleksi, Apakah seni hanya untuk menyenangkan mata, atau apakah seni memiliki potensi untuk menjadi alat perubahan sosial?
Melihat sejarah, adapun perubahan tatanan sosial dari seni rupa itu sendiri seperti karya Théodore Géricault, ‘The Raft of the Medusa’, yang tidak hanya mencerminkan tragedi, tetapi juga memicu pergeseran politik di Prancis dan menjadi simbol pergerakan rakyat yang berjuang untuk meraih haknya terhadap negara. Pada akhir abad ke-19, para pelukis impresisnist seperti Claude Monet, Edgar Degas, dan Pierre-Auguste Renoir memulai pergeseran besar dalam cara seni dipandang dan dipraktikkan.
Mereka menolak aturan akademik tradisional dan mulai menekankan pentingnya cahaya, warna, dan ekspresi spontan dalam karya mereka. Ini mengguncang dunia seni dan membuka jalan bagi perkembangan aliran seni modern lainnya. Lalu kelahiran dadaisme muncul sebagai reaksi terhadap kekejaman perang dunia, gerakan ini menolak nilai-nilai estetika tradisional dan merayakan ketidaklogisan serta absurditas.
Karya seperti Fountain (1917) oleh Duchamp, sebuah urinal yang dipajang sebagai karya seni, menjadi simbol perlawanan terhadap konvensi seni yang ada pada saat itu. Lalu pada perkembangan seni pop art, Seniman seperti Andy Warhol, Roy Lichtenstein, dan Jasper Johns mengubah cara seni dipandang dengan menggunakan ikon budaya populer, iklan, dan barang-barang konsumsi sehari-hari sebagai objek seni.
Warhol, dengan karya ikoniknya Campbell’s Soup Cans (1962), menyatukan seni dan budaya konsumerisme dalam cara yang sangat inovatif dan memberi dampak besar pada dunia seni kontemporer. Demikian Setiap peristiwa ini menunjukkan bagaimana seni, meskipun berakar pada ekspresi kreatif dan estetika, juga dapat memainkan peran penting dalam perubahan sosial dan politik.
Jika mengaitkan dengan seni rupa Makassar, yang menjadi pertanyaan “Apakah kita benar-benar memahami potensi yang terpendam dalam budaya kita, dan bagaimana kita bisa menghidupkannya dengan cara yang lebih inovatif?” Sebagai seniman, kita tidak hanya dituntut untuk menggambarkan realitas, tetapi juga untuk mengubahnya, bahkan melalui simbol-simbol yang sudah ada.
Dengan mengangkat simbol budaya lokal, kita tidak hanya menjaga warisan, tetapi juga memaknai ulang dan memperkenalkan budaya kita ke dunia dengan cara yang lebih relevan, segar, dan penuh makna. Inilah tantangan terbesar yang harus dihadapi untuk keluar dari bayang-bayang tradisi dan merangkul potensi masa depan yang lebih luas. Seni Rupa Makassar membutuhkan kesadaran baru dalam berkesenian.
Terutama para seniman muda yang memiliki kesempatan untuk mengubah seni dari sekadar ekspresi individu menjadi kontribusi terhadap kolektivitas dan perubahan sosial. Dengan berkolaborasi, bereksperimen dengan media-media baru, dan menggali lebih dalam potensi lokal, seni rupa makassar dapat berkembang lebih dinamis dan relevan.
Seniman harus mampu membuka ruang untuk diskusi yang lebih luas dan berani bereksperimen, menggali lebih dalam simbol-simbol yang diangkat, untuk menemukan relevansinya dalam dunia seni global tanpa kehilangan identitas lokal yang terkandung di dalamnya.
Sebuah catatan bahwa seni rupa tidak hanya berfokus pada keindahan visual, tetapi juga sebagai sarana untuk merespons dinamika sosial. Selain itu, dalam upayanya membangun kesadaran kolektif dan menjadi medium suara masyarakat, tidak hanya berfokus pada penciptaan keindahan semata, tetapi juga sebagai medan refleksi yang memantik diskusi tentang kondisi yang ingin disuarakan.
