Las Meninas dan Bencana di Indonesia

Sumber foto: Generative AI

Las Meninas, lukisan yang tidak pernah diam

Michel Foucault membuka The Order of Things (Les Mots et les Choses, 1966) dengan sebuah pilihan yang, bagi banyak filsuf, terasa ganjil. Ia tidak memulai dengan argumen, definisi, atau polemik intelektual, melainkan dengan sebuah lukisan tua dari abad ke-17.

Las Meninas karya Diego Velázquez (1656) tidak diperlakukan sebagai objek estetika, melainkan sebagai sebuah peristiwa pengetahuan. Lukisan itu, bagi Foucault, bukan sekadar gambar yang menggambarkan sesuatu, melainkan medan tempat cara mengetahui dunia sedang bekerja, dan saling menyembunyikan.

ads

Di permukaan, Las Meninas tampak tenang. Seorang Infanta ( gelar untuk putri raja di kerajaan Spanyol dan Portugal, yang tentunya bukan pewaris takhta) kecil berdiri di tengah ruangan, dikelilingi pelayan, kurcaci, dan anjing yang terbaring malas. Velázquez sendiri berdiri di sisi kiri, kuas di tangan, seolah baru saja berhenti melukis.

Las Meninas, lukisan Diego Velázquez

 

Cahaya masuk dari samping, memberi kesan keseharian istana yang akrab. Namun ketenangan itu menipu. Bagi Foucault, lukisan ini justru penuh kegelisahan epistemik. Tidak ada satu pun titik pandang yang benar-benar aman. Velázquez melukis dirinya sendiri sedang melukis. Namun kanvas yang ia hadapi tidak pernah kita lihat. Objek lukisan (yang seharusnya menjadi pusat perhatian) justru absen.

Ke mana perginya pusat itu? Foucault menemukannya di sebuah cermin kecil di latar belakang ruangan. Di sanalah, samar namun menentukan, muncul pantulan raja dan ratu Spanyol. Mereka tidak hadir sebagai tubuh, melainkan sebagai refleksi. Kekuasaan, dengan demikian, tidak berdiri di tengah panggung. Ia bekerja dari kejauhan, dari balik permukaan yang memantulkan.

Di titik ini, lukisan berhenti menjadi sekadar representasi dan berubah menjadi struktur. Foucault menunjukkan bahwa yang menentukan makna Las Meninas bukan siapa yang dilukis, melainkan relasi antara yang melihat dan yang dilihat. Penonton tidak lagi berada di luar lukisan. Kita berdiri di posisi yang ganjil, di tempat yang sama dengan raja dan ratu, sekaligus di luar ruang istana.

Kita melihat, tetapi pada saat yang sama diseret masuk ke dalam mekanisme pandang yang tidak kita kuasai sepenuhnya. Lukisan ini tidak pernah diam karena ia tidak pernah memberi kita posisi final. Setiap kali kita mencoba menetapkan pusat (pelukis, Infanta, raja, penonton) pusat itu segera bergeser.

Foucault membaca pergeseran ini sebagai ciri khas episteme dibalik lukisan, dunia dipahami melalui representasi yang tertata rapi, tetapi pusat kebenaran tidak pernah tampil telanjang. Ia selalu hadir sebagai sesuatu yang diwakilkan, dipantulkan, atau bahkan disembunyikan.

Cahaya dalam Las Meninas memperkuat permainan ini. Cahaya menerangi hampir semua tubuh, tetapi tidak pernah sepenuhnya mengungkap objek utama lukisan. Kanvas besar di depan Velázquez tetap gelap bagi kita. Cahaya, yang biasanya diasosiasikan dengan kebenaran, di sini justru bekerja sebagai pengatur visibilitas. Ia menentukan apa yang boleh terlihat dan apa yang harus tetap menjadi titik buta.

Dalam pembacaan Foucault, ini bukan persoalan teknik melukis, melainkan persoalan kekuasaan pengetahuan. Dengan membuka bukunya melalui lukisan ini, Foucault seperti ingin memberi peringatan awal. Cara kita melihat dunia selalu sudah diatur oleh aturan yang jarang kita sadari. Representasi tidak pernah polos.

Ia tidak hanya menggambarkan kenyataan, tetapi juga membentuk apa yang dianggap nyata, penting, dan sah untuk diketahui. Las Meninas adalah cermin yang memperlihatkan bahwa kekuasaan tidak selalu berteriak. Ia sering berbisik, bekerja melalui susunan ruang, cahaya, dan pandangan.

