Respublica— SETARA Institute kembali merilis laporan tahunan yang menampilkan potret toleransi kota-kota di Indonesia. Namun, bukan daftar kota toleran yang mendapat perhatian publik, melainkan sebaliknya, kota yang intoleran, di mana terdapat 10 kota yang dianggap memiliki skor paling buruk, diantaranya yang teratas ialah Parepare, Cilegon, Lhokseumawe, Banda Aceh, hingga Makassar.
Di balik angka dan peringkat itu, sesungguhnya ada cerita getir: kota-kota yang gagal menjadi rumah bagi semua warganya. Ini bukan sekadar angka atau daftar yang lewat dalam pemberitaan harian. Ini adalah peringatan bahwa toleransi jangan menjadi barang mewah yang hanya dibicarakan saat perayaan Hari Toleransi Internasional. Ini adalah kebutuhan mendesak bagi sebuah masyarakat majemuk yang ingin bertahan hidup.
Di tengah keterpurukan ini, rasanya penting bagi kita untuk memahami kembali kenapa intoleransi bisa tumbuh subur, bahkan dalam masyarakat yang secara konstitusional menjunjung kebebasan beragama dan berkeyakinan. Mari membaca Otto Scharmer, profesor di MIT, lewat konsep Theory U-nya.
Tiga suara dan tiga keterbukaan
Otto Scharmer menyebut bahwa dalam setiap proses sosial dan kebijakan, kita kerap dihadang oleh tiga jenis “suara” yang menghalangi perubahan: Voice of Judgment (suara menghakimi), Voice of Cynicism (suara sinis), dan Voice of Fear (suara ketakutan), yang ketiganya juga bisa diatasi dengan tiga keterbukaan, yaitu Open Mind, Open Heart, dan Open Will.
Mari kita lihat bagaimana ketiga suara ini menjelma dalam dinamika intoleransi di kota-kota kita. Voice of Judgment muncul saat sebagian masyarakat dan elit lokal cepat menghakimi mereka yang berbeda agama, budaya, atau ekspresi identitas. Minoritas dianggap “membahayakan harmoni” hanya karena tak serupa.
Padahal, keberagaman seharusnya menjadi kekayaan, bukan ancaman. Untuk melampaui ini, kita membutuhkan Open Mind — keberanian untuk mendengarkan dengan pikiran terbuka, mengakui bahwa tak semua perbedaan adalah ancaman, dan bahwa keadilan tidak lahir dari homogenitas.
Voice of Cynicism hadir dalam bentuk ketidakpercayaan terhadap perjuangan toleransi itu sendiri. Kita mendengar ini dalam kalimat seperti, “Itu cuma pencitraan,” atau “Itu cuma permainan politik.” Sikap sinis ini membuat warga dan pejabat memilih diam, merasa sia-sia untuk melawan arus mayoritarianisme yang sudah dominan.
Di sinilah pentingnya Open Heart — empati dan keberanian untuk mempercayai bahwa perubahan mungkin, dan bahwa suara-suara marginal bukan sekadar statistik, melainkan manusia dengan martabat.
Voice of Fear menjelma dalam kecemasan akan kerusuhan sosial, tekanan massa, stigmatisasi arau kehilangan basis elektoral. Banyak pejabat lokal lebih memilih langkah “aman” dengan membiarkan kelompok intoleran bertindak, daripada mengambil risiko demi menegakkan hukum.
Situasi ini memerlukan Open Will — kehendak untuk bertindak meski sulit, untuk memilih prinsip meski dibenci, dan untuk membela yang benar meski tidak populer.
Paradoks toleransi
Paradoks toleransi yang diangkat Karl Popper mengingatkan kita bahwa terlalu toleran terhadap intoleransi akan menghancurkan toleransi itu sendiri. Ini bukan soal membatasi kebebasan, melainkan tentang menegaskan bahwa kebebasan itu memiliki prasyarat: tidak membungkam hak orang lain. Negara harus punya nyali untuk tidak netral terhadap kebencian.
Ketika rumah ibadah ditolak izinnya, sekolah berbasis agama dilarang pendiriannya, ibadah dibubarkan, perbedaan diejek dalam mimbar dan media, dan aparat memilih bungkam, maka kita telah salah memahami makna toleransi. Kita telah menjual keadilan demi ketertiban semu.
Data SETARA harus dibaca bukan sebagai sesuatu yang final, tapi sebagai alarm. Kota-kota dalam daftar ini bisa berubah, jika memiliki kemauan dan keberanian. Jika ingin membenahi toleransi, kita tak cukup hanya berbicara soal kerukunan, kita harus menyentuh sistem hukum, sistem nilai dan sistem pengetahuan.
Comment