Dengan demikian, karya seni tidak hanya hadir di publik sebagai penghias ruang, tetapi juga sebagai transmisi ide-ide baru dan solusi bagi audiens dalam menghadapi berbagai masalah baik itu personal, lokal, maupun global.
Ekosistem seni dan kesadaran sosial berkesenian
Selain tantangan internal dari seniman itu sendiri dalam penciptaannya, ada pula tantangan eksternal yang struktural menghambat perkembangan seni rupa yakni belum terbangunnya ekosistem seni yang baik.
Di mana tidak hanya bergantung pada kemampuan individu seniman, tetapi juga pada bagaimana seluruh elemen yang berperan penting membangun ekosistem tersebut seperti kehadiran kurator, kritikus seni, kolektor, gerakan komunitas seni yang berfungsi secara kolektif, prasarana seni yang mendukung berupa ruang pameran serta lembaga pendidikan yang edukatif dalam menghubungkan karya seni dengan audiens yang lebih luas.
Dalam konteks ini, seniman membutuhkan ruang pameran berupa galeri seni dan platform yang mumpuni sebagai wadah untuk menampilkan karyanya. Ruang tersebut memungkinkan mereka untuk berinteraksi dengan audiens dan menggali isu-isu yang relevan dengan kehidupan mereka.
Tanpanya, karya seni yang dihasilkan tidak akan pernah bisa dilihat atau dipahami oleh Masyarakat luas. Namun, fasilitas ini harus diimbangi dengan adanya gerakan kolektif dalam komunitas seni di Makassar.
Gerakan koletif juga gerakan berupa kesadaran bersama dalam membangun ekosistem seni rupa yang sesuai dengan kebutuhan dan tantangan perkembangannya sangat penting. Meskipun berbeda visi, disiplin, dan cara kerja, setiap jejaring baik individu maupun kelompok seni rupa dapat saling berkontribusi.
Minimnya partisipasi membuat banyak seniman harus bekerja dalam peran ganda untuk mendukung visi berkeseniannya. Oleh karena itu, membangun kemajuan ekosistem seni rupa membutuhkan kolaborasi, diskusi, dan perencanaan strategi untuk mengatasi tantangan yang ada, sambil tetap berani mandiri.” Gerakan tersebut dapat menjadi jawaban atas kebutuhan untuk merespons peristiwa sosial yang sedang berlangsung, baik yang bersifat lokal maupun global.
Selain itu, keberadaan kurator yang harus bisa menjadi teman diskusi atau sparring partner bagi seniman, mengajak mereka untuk berpikir lebih kritis, merespons peristiwa-peristiwa sosial, dan menghubungkan karya seni mereka dengan konteks yang lebih besar. Ia seharusnya tidak hanya berfungsi sebagai pengatur acara, tetapi juga sebagai mitra bagi seniman untuk mendorong mereka mengeksplorasi dan menggali ide-ide baru yang lebih berani.
Begitu pula dengan kritikus seni yang seharusnya tidak hanya menilai keindahan visual, tetapi juga mengulas karya dengan kedalaman pemikiran, menelusuri konteks sosial dan makna yang tersembunyi di baliknya. Demikian Kolektor seni berperan penting dalam memastikan bahwa karya seni yang bernilai, baik dari sisi intelektual maupun estetika, mendapatkan apresiasi yang layak.
Dengan membeli karya seni yang lebih dari sekadar komoditas visual, kolektor dapat membantu menciptakan ekosistem yang mendukung keberlangsungan seni rupa. Ekosistem seni rupa berkembang berangkat dari kesadaran kolektif meskipun adanya perbedaan visi, cara kerja, pendekatan serta latar belakang berbeda, setiap jejaring baik individu maupun kelompok dapat mengajukan perannya untuk saling berkontribusi dan berkolaborasi.