Bencana Indonesia, peristiwa yang dilihat, proses yang disembunyikan

Setiap kali bencana terjadi di Indonesia, kita hampir selalu berhadapan dengan pola visual dan narasi yang serupa. Layar televisi dipenuhi gambar air yang meluap, rumah-rumah terendam, warga mengungsi dengan barang seadanya.

Media daring menyajikan hitungan korban, luas wilayah terdampak, dan status tanggap darurat. Negara hadir melalui konferensi pers, pernyataan resmi, dan janji penanganan. Dalam sekejap, bencana menjadi sesuatu yang sangat terlihat, bahkan nyaris tak terhindarkan untuk disaksikan.

Namun justru di situlah persoalannya. Yang tampak berlimpah adalah peristiwa, sementara yang nyaris tak pernah mendapat ruang adalah proses. Bencana direpresentasikan sebagai kejadian yang datang tiba-tiba, seolah turun dari langit, terlepas dari sejarah panjang relasi manusia dengan ruang hidupnya.

Air yang meluap dipisahkan dari cerita tentang hutan yang hilang. Tanah longsor dipisahkan dari cerita tentang izin tambang dan pembukaan lahan. Kebakaran hutan dipisahkan dari logika ekonomi yang menjadikan lahan sebagai komoditas.

Sepanjang 2025, data Badan Nasional Penanggulangan Bencana mencatat lebih dari dua ribu lima ratus kejadian bencana, mayoritas berupa banjir, longsor, dan cuaca ekstrem. Angka-angka ini penting, tetapi cara ia ditampilkan sering kali memperkuat kesan bahwa bencana adalah siklus alamiah yang berulang.

Statistik bekerja seperti cermin dalam Las Meninas, memantulkan kenyataan tertentu, sambil mengaburkan relasi kuasa yang mengaturnya. Dalam representasi dominan, penonton bencana adalah publik luas. Kita diajak melihat dari kejauhan, dari posisi yang relatif aman. Kita berempati, bersedih, lalu perlahan melupakan.

Subjek utama narasi adalah negara, bukan sebagai pembuat risiko, melainkan sebagai pengelola krisis. Negara tampil ketika bencana sudah terjadi, ketika air sudah naik, ketika korban sudah berjatuhan. Ia hadir sebagai respons, bukan sebagai bagian dari sebab.

Sementara itu, masyarakat terdampak hampir selalu diletakkan dalam posisi yang sama, dimana mereka terlihat, tetapi tidak didengar. Wajah-wajah mereka muncul dalam foto, tetapi pengetahuan mereka tentang sungai, hutan, dan musim jarang dianggap relevan.

Pengalaman ekologis lokal diperlakukan sebagai latar emosional, bukan sebagai sumber pemahaman. Dalam perspektif Foucault, mereka hadir dalam representasi, tetapi tidak pernah menjadi subjek pengetahuan.

Cara pandang ini membuat bencana terlepas dari konteks sosial-politiknya. Ketika banjir besar melanda Sumatra pada akhir 2025, misalnya, narasi yang dominan segera menunjuk curah hujan tinggi dan cuaca ekstrem. Padahal berbagai kajian menunjukkan bahwa hujan hanyalah pemicu terakhir dari proses panjang kerusakan ekosistem di hulu daerah aliran sungai.

Deforestasi, pembukaan lahan skala besar, dan tata ruang yang abai terhadap daya dukung lingkungan telah lama melemahkan kemampuan lanskap untuk menyerap dan menahan air. Namun relasi sebab-akibat semacam ini sering kali tenggelam di balik narasi peristiwa.

Di sinilah bencana bekerja seperti lukisan Velázquez, saat pusat makna tidak pernah tampil langsung. Yang terlihat adalah dampak, bukan struktur. Yang disorot adalah korban, bukan sistem yang membuat mereka rentan. Bencana menjadi sesuatu yang dapat ditonton, dihitung, dan dikelola, tetapi sulit dipertanyakan secara politis.

Representasi semacam ini juga membentuk cara kita membayangkan solusi. Jika bencana dipahami sebagai peristiwa alamiah, maka jawaban yang muncul hampir selalu teknis, seperti tanggul, normalisasi sungai, peringatan dini, relokasi.

Semua itu penting, tetapi tidak menyentuh pertanyaan yang lebih mendasar, mengapa ruang hidup terus diproduksi dalam kondisi rapuh? Mengapa risiko selalu menumpuk pada kelompok yang sama? Dengan terus-menerus melihat bencana sebagai kejadian yang berdiri sendiri, kita menutup kemungkinan untuk membaca bencana sebagai gejala dari cara pembangunan bekerja.