Namun tidak dapat dipungkiri minimnya partisipasi membuat seniman menjalankan peran ganda. Maka Untuk memajukan ekosistem, kolaborasi dan perencanaan strategi diperlukan untuk mengatasi tantangan sambil menjaga kemandirian berkarya. Dengan kolaborasi antara elemen tersebut dan gerakan kolektif yang dilakukan, seni rupa tidak hanya berfungsi sebagai ekspresi individu, tetapi juga sebagai alat untuk berbicara tentang masa depan dan tantangan yang ada di depan mata.
Sebuah Langkah penting untuk keluar dari stagnasi adalah dengan menciptakan gerakan kolektif diantara elemen tersebut. Will Bradley dan Charles Esche dalam buku Art and social Change (2008) berpendapat bahwa seni memiliki potensi signifikan untuk mempengaruhi perubahan sosial dan mendorong diskusi kritis dalam Masyarakat. Seperti konsep rupa kontemporer dan seni protes yang menekankan bahwa seni dalam bentuk yang paling otentik memiliki potensi untuk menjadi alat transformasi sosial.
Seni tidak hanya sekedar estetika belaka, tetapi juga menjadi media kritik, refleksi dan platform untuk mendorong perubahan di Masyarakat. Demikian gerakan kolektif ini akan mempermudah terciptanya karya-karya yang tidak hanya berbicara tentang estetika, tetapi juga mempersoalkan dan mengkritisi ketegangan yang ada dalam masyarakat. Gerakan kolektif memungkinkan lahirnya karya-karya seni yang lebih inovatif, yang mampu melampaui batas-batas konvensional dan memperkenalkan wacana baru dalam perkembangan seni rupa.
Gerakan ini menjadi penting dalam menciptakan ruang bagi seniman untuk muncul dengan karya-karya segar, yang berarti mampu membuka kemungkinan-kemungkinan lebih luas dari subjek yang ingin dibahas. Selain itu, penting juga kemampuan artikulasi untuk mengkomunikasikan maksud karya kepada publik. Sebab, karya seni hanyalah sebuah objek semata yang tidak memberi dampak jika tidak difungsikan dalam aspek komunikasi, yaitu untuk mengkampanyekan sudut pandang tertentu.
Kiranya dapat mengundang perhatian dan diskusi publik. Keberanian untuk mengeksplorasi jalur baru menjadi sangat penting sebab seni rupa seharusnya tidak hanya berbicara tentang masa lalu atau menjaga kearifan lokal, tetapi juga memiliki kapasitas untuk berbicara tentang masa depan, dengan menggali potensi lokal melalui cara yang lebih kritis dan relevan dengan perkembangan sosial, politik, dan budaya global.
Selain itu, seni rupa makassar bisa berkembang dengan caranya sendiri, menemukan bentuknya sendiri tanpa harus mengikuti model dari luar. Dalam hal ini, jika kita dapat mentransformasikan potensi-potensi yang telah ditemukan dan mengkajinya kembali dengan cara kita masing-masing, bentuk kesenian baik itu karya, pameran, atau kegiatan lainnya dapat hadir secara jujur dan relevan dengan kondisi yang ada di masyarakat, serta memiliki keunikannya sendiri.
Sebagai presentasi publik, orisinalitas ini mampu membuka wacana dan memantik evaluasi terhadap upaya pemajuan selanjutnya. Seni rupa makassar tidak hanya menggambarkan keindahan visual, tetapi juga harus menjadi sarana untuk memahami dan merespons dinamika sosial yang berkembang di sekitarnya, Dengan cara ini, kiranya dapat mengukir tempatnya di kancah seni global, tanpa kehilangan esensi budaya yang ada di dalamnya.
Sebagai penutup, mengutip pernyataan menarik dari Jean Paul Sartre, bahwa Seni yang sejati adalah yang membangkitkan pertanyaan, bukan hanya jawaban, sebagai cermin yang memantulkan realitas dunia yang tak hanya menyajikan ilusi yang menyenangkan. Sebuah panggilan bagi seni untuk berperan lebih dalam menciptakan refleksi kritis terhadap dunia.
Comment