Kita lupa bahwa banjir adalah arsip dari kebijakan tata ruang, bahwa longsor adalah catatan tentang relasi kuasa atas tanah, dan bahwa kebakaran hutan adalah ekspresi dari ekonomi ekstraktif yang dilegalkan. Proses-proses ini tidak spektakuler seperti air bah, tetapi justru di sanalah bencana disiapkan secara perlahan.

Rezim pengetahuan, kekuasaan, dan Sumatra yang terendam

Jika banjir bandang di Sumatra sepanjang 2025 dibaca sekadar sebagai rangkaian peristiwa cuaca ekstrem, maka yang tampak hanyalah air, hujan, dan korban. Namun bila ia dibaca melalui kacamata Foucault, bencana itu segera menyingkap sesuatu yang lebih dalam.

Yaitu cara tertentu dalam memproduksi pengetahuan yang sekaligus mengatur apa yang boleh dikatakan, siapa yang boleh berbicara, dan siapa yang hanya boleh terdampak. Di sinilah rezim pengetahuan dan kekuasaan bekerja, tidak melalui larangan yang keras, tetapi melalui kebiasaan melihat dan menjelaskan.

Dalam The Order of Things (1966), Foucault menunjukkan bahwa setiap zaman memiliki episteme, semacam susunan tak kasatmata yang menentukan bagaimana kenyataan dipahami. Dalam konteks bencana di Sumatra, episteme yang dominan adalah episteme teknokratik-modern. Ia sangat percaya pada peta, data curah hujan, indeks risiko, dan model prediksi.

Semua ini berguna, tetapi ia juga membawa konsekuensi, realitas ekologis dipersempit menjadi variabel-variabel terukur, sementara sejarah sosial dan relasi kuasa yang membentuk lanskap dikeluarkan dari pusat perhatian.

Banjir bandang di Sumatra Barat, Sumatra Utara, dan Aceh pada akhir 2025 menunjukkan dengan jelas bagaimana episteme ini bekerja. Pernyataan resmi dan pemberitaan awal hampir seragam menekankan intensitas hujan yang tinggi. Alam kembali tampil sebagai aktor utama.

Padahal berbagai kajian akademik dan laporan jurnalisme lingkungan, seperti yang ditulis Mongabay Indonesia sepanjang 2025, menegaskan bahwa kerusakan hutan di hulu DAS, ekspansi perkebunan sawit, dan aktivitas pertambangan telah lama melemahkan struktur ekologis kawasan tersebut. Air yang turun sebenarnya sedang bergerak di atas lanskap yang telah kehilangan daya tahannya.

Namun pengetahuan tentang kerusakan ini sering kali ditempatkan di pinggir. Ia hadir sebagai catatan tambahan, bukan sebagai narasi utama. Dalam logika Foucault, inilah mekanisme kekuasaan yang halus, bukan dengan menyangkal fakta, tetapi dengan mengatur hirarki penjelasan. Cuaca ditempatkan di depan, kebijakan tata ruang di belakang. Peristiwa didahulukan, proses dikaburkan.

Rezim pengetahuan ini sekaligus melindungi struktur kekuasaan ekonomi dan politik. Ketika bencana dipahami sebagai akibat alam, pertanyaan tentang konsesi hutan, izin tambang, dan keputusan pembangunan menjadi tidak mendesak.

Negara tampil sebagai manajer bencana yang sigap, bukan sebagai aktor yang turut membentuk kerentanan ekologis. Kekuasaan, seperti raja dalam Las Meninas, hadir sebagai pantulan—terlihat, tetapi sulit disentuh.

Masyarakat lokal di Sumatra, yang hidup paling dekat dengan hutan dan sungai, mengalami posisi yang paradoksal. Mereka adalah yang pertama merasakan perubahan ekosistem dan yang paling terdampak ketika bencana datang, tetapi pengetahuan mereka jarang masuk dalam rezim kebenaran resmi.

Cerita tentang sungai yang berubah, tanah yang tidak lagi menyerap air, atau hutan yang menghilang dianggap sebagai pengalaman subjektif, bukan sebagai data. Dalam rezim ini, suara warga tidak dibungkam, tetapi dilemahkan secara epistemik.

Di titik ini, bencana tidak lagi sekadar peristiwa alam, melainkan cermin dari ketimpangan pengetahuan. Yang dihitung dianggap nyata, yang tidak terukur dianggap kabur. Padahal justru di wilayah “kabur” itulah relasi kuasa bekerja paling efektif.

Sumatra, yang kerap dipromosikan sebagai pulau kaya sumber daya, menyimpan ironi besar, dimana kekayaan ekologisnya diekstraksi, sementara risiko ekologisnya ditanggung oleh mereka yang paling sedikit diuntungkan.

Membaca bencana Sumatra berarti menyadari bahwa jalan keluar tidak cukup dengan teknologi mitigasi atau respons darurat yang lebih cepat. Yang diperlukan adalah pergeseran rezim pengetahuan. Bencana harus dipahami sebagai produk dari sejarah panjang pengelolaan ruang, bukan sebagai anomali cuaca. Pengetahuan lokal perlu diakui sebagai bagian dari kebenaran ekologis, bukan sekadar pelengkap narasi.

Membongkar cermin, mengubah cara melihat

Jika Las Meninas mengajarkan satu pelajaran penting, itu adalah bahwa cermin tidak pernah sekadar memantulkan kenyataan. Ia mengatur posisi, menentukan jarak, dan menetapkan siapa yang berhak melihat tanpa harus terlihat.

Dalam representasi bencana di Indonesia, cermin itu bekerja dengan cara yang sangat modern, melalui data, peta, grafik, dan narasi resmi yang tampak rasional dan objektif. Tetapi justru di balik kejernihan itulah, cara kita melihat bencana menjadi kaku dan terbatas.

Membongkar cermin berarti terlebih dahulu mengakui bahwa apa yang selama ini kita anggap sebagai “fakta bencana” bukanlah kenyataan yang berdiri sendiri. Ia adalah hasil dari pilihan-pilihan epistemik, apa yang dihitung, apa yang diukur, dan apa yang dibiarkan menjadi latar.

Ketika bencana dipresentasikan sebagai peristiwa alamiah, kita diajak untuk menerima bahwa ada sesuatu yang tak terelakkan, bahwa alam kadang “murah hati”, kadang “murka”. Bahasa ini menenangkan sekaligus menyesatkan. Ia menghapus jejak tangan manusia dari lanskap yang rusak.

Perubahan cara melihat menuntut perubahan posisi subjek. Selama ini, publik diposisikan sebagai penonton yang empatik tetapi pasif. Kita menyaksikan penderitaan, mengutuk nasib, lalu berpindah ke berita berikutnya. Membongkar cermin berarti menggeser posisi ini.

Publik tidak lagi sekadar melihat dari jauh, tetapi diajak memahami keterlibatan tidak langsungnya dalam sistem yang memproduksi risiko ekologis—melalui konsumsi, pilihan politik, dan penerimaan diam-diam atas model pembangunan tertentu.

Di saat yang sama, masyarakat terdampak harus dibebaskan dari peran tunggal sebagai korban. Pengetahuan mereka tentang ruang hidup, perubahan musim, dan dinamika ekosistem bukan sekadar cerita lokal, melainkan bentuk pengetahuan yang lahir dari kedekatan panjang dengan alam.

Mengakui ini berarti mengganggu hierarki pengetahuan yang selama ini menempatkan ilmu teknokratik di puncak dan pengalaman hidup di dasar. Foucault mengingatkan bahwa kebenaran selalu diproduksi dalam relasi kuasa; maka membuka ruang bagi pengetahuan lokal adalah tindakan politis, bukan sekadar romantisme ekologis.

Mengubah cara melihat juga berarti berani mengembalikan bencana ke ranah politik. Selama bencana ditempatkan sebagai urusan teknis dan kemanusiaan semata, pertanyaan tentang tanggung jawab struktural akan selalu tertunda.

Padahal justru di sanalah pertaruhan masa depan ruang hidup. Membicarakan bencana tanpa membicarakan kebijakan konsesi, tata ruang, dan distribusi kekuasaan ekonomi sama artinya dengan terus membersihkan lantai tanpa pernah menutup keran yang bocor.

Pada akhirnya, membongkar cermin bukan berarti menolak data, teknologi, atau institusi penanggulangan bencana. Ia berarti menempatkan semua itu dalam konteks yang lebih jujur dan lebih luas. Data tidak lagi berdiri sebagai kebenaran final, melainkan sebagai pintu masuk untuk pertanyaan yang lebih dalam. Teknologi tidak lagi menjadi jimat, melainkan alat yang harus diawasi secara politis.

Penulis: Asratillah, Direktur Profetik Institute

Comment